Jenazah TKI Korban Kapal Karam Tiba di Aceh
2015.09.09
Keluarga Nurlela binti Abdul Wahab (41) memutuskan untuk segera menguburkan jenazahnya. Begitu tiba di rumah duka di Desa Julok Sukon, Kabupaten Aceh Besar, puluhan warga yang telah menunggu sejak senja menyalatkan jenazah. Lalu, jenazah dibawa ke pemakaman keluarga untuk dimakamkan hari Selasa 8 September, sekitar pukul 22:30 WIB.
Empat anak korban tak mampu membendung airmata saat mayat ibunya diturunkan ke liang lahat. Mereka ialah Nurul Aflah (22), Ujang Supriadi (20), Putri (14) dan Reza Fahlevi (10). Prosesi pemakaman berlangsung sekitar dua jam.
Nurlela adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari 64 WNI yang dinyatakan tewas setelah kapal yang mereka tumpangi terbalik dan karam di perairan Sabak Bernam, Selangor, Malaysia, Kamis dinihari 3 September.
Kapal yang hanya berkapasitas 15-20 orang itu sedang dalam perjalanan ke Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara. Jumlah penumpang tewas dan selamat yang telah ditemukan mencapai 84 orang.
Sejauh ini 20 korban tewas dan 13 lainnya yang selamat diketahui berasal dari Aceh.
“Kemungkinan warga Aceh yang menjadi korban meninggal dunia bertambah karena proses identifikasi masih berlangsung di beberapa rumah sakit di Malaysia,” ungkap Kepala Dinas Sosial Aceh, Al Hudri, kepada BeritaBenar melalui telepon pada hari Rabu.
Al Hudri dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Said Rasul berada di Malaysia untuk membantu proses pemulangan warga Aceh yang menjadi korban kapal karam tersebut.
Ingin bangun rumah
Mariana (45), kakak kandung Nurlela, yang diwawancara BeritaBenar di rumah duka, Rabu siang, menyebutkan bahwa korban menghubunginya hari Rabu 2 September lalu untuk mengabarkan akan pulang keesokan harinya.
"Dia mohon doa agar selamat tiba di kampung. Dia juga bilang terpaksa harus pulang lewat jalur belakang karena paspornya ditahan oleh majikannya,” jelas Mariana yang menyebutkan ‘jalur belakang’ adalah menumpang kapal tongkang secara ilegal.
Mariana mengaku gembira karena adiknya memutuskan akan tinggal bersama anak-anaknya. Namun pada Jumat siang kegembiraannya berubah menjadi duka setelah dia mendapat kabar kapal yang ditumpangi kakaknya tenggelam.
Nurlela pertama merantau ke negeri jiran itu secara resmi pada bulan Juli 2013. Di Malaysia, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setelah setahun, dia pulang karena habis kontrak.
Karena tak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya di Aceh, pada bulan November 2014 ia kembali ke Malaysia melalui agen di Medan.
“Selama bekerja di majikan baru ini, dia dilarang salat. Kalau dia salat, majikannya mendorongnya,” tutur Mariana.
Namun dia tidak mengetahui apakah adiknya mengalami penganiayaan fisik.
Kendati dilarang salat, Nurlela tetap diberikan gaji oleh majikan sebesar 600 Ringgit perbulan. Setiap bulan, dia mengirim sebagian uang gajinya untuk biaya hidup anak-anaknya yang tinggal bersama nenek mereka.
“Karena tidak tahan perlakuan majikan, adik saya lari. Seorang temannya membantu pemulangan lewat jalur belakang,” kata Mariana, menyiratkan kesedihan.
Dalam pembicaraan melalui telepon, Nurlela mengungkapkan dia sangat rindu pada keempat anak dan keluarga. Dia juga menyatakan keinginannya membangun sebuah rumah untuk ditinggali bersama anak-anaknya dari hasil perkawinan dengan seorang pria yang telah menceraikannya.
Nurul, putri sulung korban, mengaku ia dan ketiga adiknya merasa sangat kehilangan ditinggal ibunya secara tragis. “Tapi kami harus ikhlas karena ini kehendak Allah dan kami hanya bisa berdoa agar ibu mendapat mulia di sisi Allah,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Mau merayakan Idul Adha
Kisah duka juga menyelimuti keluarga besar Zulfikar (32). Dia dan putrinya Shakila (2) ikut jadi korban meninggal dalam karamnya kapal kayu yang panjangnya 12,2 meter tersebut. Istri Zulfikar, Leni, tidak ikut pulang karena harus menjaga toko di Penang.
Jenazah Shakila telah dikebumikan kampung ayahnya di Desa Teungoh, Kabupaten Aceh Utara, Rabu pagi. Sedangkan, jenazah Zulfikar tiba di Aceh, Rabu malam dan rencananya akan dimakamkan dekat makam putrinya, Kamis pagi, 10 September.
Azhar (27), seorang adik korban mengisahkan bahwa dua orang abangnya merantau ke Malaysia sejak tahun 2011. Sebelumnya, Zulfikar sudah beberapa kali bolak-balik ke Malaysia. Sejak akhir 2011 setelah menikah dengan Leni, seorang perempuan asal Medan, Zulfikar dan adiknya, Khairul Rizal (29) berjualan kebutuhan rumah tangga di Penang.
“Abang menghubungi kami, Rabu lalu. Dia bilang pulang naik boat untuk merayakan Hari Raya Idul Adha bersama keluarga, sekaligus membawa Shakila karena sejak lahir belum pernah pulang ke Aceh,” ujar Azhar kepada BeritaBenar melalui telepon, Rabu pagi.
Kamis pekan lalu, Khairul menelpon keluarga di Aceh, yang mengabarkan kapal yang membawa Zulfikar dan Shakila karam. Sehari kemudian, keluarga mendapat kabar dari Khairul tentang penemuan mayat keduanya bersama puluhan korban lain.
Azhar mengaku heran karena selama ini abangnya tidak pernah pulang dengan boat tongkang. Bila mau pulang ke Aceh, Zulfikar selalu menumpang pesawat dari Penang ke Medan atau Banda Aceh karena dia memiliki paspor.
“Mungkin memang sudah ajal abang saya. Kami sekeluarga ikhlas atas musibah ini,” tutur Azhar, yang menambahkan bahwa keluarga berharap kepada Pemerintah Aceh untuk dapat memfasilitasi kepulangan Leni dan Khairul.
Terkendala kargo
Jenazah Nurlela dan Shakila bersama tiga mayat korban warga Aceh lain dipulangkan dari Kuala Lumpur menuju Jakarta dengan pesawat Garuda, Selasa pagi. Selanjutnya, kelima jenazah tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang, Aceh Besar, Selasa malam sekitar pukul 21:00 Wib.
Al Hudri menyatakan bahwa pihaknya terus berusaha memulangkan jenazah korban ke Aceh, tapi kargo pesawat Garuda juga harus membawa jenazah korban dari provinsi lain di Indonesia. Pesawat yang selama ini ada terbang langsung dari Malaysia ke Aceh tidak menerima kargo.
“Proses pemulangan terpaksa dilakukan secara bertahap karena terkendala kargo pesawat. Mudah-mudahan semua jenazah korban bisa cepat dipulangkan,” katanya.
Menurut Al Hudri, 20 korban selamat, termasuk 13 warga Aceh, saat ini ditahan oleh polisi Diraja Malaysia. Karena prioritas utama memulangkan jenazah korban, tim dari Pemerintah Aceh berencana untuk bertemu korban selamat di penjara polisi, Kamis, 10 September.
Dikatakan bahwa proses identifikasi korban tewas dilakukan berdasarkan keterangan keluarga di Malaysia, dokumen berupa paspor atau KPT yang ditemukan pada tubuh korban dan tes DNA. Di kantor Gubernur Aceh juga telah dibentuk posko khusus untuk membantu para keluarga korban.
Al Hudri juga menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh sudah meminta pada Pemerintah Malaysia agar mengampuni para korban selamat dan tidak diproses hukum sehingga mereka bisa secepatnya dipulangkan ke Aceh meski sebagian dari mereka masuk ke negeri jiran itu secara ilegal.
Sementara itu Kedutaan Besar RI (KBRI) di Kuala Lumpur mengatakan sejauh ini sudah 45 jenazah yang berhasil diidentifikasi. Selain dari Aceh, 44 korban tewas lain diantaranya; 12 dari Sumatera Utara, Sembilan jenazah asal Jawa Timur, dua dari Lampung, dan satu lagi belum diketahui asalnya.
Jenazah para korban tewas mulai dipulangkan ke Indonesia sejak Senin. Sampai Rabu malam, KBRI Kuala Lumpur mengatakan sudah 28 jenazah yang dibawa pulang.