Marak Konten Negatif, Pemuda Malang Kampanye Damai di Media Sosial
2018.10.24
Malang
Menenteng gawai, Candra Aditya Nugraha mengarahkan dua teman sesama anggota Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi) untuk merekam pesan damai yang ada dalam ajaran agama Buddha.
Ketua Himkahbudhi Malang itu tengah membuat materi kampanye dalam upaya membendung konten negatif yang marak di media sosial.
Materi kampanye adalah video pendek berisikan pesan dari berbagai agama mulai Islam, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Konghuchu.
Mereka menyampaikan pesan damai sesuai ajaran agama masing-masing.
Video pendek kemudian dijadikan media kampanye damai sebagai kontra narasi radikalisme, terorisme, dan intoleransi.
Candra dan rekan-rekannya risau karena selama ini banyak pesan video, teks, foto dan poster yang berpotensi memancing keributan dan konflik di tengah masyarakat.
Pesan video dianggap efektif karena anak muda lebih menyukai visual dibandingkan membaca.
“Dalam agama Buddha, Raja Asoka berpesan barang siapa yang menghina agama orang lain sama saja merendahkan agama sendiri,” katanya, seraya menyebut Indonesia berdiri karena saling menghormati keberagaman.
Candra tak canggung berkomunikasi lintas iman dan saban tahun Hikmahbudhi menggelar acara bakti sosial live in atau tinggal di rumah berbeda agama sehingga bisa saling mengenal dan mengetahui ajaran agama lain.
Mahasiswa FISIP Universitas Muhammadiyah Malang itu bersama 100-an pemuda, mengikuti pelatihan manajemen penanganan isu kerukunan umat beragama yang digelar Kementerian Agama di Kota Malang, Jawa Timur, Rabu, 24 Oktober 2018.
Seusai pelatihan, mereka mendeklarasikan perang terhadap paham radikal dan terorisme serta berkomitmen dalam kampanye toleransi dan keberagaman untuk menyumbang konten positif di dunia maya.
Candra berharap gerakan bersama itu dapat mempengaruhi masyarakat agar melek informasi dan menyaring berita agar tak terjebak paham radikalisme.
Seorang mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim, Nuril Qomariyah, mengaku baru pertama kali bertemu dan ikut dialog lintas iman sehingga membuka pandangannya terhadap orang dengan agama berbeda.
”Setiap agama mengajarkan hal postif, perdamaian,” ujarnya.
Blokir konten negatif
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ismail Cawidu, dalam pelatihan itu menyatakan kementeriannya menemukan 51.456 konten negatif di dunia maya mulai Januari sampai Oktober 2018, yang sudah diblokir.
Sedangkan sepanjang 2017, terdapat 60.135 konten negatif yaitu terbesar pornografi, disusul perjudian, radikalisme-terorisme, narkoba, dan isu yang menyinggung suku, agama, ras, antar-golongan (SARA).
"Sedangkan informasi hoaks sebanyak 7.000 pengaduan," katanya.
Kominfo mengerahkan mesin untuk menyisir konten negatif selama 24 jam. Mesin mendeteksi secara detail, jika ditemukan pelanggaran konten negatif, Kominfo berwenang memblokirnya.
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur sekaligus guru besar sosiologi UIN Surabaya, Noor Syam, menilai gerakan pemuda itu efektif menangkal radikalisme dan konten negatif di internet.
Ia khawatir konten negatif akan semakin massif saat menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden 2019 karena penyebaran konten negatif terbukti terjadi pada Pemilu dan Pilpres lima tahun lalu.
“Sebagai kelompok masyarakat sipil kita berperan mencegah. Salah satunya melalui media sosial,” katanya.
Noor Syam mendukung gerakan pemuda dan mahasiwa tersebut, termasuk membuat kampanye bersama untuk membangun sikap toleransi dan merawat keberagaman.
Jika gerakan itu masif dilakukan di seluruh daerah, diharapkan akan mengurangi masyarakat terpapar konten negatif di internet, radikalisme dan terorisme, katanya.
Apalagi pemuda, katanya, kelak akan menjadi pemimpin yang akan memberikan pondasi dasar pendidikan masa depan. Sehingga keberagaman dan toleransi akan terus terawat.
Pelatihan yang diselenggarakan Kementerian Agama itu juga menggandeng Kedutaan Besar Korea Selatan.
Perwakilan Kedubes Korea Selatan, Kim Hak Jo, menjelaskan terorisme di negaranya tak dipicu isu agama seperti di Indonesia, melainkan karena persoalan politik dan ekonomi.
Untuk mencegah radikalisme dan terorisme, katanya, Pemerintah Korea Selatan mengeluarkan Undang Undang pencegahan terorisme sejak 1982.