Ketika Korban Kabut Asap 'Mencari Oksigen' di Padang

M. Sulthan Azzam
2015.10.07
Padang
151007_ID_FIRES_620.jpg Kaum perempuan terpaksa harus memakai masker akibat kabut asap pada kegiatan doa bersama di Pekanbaru, 15 September 2015.
AFP

Dian Citra (36) sering uring-uringan. Sejak bencana kabut asap melanda Riau dua bulan lalu, ia tak bisa berjualan lagi karena terpaksa harus menghabiskan waktu bersama anak-anak di rumah.

Selama ini, ibu rumah tangga itu berjualan jajanan di tiga sekolah sekitar tempat tinggalnya di Panam, Pekanbaru, untuk menambah biaya hidup keluarga. Tapi sejak kabut asap terjadi, sekolah sering diliburkan. Dampaknya, usaha jajanan Dian terpaksa gulung tikar.

“Kalau lama asap seperti ini, saya bisa kehilangan pelanggan,” katanya kepada BeritaBenar di Padang, Sumatera Barat, Senin 5 Oktober.

Dian dan suaminya, Denni, berada di Padang untuk mengungsi. Selain keluarga ini, ratusan warga Pekanbaru diperkirakan juga memilih mengungsi ke Padang karena kabut asap di Riau sudah semakin parah dalam beberapa hari terakhir.

Dian mengaku sudah beberapa kali mengungsikan kedua anaknya ke Padang. Selain lebih dekat dari Pekanbaru yang bisa ditempuh enam jam, kondisi cuaca di ibukota Sumatera Barat masih relatif lebih aman dari paparan kabut asap.

“Kadang dua kali seminggu kami ke sini untuk mencari oksigen. Di Pekanbaru, sulit sekali mendapat oksigen yang bersih. Padang memang berasap juga, tapi tak separah Pekanbaru,” kata Dian.

Kendati Padang dalam dua hari terakhir diselimuti kabut asap, tetapi tidak terlalu membawa pengaruh bagi aktifitas masyarakat setempat. Apalagi hujan lebat mengguyur pada pagi dan sore hari.

“Kalaupun tidak libur, saya dan Dian sudah sepakat akan memaksakan anak-anak tidak ke sekolah karena kondisi di Pekanbaru tidak memungkinkan beraktivitas di luar rumah. Anak-anak bisa mual dan muntah-muntah,” ujar Denni.

Kabut asap masih parah

Meski sudah berlangsung dua bulan, kabut asap makin parah di Riau. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru merilis, kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan terus memburuk, yang mengakibatkan jarak pandang hanya 50 meter.

Menurut data yang dikeluarkan BMKG Pekanbaru, jarak pandang di Kabupaten Pelalawan berkisar 50 meter, sementara di Pekanbaru dan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu sekitar 100 hingga 200 meter.

"Ini merupakan kabut asap terburuk dan terlama sepanjang sejarah Riau," jelas Sugirin, Kepala BMKG Pekanbaru.

Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Pekanbaru, Selasa 6 Oktober, menunjukkan angka 984 atau berbahaya. Padahal, hotspot di Riau terdeteksi tinggal dua titik. Artinya, kabut asap yang melanda di Riau adalah kiriman dari provinsi tetangga.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB menyatakan, di Sumatera terdapat 502 titik hotspot. Rinciannya adalah di Sumatera Selatan 466 titik, Jambi 17 titik, Lampung delapan titik Sumatera Barat enam titik di Sumbar, Bangka Belitung 3 titik dan Riau dua titik hotspot.

Bencana asap juga berdampak bagi penerbangan. Pengelola Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru menyebutkan hari Selasa, sebanyak 49 dari 70 penerbangan yang terjadwal harus dibatalkan karena jarak pandang hanya 100 meter sehingga membahayakan keselamatan penerbangan.

Dua bulan tak lihat matahari

Kabut asap juga menyelimuti Kalimantan. Di Palangkaraya, kabut asap sudah berlangsung dua bulan lebih. “Kami hanya bisa pasrah. Ibaratnya, kami menunggu kematian. Mati karena asap,” keluh Adi Putro, seorang Palangkaraya kepada BeritaBenar, Minggu.

Menurut dia, warga setempat tak punya pilihan, karena kabut asap juga mengancam ke dalam rumah sehingga memaksa mereka untuk tetap memakai masker.

“Hampir dua bulan kami dikepung asap. Selama itu pula kami tak melihat matahari,” tuturnya.

Kepala BPBD Kota Palangkaraya, Anwar Sanusi Umanur Gayo menyebutkan bahwa ide untuk mengevakuasi warga setempat adalah sesuatu yang mustahil.

“Warga Palangkaraya jumlahnya mencapai 2,8 juta orang. Dalam waktu singkat tak mungkin dipindahkan ke Pulau Jawa atau ke kota lain yang tak ada kabut asap,” katanya, Sabtu pekan lalu.

Anwar menganggap kabut asap yang terjadi di Palangkaraya sebagai hal yang biasa karena sejak 20 tahun terakhir bencana serupa selalu berulang hampir setiap tahun.

“Kita hanya satu atau dua hotspot. Yang terjadi adalah asap kiriman dari Pulang Pisau, Kapuas dan Gunung Mas,” ujarnya.

“Kenapa heboh dengan Palangkaraya? Karena Palangkaraya ibukota Kalimantan Tengah. Ekonomi terganggu. Pesawat tak bisa mendarat.”

Menurut dia, hanya ada dua cara mengatasi kabut asap yakni memperbanyak hujan buatan dan terus doa kepada Sang Pencipta, agar hujan sesungguhnya turun.

“Pemadaman di dalam lahan gambut sangat sulit dilakukan,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.