Korban Kabut Asap Kesulitan Dapatkan Kebutuhan Logistik
2015.10.27
Jakarta
Kabar kepulangan lebih awal dari rencana semula Presiden Joko Widodo dari lawatannya di AS disambut gembira terutama oleh warga korban kabut asap.
Presiden Jokowi, yang tadinya akan mengadakan lawatan sampai tanggal 29 Oktober, dijadwalkan akan meninggalkan Washington Selasa sore waktu setempat, atau dinihari Rabu WIB.
Dewi Meini yang menetap di Kota Pekanbaru berharap perhatian Presiden akan meringankan beban warga setempat.
"Sudah dua bulan ini kan. Sudah berapa banyak masker kami pakai, oksigen, air purifier juga. Belum lagi berapa lama waktu kami habiskan terkurung di rumah," keluhnya panjang pada BeritaBenar.
Untuk dapat bertahan, warga yang dikepung kabut asap harus mengenakan masker standar tipe N95, dengan rongga mirip mangkok pada bagian mulut dan hidung.
Masker ini diklaim mampu menyaring partikulat asap yang tak kelihatan sehingga tak terhirup masuk paru-paru. Namun setelah beberapa hari dipakai masker ini akan menunjukkan bulu yang menandakan tebalnya lapisan partikulat hingga tak lagi laik pakai.
Tingginya permintaan terhadap masker jenis ini membuat harganya melonjak cepat dan persediaan barang sering langka.
"Waktu mulai pakai dua bulan lalu harganya Rp 8 ribuan. Sekarang sudah Rp 15 ribuan paling murah Rp 12 ribuan. Itu pun kalau ada," jelas Dewi, yang sedang mengandung enam bulan.
Barang yang juga banyak dicari – meski harganya sudah melonjak – adalah penyaring udara dalam ruang, atau air purifier, yang banyak di pakai untuk ruang kantor, sekolah dan toko-toko.
Pengiriman barang terhambat karena asap menghalangi perjalanan udara semua maskapai. Tak jarang jadwal penerbangan disusun ulang sepekan ke depan karena asap terlampai tebal.
"Keluarga kami hendak ngungsi pun susah, mau ke Jakarta tak ada pesawat ke Padang harus jalan darat dulu delapan jam karena pekat," tambah Dewi.
Fokus rumah singgah
Upaya evakuasi mulai direncanakan pemerintah sejak pekan lalu dengan antara lain menyiagakan kapal perang di pelabuhan Banjarmasin.
Namun kapal-kapal ini tidak didesain untuk membawa ribuan orang sekali jalan ke lokasi yang lebih aman dari asap.
Jembatan Kahayan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, diselimuti kabut asap kuning, 27 Oktober 2015. (AFP)
Juru bicara Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan KRI disiagakan untuk kasus darurat saja, bukan evakuasi massal.
"Bukan bawa ribuan pengungsi ke pulau lain, warga juga tidak bakalan mau kalau begitu," terangnya.
Seperti pengalaman lalu saat mengatasi bencana gunung meletus, menurut Sutopo masyarakat umumnya enggan diminta pindah meski hanya sementara.
Keinginan untuk kumpul dengan kerabat terdekat serta khawatir akan keamanan harta-benda membuat mereka memilih bertahan meski situasi memburuk.
"Kapal kita siapkan kalau ada korban gawat perlu penanganan segera ke lain wilayah. Ada juga tenaga kesehatan dan rumah sakit mengapung," tambahnya.
Yang sedang diupayakan BNPB bersama pemerintah daerah (pemda) adalah beroperasinya mobil kesehatan yang bisa bergerak mendekati titik-titik pemukiman warga.
Ia mengakui keterbatasan logistik utama termasuk masker standar, alat penjernih udara dan tabung oksigen. Namun menurutnya barang-barang tersebut tersedia di rumah-rumah singgah.
"Coba didatangi saja, banyak dikelola LSM, juga sumbangan perusahaan. Ada itu barangnya," janjinya.
Melihat asap yang masih pekat, BNPB tengah mengupayakan perbanyakan rumah singgah tersebut karena dianggap efektif dibanding distribusi bantuan satu per satu warga.
Mobilisasi sumberdaya
Sejumlah organisasi bantuan kemanusiaan internasional memantau situasi kabut asap dengan harap-harap cemas, walaupun mereka menilai situasi masih terkendali.
Meski banyak dikritik, pemerintah dinilai masih mampu memberikan bantuan kemanusiaan sementara masyarakat masih bisa bertahan.
"Istilahnya masih bisa coping, ke ladang masih bisa, pasar masih buka, sekolah tidak seluruhnya tutup,"kata Nanang Subana, Direktur Program Kemanusiaan Oxfam di Indonesia.
Dalam sehari, aktivitas luar rumah bisa dilakukan antara pukul 07.00 pagi hingga 12.00 siang sebelum asap terlalu mengganggu jarak pandang.
Nanang melihat kesiagaan pemerintah menyiapkan kapal perang dan pengerahan aparat memadamkan asap menunjukkan pemerintah mampu menggerakkan sumber daya yang dimiliki.
"Sekarang kan banyak gedung pemerintah, sekolah, asrama haji yang belum dimobilisasi. Itu semua bisa diubah jadi rumah singgah," usulnya.
Dari tim pantauan sejumlah organisasi kemanusiaan internasional menurut Nanang lembaga pemerintah seperti Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan dan TNI siap dimobilisir.
Yang dikhawatirkan adalah jika bencana berlanjut lebih lama di luar batas kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk bertahan.
"Sekarang sudah ada lebih setengah juta orang dengan ISPA. Kalau hujannya masih lama, apa masih sanggup pemerintah memberi perawatan kalau makin banyak orang kolaps?" tukas Nanang.
Risiko akibat ISPA dalam jangka panjang juga dinilai Nanang layak dicermati pemerintah.
"Dampak jangka panjangnya bisa jadi penyakit berat macam kanker paru. Pemerintah perlu teliti dan antisipasi supaya jangan ada dampak lanjutan (secondary hazard) seperti ini," katanya.
Hujan turun November
Prakiraan cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika menyebut awal November sudah akan turun kecil, namun tak cukup untuk mengusir asap dan memadamkan bara api sepenuhnya.
Hujan dalam intensitas rendah inj justru diperkirakan membuat asap bertambah pekat, dan karenanya membahayakan.
Seperti warga korban asap, Nanang juga mengkhawatirkan terjadi kelangkaan barang karena tingginya permintaan terhadap masker dan oksigen. Menurutnya penting disiagakan transportasi alternatif untuk mengatasi masalah distribusi barang.
"Juga kalau mau evakuasj jadi cepat, karena kendaraan pasti sulit nembus asap yang gelap begitu."
Sampai akhir pekan lalu sudah 10 korban tewas akibat asap. Enam propinsi termasuk Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah masih pekat oleh asap dengan ratusan titik api di berbagai tempat. Asap menyebar hingga jauh termasuk ke Filipina dan Thailand.
Biro Pers Istana mengumumkan bahwa Presiden Jokowi akan langsung meninjau upaya penanganan krisis kabut asap di Jambi atau Palangkaraya, begitu tiba di Indonesia, yang diperkirakan pada hari Kamis.