Disambut, Usulan NU Ganti Istilah Kafir, Namun Ada Menilai Momentumnya Tidak Tepat

NU menilai penggantian istilah itu akan mendorong persaudaraan antarumat.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2019.03.04
Jakarta
190304_ID_NU_1000.jpg Dalam foto tertanggal 14 Juni 2015 ini, anggota Nahdlatul Ulama melakukan doa bersama di Jakarta menjelang datangnya Ramadan tahun itu.
AFP

Sejumlah pihak menyambut baik rekomendasi dari Nahdlahtul Ulama (NU) untuk tidak menyebut kafir kepada non-Muslim, namun ada yang melihat momentum usulan dari organisasi Islam terbesar di Indonesia itu tidak tepat karena bisa memperkeruh situasi politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

“Usulan ini menjadi masalah karena momentum dan nuansa politis yang sedang panas,” ujar Abdul Muta’ali, Ketua Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam di Universitas Indonesia, kepada BeritaBenar, Minggu, 3 Maret 2019.

Abdul mengatakan potensi masalahnya terdapat pada situasi politik Indonesia yang terpolarisasi sejak Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur Jakarta 2017 yang sarat dengan politik identitas dimana gubernur petahana beragama Kristen dan keturunan etnis Tionghoa, Basuki Tjahaja Purnama kalah melawan penantangnya, Anies Baswedan, hingga Pemilihan Presiden 17 April mendatang.

Padahal menurut dosen Bahasa Arab itu, istilah kafir tidak memiliki konotasi negatif dan umum dipakai dalam pembahasan agama Islam secara internal untuk memberikan perbedaan jelas antara Muslim dan non-Muslim.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Pendeta Martin Lukito Sinaga. Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta itu tidak hanya melihat usulan itu sebagai langkah “luar biasa dari NU” namun juga melihat momentumnya sangat tepat karena dapat menjalin kembali tali sosial sosial antarumat beragama yang sempat dirasakan rusak setelah pemilihan gubernur Jakarta 2017.

“Pasca pemilihan gubernur Jakarta, orang Kristen sering dipojokkan sebagai minoritas kafir. Ada perkembangan yang kurang baik dengan istilah itu dan ada stigma negatif,” ujar Martin kepada BeritaBenar.

Kelompok advokasi hak asasi manusia, Setara Institute, mengapresiasi rekomendasi NU tersebut dan mengatakan hal itu menunjukkan sikap NU sebagai institusi keagamaan yang progresif dan konstruktif untuk menghapus diskriminasi dan ekspresi intoleransi kepada non-Muslim.

“Rekomendasi tersebut merupakan terobosan signifikan untuk memperkuat basis toleransi dan kesetaraan berdasarkan Pancasila dan konstitusi negara,” ujar Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos dalam pernyataan yang diterima BeritaBenar.

‘Kekerasan teologis’

Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, pada 27 Februari - 1 Maret 2019, usulan untuk mengganti istilah kafir bagi non-Muslim di Indonesia karena dianggap berkonotasi negatif dan menciptakan jarak antarumat beragama, didengungkan.

Abdul Moqsith Ghazali selaku pimpinan sidang menyatakan bahwa peserta Munas menilai penyebutan istilah kafir dapat menyakiti warga non-Muslim di Indonesia.

"Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara lain," katanya.

Namun penceramah Haikal Hassan Baras menentang usulan itu dan mempertanyakan mengapa sekarang penggunaan istilah kafir dipermasalahkan.

“Seharusnya tidak masalah selama tidak untuk menuding langsung. Ini jadi masalah karena NU mempermasalahkannya,” ujar Haikal kepada BeritaBenar.

Dorong persaudaraan

Rais Syuriah Pengurus Besar NU, Masdar Mas’udi, mengatakan bahwa NU melihat non-Muslim di Indonesia adalah mereka yang beriman dan mempunyai kepercayaan kepada Tuhan, sementara istilah kafir mengacu pada orang yang tidak percaya Tuhan sama sekali.

“Jadi kita semua beriman, hanya saja konsep beriman dan berketuhanannya yang berbeda,” ujar Masdar kepada BeritaBenar.

Menurutnya, tidak menggunakan istilah kafir bagi sesama penduduk Indonesia yang non-Muslim akan mengakrabkan secara psikologis, mendorong rasa persaudaraan yang erat antar-sesama pemeluk agama dan tidak memandang Muslim dan non-Muslim secara hitam putih.

Secara etimologis, kafir berasal dari kata kafara yang berarti menutup atau memberi tabir, sementara kata kafir adalah bentuk kata ganti orang, yang bisa diartikan sebagai orang yang tertutup, demikian menurut guru bahasa Arab dan Ibrani lulusan Sastra Arab dari Universitas Al Azhar di Kairo, Sapri Sale, kepada BeritaBenar.

Abdul Muta’ali mengatakan bahwa arti kafir adalah orang yang masih tertutup secara ideologis, dan dalam hal ini secara Islam. Ia menambahkan memberikan istilah yang berbeda antara penganut agama tertentu dan bukan yang penganut agama tersebut juga umum digunakan oleh agama-agama lain.

Berkaitan dengan hal ini, Masdar memiliki pendapat berbeda. Menurutnya penggantian kata kafir justru juga untuk mendorong pemeluk agama lain tidak memberikan perbedaan istilah serupa dengan kafir dalam praktik agama mereka.

“Saling mengkafirkan satu sama lain tidak baik secara psikologis,” ujar Masdar.

Menurutnya, untuk mengganti istilah kafir, sebagai kelompok mereka sebaiknya disebut sesuai dengan nama agama yang mereka anut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.