Tak Umumkan Perusahaan Pembakar Hutan, Pemerintah Dikecam

Dewi Safitri
2015.10.28
Jakarta
151028_ID_HAZE_FOLO_620.jpg Sukarelawan dan anak-anak berupaya memadamkan kebakaran lahan gambut di pinggir kota Palangkaraya, Kalteng, 26 Oktober, 2015.
AFP

Sikap pemerintah yang menolak mengumumkan nama-nama perusahaan tersangka pembakar hutan dan lahan yang menyebabkan bencana kabut asap berkepanjangan disesalkan sejumlah kalangan.

Sebelumnya pada hari Selasa, Menteri Koordiantor Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan keputusan itu diambil untuk "tidak membuat gaduh" sehubungan dengan besarnya tenaga kerja yang bergantung dari sektor hutan dan kelapa sawit.

Dia mengatakan, nama-nama perusahaan pembakar hutan baru akan diumumkan pada bulan November, untuk berfokus upaya pada pemadaman. Namun sikap pemerintah tersebut dianggap tak adil dan merugikan korban.

"Yang untung dari (kabut) asap ini siapa sih? Ya cuma pedagang masker kan. Dan pengusaha sawit. Sedang kita mati-matian dibikinnya," protes Dewi Meini, warga Pekanbaru, Riau.

Natalia Anggraini di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, juga merasa pemerintah justru melindungi pelaku kejahatan. Meski Menko Luhut menyatakan pemerintah tetap akan mengambil sikap tegas terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan, Natalia meragukannya.

"Bagaimana mau dihukum? Nama pun tak diumumkan. Padahal curi sepeda motor saja bisa dipukuli orang sampai babak-belur. Ini kami babak-belur sesak-nafas tak dihitung," ujar ibu tiga anak ini.

Asap berwarna kuning menyelimuti Palangkaraya selama berminggu-minggu hingga anak Anggraini yang baru berusia enam tahun harus dirawat karena ISPA.

"Jangankan dapat ganti rugi, diumumkan nama pelaku pun tidak," serunya kesal.

Kabut asap yang melanda enam provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia sudah berlangsung sekitar dua bulan terakhir.

Kalah lawan asap

Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut asap menggangu hajat hidup 43 juta warga dan menyebabkan lebih dari setengah juta orang terinfeksi penyakit saluran pernafasan.

Pada hari Rabu Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengumumkan bahwa jumlah korban meninggal akibat kabut asap sekarang bertambah sembilan menjadi 19 orang.

Jumlah kerugian menurut perhitungan sejumlah pakar berkisar Rp 200 triliun. Tidak mengumumkan pelaku kejahatan ini sama saja dengan memberikan pengampunan pada penjahat, kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jeffry Saragih.

"Bencana ini terjadi karena pemerintah terlalu royal dan mudah memberi izin pembukaan kebun sawit. Sekarang sudah jadi pelaku karhutla (kebakaran hutan dan lahan) pun masih mau diampuni pula," kritiknya.

Jeffry mengatakan, izin usaha ladang sawit 'diobral' sepanjang sedikitnya 10 tahun terakhir dan akibatnya pembakaran lahan dan perusakan hutan makin masif terjadi.

"Di daerah tiap pemda tingkat Gubernur, Bupati bahkan camat berlomba meneken izin baru untuk sawit," tambahnya.

Kecaman juga disuarakan kelompok pembela alam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi.

"Mengecewakan sekali. Kita sering dengar jargon negara tak boleh kalah lawan korupsi. Tak boleh kalah lawan terorisme. Tak boleh kalah lawan narkoba. Tapi nyatanya kalah lawan asap," kata Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi.

Sikap tak tegas pemerintah ini menurut Musri makin menguatkan motivasi Walhi Jambi dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Jambi untuk mengajukan gugatan kelas (class action) terhadap 20 perusahaan sawit besar di Indonesia yang beroperasi di Jambi.

Termasuk dalam daftar tergugat adalah perusahaan raksasa sawit Sinar Mas dan Wilmar.

"Di Jambi ini ada puluhan perusahaan pemasok CPO Wilmar. Kita gugat mereka karena kita tahu kebakaran banyak terjadi di wilayah konsesi mereka," tambah Musri.

Gugatan juga dinilai merupakan bentuk pertanggungjawaban karena produsen sawit seperti Sinarmas dan Wilmar menurut Walhi Jambi telah meneken janji untuk tak terlibat pembakaran lahan dan hutan.

"Mereka sendiri yang bikin deklarasi mereka juga yang nyatakan komitmen itu."

'Modus standar'

Alasan ekonomi untuk tak menyebut nama-nama pelaku pembakaran yang disampaikan pemerintah juga dipertanyakan pegiat.

"Perusahaan ini pandai. Mereka biasa pakai trauma tentang hilang pekerjaan ribuan orang dari sawit kalau produksi terhambat. Ancaman PHK besar-besaran itu modus standar dia lah," tuding Musri Nauli dari Walhi Jambi.

Jeffry Saragih sependapat. Menurutnya menutup daftar pelaku pembakaran hutan dan lahan punya konsekuensi memberi "perlindungan" pada pengusaha.

"Sanksi punya dampak tekanan yang bentuknya dua: yang sifatnya fisik yakni pidana atau denda. Tapi ada juga pressure moral, ini lebih berat. Dengan diumumkannya pelaku, perusahaan bisa mendapat boikot,” kata Jeffry.

Menurut Jeffry, perusahaan-perusahaan itu tidak terlalu takut dengan aksi boikot dari pasar domestic, yang menurutnya hanya mengkonsumsi 5-6 juta per tahun untuk CPO.

"Yang paling ditakutkan perusahaan adalah boikot internasional, karena sekitar 25 juta ton CPO dilempar kesana. Mereka takut CPO tak laku, yang artinya terkait pinjaman jutaan dollar di bank, uang pajak dan lain-lain," tambahnya.

Tetapi tunduk pada tekanan ini menurut Jeffry cuma bisa bermuara pada satu hal yakni makin rusaknya hutan dan lingkungan.

"Kalau dikasih pengampunan terus-terusan kapan lingkungan diperbaiki?"

Audit perizinan

Sawit Watch sejak lama mengkampanyekan audit perizinan untuk menjelaskan carut-marut kepemilikan lahan dan hak konsesi yang berujung pada informasi tak jelas tentang siapa pengelola lahan sawit sesungguhnya.

Audit diklaim akan jelas menunjukkan apakah izin-izin diperoleh dan dijalan dengan benar.

"Katakanlah sejak hak diberikan tahun 2000. Berapa banyak izin dari gubernur, bupati, camat," usul Jeffry.

Dalam pengamatan Sawit Watch pemerintah daerah dari berbagai tingkat itu sangat mudah memberi izin usaha untuk perluasan kebun sawit meski tak jelas apakah ladang sesungguhnya masih bersifat hutan, lahan gambut atau lahan siap tanam.

Bukan itu saja, di tingkat pusat, pemerintah juga dituding terlalu ramah pada pengusaha sawit. Paket Kebijakan Ekonomi II dan III yang diluncurkan guna menggairahkan dunia usaha juga dipandang terlalu mudah bagi pengusaha sawit.

"Misalnya perizinan untuk kawasan hutan cuma 15 hari. Itu Izin Pelepasan Kawasan Hutan. Kalau ini diteruskan, lihat saja. Akan makin banyak kasus kebakaran lahan dan perusakan hutan," papar Jeffry meramalkan.

Jeffry menolak anggapan audit perizinan dan pengetatan sanksi akan menyebabkan hilangnya potensi ekonomi dan menyebabkan kebangkrutan.

"Ini bisnis yang sangat besar. Banyak investor (baru) mau masuk. Dengan audit justru akan kelihatan mana yang efisien yang taat hukum mana yang merusak," tambahnya.

Dalam audit, penegakan hukum jadi unsur penting untuk mencegah bencana asap terulang.

"Pemerintah Indonesia harus malu. Singapura saja, negara kecil tanpa hutan yang dirusak, sudah berani menggugat perusahaan ke pengadilan. Disini yang jadi sumber asap malah nama pelakunya disembunyikan," tutup Musri Nauli dari Walhi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.