Titik Api Papua Terbanyak Ketiga di Indonesia

Dewi Safitri
2015.10.29
Jakarta
151029_ID_FIRES_PAPUA_620.jpg Warga Palangkaraya menikmati cuaca yang sedikit lebih cerah dekat sungai Kahayan setelah hujan membersihkan kabut pekat, 29 Oktober 2015.
AFP

Analisis satelit yang dilakukan organisasi pegiat lingkungan Greenpeace Indonesia menunjukkan besarnya jumlah titik api yang muncul dari wilayah Papua.

Dalam pantauan sejak Agustus hingga Oktober, titik api di Papua mencapai 10% dari jumlah nasional yang mencapai 112 ribu titik.

Sementara jumlah terbanyak berada di Kalimantan Tengah (25%) dan Sumatera Selatan (22%).

Menurut Greenpeace, titik api di Papua bahkan lebih tinggi dari Riau dan Jambi, yang selama satu dasawarsa terakhir rutin mengalami masalah kabut asap pada musim kering.

Saat mengumumkan temuan ini Kamis, Greenpeace mengatakan hasil pantauan ini cukup merisaukan mengingat hal itu mengindikasikan terjadi kenaikan drastis dalam luasan pelepasan fungsi hutan.

Papua merupakan preseden baru kasus pembakaran lahan dan hutan, dengan "skala yang belum pernah terjadi sebelumnya".

"Kita sangat fokus pada Sumatera dan Kalimantan dan memang pantauan citra satelit menunjukkan titik api terbesar berada di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan,” kata juru kampanye politik Greenpeace, Yuyun Indradi.

"Tetapi kondisi Papua merupakan peringatan bahwa peralihan fungsi lahan sedang berjalan masif di Papua," tambahnya.

Dampak proyek MIFEE

Khusus di Papua, Yuyun menunjukkan citra satelit mengindikasikan sumber titik api terbanyak ada di Kabupaten Merauke.

"Kami menduga tidak kebetulan ini terjadi karena kita tahu di situ sedang dibangun proyek skala besar MIFEE," tambahnya menanggapi pertanyaan BeritaBenar dalam acara jumpa pers di Jakarta.

Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau pusat pengembangan energi dan pangan terintegrasi di Merauke, dicetuskan tahun 2009 oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Proyek ini dianggap kontroversial karena melibatkan alih fungsi lahan termasuk hutan dan tanah ulayat seluas 1,2 juta hektar.

Proyek tersebut ditargetkan mampu menjawab persoalan ketergantungan tinggi terhadap ekspor pada komoditi pangan termasuk beras, jagung, kedelai dan gula.

MIFEE juga ditargetkan mampu menyediakan pasokan daging dari hewan ternak seperti sapi serta pasokan bahan bakar alternatif dari tumbuhan.

Lonjakan jumlah titik api diduga banyak pihak merupakan dampak langsung dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran.

"Penelitian Kemenhut-LH menunjukkan 90% karhutla sumbernya ulah manusia, termasuk di Papua ini," kata juru bicara Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Eka Soegiri saat dihubungi BeritaBenar.

Eka menolak mengaitkan munculnya ribuan titik panas tahun ini di Papua dengan proyek MIFEE dengan alasan "perlu invetigasi mendalam untuk menyimpulkan hal itu".

Masalah perizinan

Namun Eka mengakui banyak izin pengalihgunaan hutan yang patut dan akan ditinjau ulang setelah fenomena asap parah tahun ini, termasuk di Papua.

"Instruksi presiden jelas kita harus teliti ulang, lihat lagi bagaimana status perizinannya. Kalau kebakaran terjadi di wilayah konsesi maka harus diperiksa siapa pelakunya dan bilamana ada unsur pelanggaran disengaja maka sanksi bisa dijatuhkan termasuk pencabutan konsesi," kata Eka.

Peneliti senior Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Poernomo, mendukung upaya ini. Namun Harry mengatakan selama ini lingkup perizinan kehutanan kerap hanya dikaitkan dengan Kemenhut-LH saja.

Padahal, menurut Herry, masalahnya juga banyak terkait dengan Kementerian Pertanian.

“Misalnya Peraturan Mentan tahun 2009 membolehkan hutan gambut dipakai untuk lahan sawit. Ada juga Permentan tahun 2014 yang membolehkan pembakaran sisa lahan untuk arang kayu,” jelas Herry.

"Dua-duanya bisa menjadi penyebab munculnya titik api seperti di Papua, dimana tujuannya adalah untuk kegiatan ekonomi," paparnya.

Keuntungan ekonomi versus lingkungan

Di bawah pemerintahan Presiden Yudhoyono, MIFEE ditargetkan menciptakan swasembada pangan, dengan proyeksi pada tahun 2030 tercapai produksi hampir 2 juta ton beras, 2 juta ton jagung, 2,5 juta ton gula, dan 937 ribu ton kelapa sawit.

Target ambisius ini diharapkan memberikan penghematan dari anggaran impor pangan sebesar Rp 4,7 triliun.

Namun program ini juga dikritik keras karena kerusakan ekosistem yang meluas serta hilangnya kedaulatan masyarakat ulayat di Merauke.

"Sekali lagi yang kita jumpai di Merauke ini adalah kasus klasik: mau ekonomi tumbuh atau pilih lingkungan terjaga baik?" tukas Herry Poernomo.

Pindah ke Papua

Melihat lesatnya pertumbuhan titik api tahun ini, Greenpeace meramalkan, tanpa tindakan penyelamatan termasuk moratorium pemanfaatan lahan gambut di Merauke, Papua akan jadi sumber titik api terbesar berikutnya.

"Sekarang saja Riau dan Jambi sudah kalah (dalam jumlah sumber titik api). Tahun depan bisa pindah semua ke Papua," tambah juru kampanye Greenpeace Yuyun Indradi.

Namun Eka Soegiri menganggap prakiraan ini terlalu dini.

"Dari pengalaman kami mengelola karhutla, pengawalan ketat terhadap sektor kehutanan bisa menekan angka titik api antara 30-45% dibanding tahun lalu.

"Ini dapat kita lihat di Riau dan Kalbar," klaim Eka.

Faktor lain yang dipandang akan berpengaruh pada skala karhutla tahun depan adalah periode El Niño yang diyakini lebih pendek.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.