Warga Kampung Pulo Keluhkan Jaminan Ekonomi di Rusun

Oleh Arie Firdaus
2015.08.26
150826_ID_EVICTION_620.png Anak-anak warga Kampung Pulo bermain di Perpustakaan Rusun Jatinegara, tempat tinggal mereka yang baru, 26 Agustus 2015.
BeritaBenar

Sudah tiga hari Hamim bermalam di rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Namun ia mengaku tak pernah bisa tidur nyenyak.

Ruangan bernomor TA0906 itu tergolong rapi dan bersih. Berada di lantai sembilan, dindingnya berkelir putih. Sekitar dua langkah dari pintu masuk, terdapat toilet berukuran 2x1 meter di sisi kanan. Air dari Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) mengalir lancar.

Di sebelahnya, dua kamar yang masing-masing berukuran 2,5x2 meter berjejer. Pada setiap kamar, terdapat jendela berukuran cukup besar: 2x1 meter. Manakala dibuka sempurna, angin menyapu segenap ruangan. Hawa segar pun terasa.

"Saya barangkali belum terbiasa," kata Hamim menceritakan pengalamannya tinggal di Rusunawa kepada BeritaBenar, Rabu, 26 Agustus.

"Masih terbayang kehidupan di tempat lama."

Bagi Hamim (52), bayangan masa lalu memang perihal yang sulit dimentahkan. Ia lahir dan tumbuh di sana: di perkampungan di bantaran Kali Ciliwung yang lebih dikenal sebagai Kampung Pulo.

Selain itu, Hamim kini gusar mencari cara untuk mendapatkan uang tambahan. Ia hanya seorang sopir angkutan kota. Penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta dengan dua anak.

Sang istri, Nazroh, membuka warung yang menjual kopi, camilan, dan rokok untuk menambah pendapatan keluarga. Tapi itu dulu.

Setelah pindah ke rusunawa, warungnya terpaksa ditutup. Hal inilah yang membuat pusing Hamim dan Nazroh. Walhasil, mereka kini berhitung cermat soal pengeluaran.

"Sempat dijanjikan bakal dibuatkan tempat berjualan, sih, di lantai dasar. Tapi enggak tahu juga realisasinya," kata Nazroh.

Apalagi, tambah Nazroh, pengeluaran mereka kini bertambah karena harus membayar uang sewa rumah susun sebanyak Rp 300 ribu sebulan. Belum termasuk tagihan listrik dan air. "Makanya saya bingung," ujar Nazroh lagi.

Hamim menambahkan pernyataan sang istri. "Sedangkan dulu, kan, tak bayar sewa rumah. Air untuk bikin kopi tinggal diambil dari kali. Sekarang saya beli air galonan karena tak cocok dengan air PAM."

Kebingungan soal finansial tak cuma dialami pasangan Hamim dan Nazroh. Tika (32) juga bernasib sama. Ibu satu anak ini terpaksa menutup warungnya setelah pindah ke rumah susun.

"Saya sempat berniat membuka di depan unit," katanya.

"Tapi enggak diperbolehkan. Jadi, ya, tunggu saja karena katanya bakal dikasih warung."

Persoalan jaminan ekonomi penghuni rumah susun itu menjadi masalah baru yang kini harus dituntaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, persoalan kekerasan saat merelokasi Hamim dan 916 kepala keluarga lain di Kampung Pulo masih belum mereda.

Kurang sosialisasi kepada masyarakat

Banyak pihak mengecam cara yang dipilih Pemda DKI dalam merelokasi warga Kampung Pulo. Kamis pekan lalu, Pemerintah Jakarta mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan aparat kepolisian untuk mengamankan proses penggusuran pemukiman di Kampung Pulo.

Dua belas orang luka-luka, satu alat berat hangus dibakar warga Kampung Pulo, dan 27 orang ditahan kepolisian. Bentrokan ini menjadi kekerasan fisik pertama sejak tahun 2012, ketika gubernur DKI saat itu Joko Widodo dan wakil yang sekarang menggantikannya, Basuki Tjahaja Purnama, menjabat.

Salah satu kecaman datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisi menilai pemerintah Jakarta sudah bersikap arogan saat penggusuran karena tak melibatkan masyararakat.

"Seharusnya pemerintah menjelaskan kepada masyarakat soal rencana tata kota Jakarta. Daerah mana yang akan direlokasi. Kalau daerah mereka, lalu, apa alasannya?" kata Komisioner Komnas HAM, MuhammadNurkhoiron saat dihubungi BeritaBenar.

"Maka, masyarakat akan paham apa rencana tata ruang yang disusun pemerintah. Kalau pemerintah transparan mengelola Jakarta, maka, masyarakat pun akan cinta dengan Jakarta. Mereka merasa dihargai."

Penggusuran itu dilakukan karena pemerintah Jakarta ingin menata kawasan kali sebagai siasat menangkal banjir. Namun warga menentang karena menginginkan ganti rugi sebelum pindah ke rumah susun.

Akibatnya, bentrokan fisik tak terhindarkan.

Semasa menjadi wakil gubernur, Basuki, yang kerap disapa Ahok, sempat berjanji tak akan menggunakan kekerasaan saat penggusuran.

Pada kesempatan terpisah, Ahok membela keputusannya yang mengerahkan Satpol PP dan kepolisian saat penggusuran di Kampung Pulo. Ia pun menyebut warga yang terkena relokasi tak berhak mendapatkan uang ganti rugii karena mendiami tanah negara.

"Buktinya tak ada yang punya sertifikat. Mereka hanya menunjukkan akta jual-beli tanah kepada saya," ujar Basuki.

Relokasi bantaran kali tak selesaikan masalah

Saat dihubungi BeritaBenar, pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya menyatakan pesimis penggusuran Kampung Pulo mampu mencegah banjir di Jakarta.

Revitalisasi bantaran kali seperti di Kampung Pulo, menurut Marco, tak akan signifikan mencegah banjir di Jakarta.

Marco mengatakan, faktor utama banjir di Jakarta sebenarnya disebabkan oleh eksploitasi air tanah secara besar-besaran yang menyebabkan penurunan permukaan tanah. Sehingga, kata Direktur Pusat Studi Perkotaan Ruang Jakarta (RUJAK) itu, Pemerintah Jakarta sebaiknya berfokus mengurangi eksploitasi tersebut.

"Daripada menggusur warga di bantaran kali," ujarnya lagi.

Menurut Marco, penurunan permukaan tanah menjadi masalah pelik dan harus segera dituntaskan pada saat ini. Ia mencatat, setiap tahun permukaan tanah di Jakarta turun hingga 15 cm. Sedangkan, permukaan laut naik 6 mm setiap tahun.

"Tak mengherankan, beberapa titik di Jakarta bisa terendam banjir dengan mudah," katanya lagi.

Selain itu Marco meminta pemerintah mengembangkan tata kelola air baru. Menurutnya, sistem kanal yang masih dipakai pemerintah Jakarta saat ini tak lagi relevan karena hanya bisa menahan laju air.

"Kalau meluap, tetap saja banjir," ujar Marco.

Marco menyarankan pemerintah Jakarta beralih menggunakan sistem drainase karena bisa mengelola aliran air. Sistem ini akan mampu menyimpan air jika berlebih seperti di musim penghujan dan mendistribusikan jika ada yang membutuhkan.

Pemerintah Jakarta lanjutkan relokasi warga bantaran kali

Pemda DKI tetap akan menggusur beberapa perkampungan lain yang berada di bantaran Kali Ciliwung. Beberapa perkampungan yang akan segera digusur adalah Bukit Duri dan Bidaracina.

Namun Basuki belum memastikan waktu penggusuran.

"Kami sedang pelajari. Sesegera mungkin kami bongkar," kata Basuki kepada wartawan di Ancol, Jakarta Utara.

Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Kukuh Hadi Santoso, saat dihubungi BeritaBenar mengatakan daerah Bukit Duri dan Bidaracina memang termasuk dalam wilayah-wilayah yang akan ditertibkan, selain Taman BMW di kawasan Jakarta Utara.

Yang pasti, jelas Kukuh, penggusuran baru bisa dilakukan jika rumah susun pengganti sudah siap. "Prosedurnya seperti itu," kata Kukuh.

"Kalau sudah siap (rumah susun), baru bisa direlokasi."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.