Mengintip Kampoeng Cyber di Yogyakarta
2017.12.28
Yogyakarta
Tiga perempuan paruh baya berbincang di teras rumah saat BeritaBenar menyambangi Kampoeng Cyber di Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta, Selasa pagi, 26 Desember 2017.
Mereka menyapa ramah beberapa mahasiswa yang berkunjung. Selain ketiga ibu rumah tangga itu – Parwani (50), Mujirah (45), dan Hastutik (48) – nyaris tidak ada warga di luar rumah yang berjajar rapi sepanjang gang Kampoeng Cyber.
Hastutik menuturkan lumrah jika pada jam-jam tersebut suasana gang yang bisa dilintasi motor itu sepi karena warga sibuk dengan aktivitas masing-masing, bekerja dan sekolah.
Hastatik adalah satu dari 140-an warga Kampoeng Cyber yang melek teknologi. Sehari-hari, ia menjahit sprei untuk menambah penghasilan keluarga dan menjualnya secara online.
Dia dan rekan-rekannya mengaku tetap sering bertatap muka dengan warga sekampung untuk ngobrol dibandingkan berhubungan melalui gawai.
“Kita batasi, kita atur waktunya karena saya lebih nyaman jika bertemu tetangga secara langsung,” ujar Hastutik.
Dia mulai memanfaatkan teknologi internet sejak tiga tahun terakhir. Awalnya, Hastutik sekali tak tahu bagaimana berinteraksi melalui media sosial. Keluarganya mengandalkan penghasilan suaminya yang bekerja sebagai pedagang.
Ketika penggunaan internet gencar disosialisasikan Ketua Rukun Tetangga (RT) melalui berbagai pertemuan warga, Hastutik pun ikut memanfaatkan jejaring sosial.
“Jaringannya kan sudah ada, kita iuran setiap bulan, tinggal pakai. Anak-anak di sini dari TK sudah kenal hape (handphone), buka YouTube. Tapi ada aturan buat mereka, sehari cuma boleh satu jam saja bermain hape,” jelas Hastutik.
Dulu kampung kumuh
Kini, belasan sambungan wifi (sambungan internet tanpa kabel) terpasang di Kampoeng Cyber. Sepuluh di antaranya khusus buat warga, dan sisanya boleh digunakan wisatawan yang sering berkunjung.
Kampung yang awalnya bernama Kampung Taman itu terletak di areal Benteng Keraton Yogyakarta. Sejak tiga tahun lalu, daerah itu telah menjadi kampung wisata dan jamak disebut Kampoeng Cyber.
Sebelum berubah jadi Kampoeng Cyber, kondisinya kumuh karena perekonomian warga berada di level menengah ke bawah. Mayoritas dari 40 Kepala Keluarga (KK) berprofesi sebagai pedagang dan perajin batik.
Ketua RT, Antonius Sasongko Wahyu Kusumo, menuturkan setelah menjadi Kampoeng Cyber sekaligus tempat wisata baru di Yogyakarta, lingkungan lebih bersih dan nyaman. Warga juga memanfaatkan jaringan internet untuk memperluas pasar mereka.
“Semuanya berproses, mulai dari berubah jadi kampung yang warga melek teknologi diikuti kesadaran menjaga kebersihan lingkungan,” ujar pria yang akrab disapa Koko kepada BeritaBenar.
Koko yang terpilih sebagai Ketua RT 36 Kampung Taman pada 2006 terpikir mengubah kampungnya jadi melek teknologi karena dia yakin dengan internet akan memudahkan dan memberi manfaat.
Jaringan internet yang bisa dibagi dan ditanggung bersama jadi solusi mengingat warga di kampungnya memiliki penghasilan pas-pasan.
“Tahun 2006 hanya ada satu komputer di sini. Dengan kesadaran warga mau menabung dan membeli komputer dan kini semua rumah sudah punya seperangkat komputer yang terkoneksi jaringan internet,” jelas Koko.
Pengumuman kematian, ajakan kerja bakti, undangan pertemuan rutin warga, hingga penerbitan surat keterangan RT dan RW kini dilakukan secara online.
Warga tinggal membuka aplikasi dan memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai password dan mereka bisa mencetak surat keterangan RT/RW yang biasa dibutuhkan untuk memperbaharui Kartu Keluarga atau membuat KTP.
Selain memiliki belasan wifi, terpasang sembilan CCTV di beberapa titik sepanjang jalan kampung. CCTV dicek secara online oleh para pengurus RT.
Hiasan mural juga menghiasi dinding di sepanjang gang Kampoeng Cyber dan membuat pengurus RT bisa mengidentifikasi dengan mudah lokasi yang tampak pada CCTV.
Jalan Zuckerberg
Tahun 2014, Kampoeng Cyber dikunjungi Mark Zuckerberg, CEO Facebook. Tidak ada pemberitahuan apapun baik dari pemerintah kota maupun Facebook terkait kedatangan Mark.
“Ia ternyata memantau aktivitas kami di Facebook, dan penasaran mau melihat sendiri seperti apa Kampoeng Cyber,” ujar Koko yang menegaskan semua pembangunan adalah swadaya masyarakat, tanpa bantuan dari pemerintah.
Tidak banyak dilakukan Mark, tetapi kedatangannya membuat warga terkesan sehingga menamakan satu sisi jalan di gang kecil dengan Jalan Zuckerberg.
Ada juga Jalan Rudiantara diambil dari nama Menteri Komunikasi dan Informatika, yang sering mengunjungi Kampoeng Cyber dan melewati sisi jalan berbeda dengan Mark.
Mengklaim 90 persen warganya melek teknologi tanpa batasan umur, Koko mengatakan tetap waspada terhadap pengguna internet anak di bawah umur.
Pengawasan orang tua selalu ditekankan Koko di setiap pertemuan warga. Filter kode juga dilakukan tim pengurus RT untuk menyaring konten berbau radikal dan porno.
Meski harus membayar Rp.45.000 per bulan tidak ada warga yang keberatan, termasuk yang tidak begitu aktif menggunakan internet seperti Budiyono.
“Tidak masalah, semua untuk kebaikan warga. Kami dapat manfaat, banyak wisatawan berkunjung, dan mampir untuk beli batik jualan istri saya,” ujar pensiunan berusia 65 tahun itu yang tinggal dengan istrinya.
Nanung (29), seorang pengunjung dari Tuban, Jawa Timur, mengaku tertarik untuk mengunjungi Kampoeng Cyber ketika datang ke Yogyakarta. Dia tahu tentang Kampoeng Cyber dari media sosial dan berita di media massa.
“Kampungnya nyaman, asri, bersih, banyak spot menarik. Begitu masuk, langsung dapat sambungan wifi. Mudah ditemukan juga karena sudah ada di google map,” ujarnya.