Bencana Kabut Asap Dorong Aksi Solidaritas
2015.10.15
Jakarta
Halaman depan Republika edisi 8 Oktober sempat membuat bingung pembaca, karena hanya berupa tulisan yang kabur dan sulit dibaca. Sekilas tampaknya karena kesalahan dalam pencetakan.
Namun, foto seorang anak sekolah dasar yang tengah mengayuh sepeda sambil menutup hidung dan mulutnya itu menggambarkan sulitnya hidup dalam kepungan asap.
"Saat itu kebetulan presiden mengumumkan paket kebijakan ekonomi. Dengan adanya efek asap, berita penting di Jakarta jadi sulit terbaca. Jadi efek asap itu tidak cuma sekedar pemanis atau ornamen halaman depan koran, tapi benar-benar jadi simbolis," ujar Editor Foto Republika, Edwin Dwi Putranto, kepada BeritaBenar.
Edwin mengatakan awalnya tim redaksi kesulitan dalam menentukan halaman depan bertemakan krisis asap. Pasalnya isu ini sudah sering menghiasi halaman muka tak hanya harian ini, namun media massa nasional lainnya. Foto yang dipilih pun beragam, hingga sampai pada foto tersebut.
"Media yang mengawal berita asap ini lumayan banyak. Beberapa koran bahkan sudah membuat halaman luar dengan tema ini. Kalau dibuat konservatif, rasanya biasa saja. Sepakat lah kami munculkan ide itu. Foto itu dipilih dengan pertimbangan sisi humanis tentang bagaimana dampak asap bagi masyarakat," terangnya.
Edwin mengaku sempat khawatir jika pesan tersebut tidak tersampaikan, namun respon masyarakat ternyata positif dan halaman utama “edisi kabut asap” menjadi pembicaraan hangat terutama di media sosial.
Dia berharap agar upaya tersebut dapat menggugah para pemimpin negara agar lebih serius menangani persoalan asap ini.
Dua bulan menghirup asap
Dua bulan lebih sudah sebagian besar kawasan Sumatera dan Kalimantan terkepung asap yang berasal dari kebakaran lahan dan hutan. Sebagian besar masyarakat yang menjadi korban menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Meski sampai hari Selasa Menteri Kesehatan menyatakan belum mengetahui jumlah total korban yang kabut asap di kedua pulau itu, sampai tanggal 7 Oktober Dinas Kesehatan Riau saja sudah mencatat ada 61.017 orang yang terpapar kabut asap di provinsi itu.
Mayoritas adalah balita dan anak-anak, sementara di Palembang minggu lalu seorang bayi berusia 28 hari meninggal yang diduga kuat akibat ISPA.
Dalam pesan SMS kepada BeritaBenar hari Kamis, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa pihaknya tidak menghitung jumlah masyarakat terpapar per hari.
“Tapi yang sudah kita hitung adalah jumlah masyarakat terpapar asap yang pernah mencapai 43 juta jiwa pada pertengahan September, dimana 85% Sumatera dan 80% Kalimantan tertutup asap,” tulis Sutopo.
Sutopo hari Kamis juga melaporkan jumlah titik api atau hotspot di provinsi Sumatera Selatan, menurun drastis dari 278 titik sehari sebelumnya menjadi sembilan titik.
Indonesia sudah menerima bantuan untuk memadamkan api dari Australia, Malaysia dan Singapura.
Kemunculan gerakan solidaritas korban asap
Bencana kabut asap rutin yang melanda tidak hanya Sumatera dan Kalimantan, tetapi juga sampai ke negara-negara jiran sejak 18 tahun lalu ini membuat marah banyak lapisan masyarakat.
Tak hanya di daerah-daerah yang terkena dampak asap, masyarakat ibukota Jakarta juga turut andil dalam menyuarakan keprihatinan mereka.
Para jurnalis lainnya yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Lintas Media menuangkan aspirasi mereka lewat kampanye sosial bertema #aksisejutamasker di Twitter. Kampanye ini dilakukan saat car free day di kawasan Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Minggu, 11 Oktober lalu.
Aksi Sejuta Masker untuk korban kabut asap Sumatera dan Kalimantan di Bundaran HI, Jakarta, 11 Oktober 2015. [BeritaBenar]
Kampanye ini bertekad membantu masyarakat yang terkena dampak kabut asap baik lewat pemberian masker dan tabung oksigen, hingga penggalangan dana.
Di hari yang sama, artis-artis ibukota juga melancarkan aksi sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap korban bencana asap. Mereka menuntut pemerintah agar lebih serius menangani bencana ini dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam pembakaran lahan dan hutan.
Kalangan mahasiswa, aktivis, dan organisasi-organisasi keagamaan juga turut bersuara.
Persatuan Gereja Indonesia, lewat kelompok kerja Pengurangan Risiko Bencana, bekerja sama dengan Humanitarian Forum Indonesia dalam memenuhi kebutuhan korban asap, seperti masker dan obat-obatan.
Tak cukup sekedar aksi
Aksi-aksi solidaritas ini disambut baik oleh warga daerah yang terkena dampak asap.
"Bagiku itu kreatif. Menyentuh. Dan [halaman utama Republika] pas momennya," ujar Haryanto, warga Kota Palembang, kepada BeritaBenar.
Hanya saja, lanjut dia, upaya tersebut belum cukup untuk menghentikan bencana asap agar tidak terulang tiap tahun.
"Tetap harus menyentuh akar permasalahannya, yaitu pembukaan lahan yang terus berulang. Meski aksi-aksi solidaritas digelar, tanpa adanya aksi jera bagi pelaku dari pemerintah akan jadi sia-sia," tegasnya.
Dia berharap pemerintah tegas memadamkan kebakaran dan menindak para pembakar hutan.
Aksi solidaritas ini juga diapresiasi oleh para aktivis lingkungan hidup.
"Ini jarang terjadi dalam konteks bencana asap. Malah tidak pernah, karena biasanya aksi-aksi solidaritas hanya untuk bencana lain seperti banjir dan gempa bumi. Ini sesuatu yang menarik dan patut diapresiasi," ujar Mukri Friatna, Manajer Penanggulangan Bencana di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Berbagai aksi ini, lanjut Mukri, adalah bentuk empati masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan bencana asap tahun ini, yang menurutnya terburuk sepanjang masa.
Walhi mencatat luas lahan yang terbakar dalam 110 hari per tanggal 13 Oktober mencapai hampir 1,5 juta hektar di Sumatera dan Kalimantan. Efek yang ditimbulkan juga dahsyat.
Mukri mengatakan, menurut catatan organisasinya, sedikitnya 21 orang meninggal akibat bencana asap, dimana tujuh korban di antaranya terbakar. Walhi Sumatera Selatan mencatat dua di antaranya adalah pelajar yang terkepung api, namun tak pernah terekspos di media.
Sistem tebang bakar masih dilakukan
Mukri menekankan pentingnya mengkaji ulang beberapa peraturan pemerintah yang memiliki celah untuk menolerir penyebab terjadinya kebakaran hutan.
Salah satunya perizinan pembukaan lahan dengan sistem tradisional tebang-bakar (slash and burn), yang sudah dilarang di Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 Tentang Perkebunan namun masih lazim dilakukan.
Mengingat pengawasan yang lemah dan mudahnya peraturan dibengkokkan, Mukri menyarankan satu hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah.
"Jangan (biarkan) dibakar. Itu saja," tutup Mukri.