Hilangkan Segregasi, Kampung Multietnis dan Agama akan Dibangun di Ambon
2016.09.09
Ambon
Menara dan pondasi gereja di Batu Merah Dalam, Ambon, masih berdiri. Tembok dan bagian lain sudah tak terlihat. Sementara sebuah masjid, diapit toko di salah satu pemukiman Kristen, sudah tak berfungsi lagi.
Gereja dan masjid itu rusak akibat konflik yang melanda Maluku, tahun 1999. Sebelum konflik, warga Muslim dan Kristen hidup rukun di Batu Merah meski beda agama.
Konflik menghancurkan semua keharmonisan. Tak hanya rumah ibadah, kehidupan dan relasi sosial tercerabut. Orang memilih mendiami wilayahnya masing-masing, berdasarkan mayoritas komunitas. Warga tersegregasi secara fisik maupun mental.
“Dulu kami hidup berdampingan. Karena konflik, yang Kristen telah pindah ke wilayah lain,” kisah Ali, seorang warga Muslim, kepada BeritaBenar, Rabu, 7 September 2016.
Untuk mengembalikan keharmonisan, dua aktivis perdamaian Maluku, Abidin Wakano dan Jack Manuputty, menggagas kampung multietnis dan agama di Ambon. Ide ini disodorkan kepada mantan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, sekitar 2005.
Gagasan ini direspons pemerintah daerah yang merencanakan pembangunan pemukiman multietnis dan agama ini pada 2017 di Desa Laha dan Hattu, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon.
Gubernur Maluku Said Assagaff pada Konferensi International Dialog Antar Keyakinan Indonesia Belanda ke-4 di Ambon, 24 Agustus lalu, menyebutkan sekitar 500 rumah akan dibangun di perkampungan multi-etnis tersebut.
“Menteri PU sampaikan bahwa nanti bangun rumah dan Menteri Agama nanti bangun tempat ibadah. Di kampung itu akan kita tempatkan warga Muslim, Kristen, Hindu, Katolik, dan Budha. Semua di sana,” ujar Assagaff.
Segregasi
Menurut sejarah, segregasi sosial berdasarkan agama sudah terjadi di Ambon sejak pedudukan Belanda. Alhasil, keberadaan masyarakat beda agama dapat diindentifikasi dengan pendekatan kewilayahan.
Segregasi perlahan terkikis, seiring pembangunan Kota Ambon pasca kemerdekaan, terutama di pusat-pusat ekonomi dan pemerintahan. Warga dengan agama dan etnis berbeda, hidup berbaur.
Tetapi, upaya desegregasi hancur akibat konflik Maluku, 17 tahun silam. Komunitas Muslim dan Kristen terpisah.
“Bangunan yang tertinggal adalah gereja dan beberapa rumah tak lagi dihuni,” ungkap Ali.
Kampung multietnis
Tiga alasan melatarbelakangi pendirian kampung multietnis dan agama ini. Pertama, segregasi sosial masih ada di Ambon usai konflik 1999. Konflik melahirkan segregasi wilayah berdasarkan agama dan etnis.
“Celakanya masuk juga ruang publik. Memang, segregasi di Ambon dan Maluku umumnya tidak bisa dihindari. Itu warisan Belanda. Tetapi dengan adanya konflik, turut melegalkan,” tutur Jack.
Kedua, upaya perdamaian yang digagas pemerintah dengan membangun Islamic Centre, Kristiani Centre dan Katolik Centre, belum berhasil.
Pendekatan ini, ujar Jack, bersifat segregatif dan tidak membangun kehidupan harmonis. Konsep baru diperlukan untuk mengintegralkan semua upaya perdamaian di Maluku.
Terakhir, ucap Jack, upaya menjadikan Maluku sebagai laboratorium perdamaian jangan hanya isapan jempol. Perlu rekayasa sosial untuk mengisi laboratorium itu.
“Produknya (laboratorium perdamaian) apa? Harus ada, sehingga orang datang ke sini belajar dan mengadopsi. Sebab, orang tak bisa mengadopsi konsep kearifan lokal Maluku ke tempat lain,” papar Jack.
Masjid dan gereja yang berdiri berdampingan di Desa Nania, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, Maluku. Foto diabadikan, 7 September 2016. (Tajudin Buano/BeritaBenar)
Interaksi sosial
Manusia sebagai mahluk sosial, menurut Abidin, tidak bisa hidup sendiri. Perbedaan keyakinan dan etnis, bukan penghalang untuk melahirkan kehidupan yang harmonis.
“Dalam menata sebuah bangsa, kita tidak bisa hidup sendiri-sediri. Nah, kampung multietnis dan agama, bisa menjadi wadah untuk kita belajar hidup bersama,” tuturnya.
Desain pembangunan dan pengelolaan kampung multietnis dan agama telah dirancang. Di antaranya, 50-60 rumah akan dihuni etnis Maluku dengan agama yang berbeda. Sisanya bagi pendatang yang sudah menjadi warga Maluku.
Rumah warga akan dibangun berdekatan dan berhadapan agar terjadi interaksi langsung. Selain itu, juga dibentuk lembaga kemasyarakatan yang mengatur pengembangan kampung itu secara partisipatoris.
“Keluarga yang ditempatkan di kampung itu, akan diseleksi untuk menghindari adanya ancaman radikalisme dan terorisme,” jelas Abidin.
Jadi model
Pemukiman multietnis diklaim sebagai yang pertama di Indonesia, bahkan dunia. Sejumlah pegiat dan lembaga yang fokus pada isu keberagaman, toleransi, dan perdamaian ingin terlibat dalam pengelolaannya.
“Model ini bisa menjadi kontribusi Maluku untuk wilayah lain. Memang pernah diuji coba di Singapura, tapi di apartemen karena di sana tidak ada lagi perkampungan,” kata Jack.
Selain berkunjung, pengunjung yang datang ke pemukiman ini juga diajak untuk live in agar bisa merasakan harmonisasi kehidupan di kampung multi-etnis.
“Anak-anak muda peserta didik, dan semua orang bisa berlibur dan menetap untuk merasakan pengalaman hidup bersama,” tambah Abidin.
Ketua Perwakilan Umat Budha (Walubi) Maluku, Wilhelmus Jauwerissa menilai, perkampungan multi-etnis dan agama penting untuk mengikis kesan negatif terhadap daerah itu. Dia berharap, segera dibangun.
“Kita harus memberikan apresiasi pada rencana mulia ini. Kita ingin memperbaiki kesan negatif sebagaimana peristiwa 1999,” katanya.
Ali, yang dulunya tinggal berdekatan dengan warga Kristen, juga setuju dengan pemukiman itu sehingga interaksi sosial akan kembali terwujud dan perlahan mengikis segregasi.
“Kita ingin hidup harmonis, tanpa saling curiga,” pungkasnya.