Kisah Perempuan Aceh Selamat dari Kapal Karam di Malaysia
2015.09.22
Banda Aceh
Erni Juita (25) berusaha tegar ketika mengisahkan peristiwa tragis yang merenggut nyawa suaminya, Muhammad Rizal (27). Kepiluannya semakin membuncah karena ia tak bisa melihat jenazah suaminya untuk terakhir kali.
“Saya sedang dirawat di rumah sakit saat mayat suami saya dibawa pulang ke Aceh,” katanya kepada BeritaBenar di terminal Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) di Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Selasa petang 22 September. Jenazah Rizal dibawa pulang ke Aceh pada 8 September lalu.
Erni adalah satu-satunya perempuan korban selamat dari kapal karam di perairan Sabak Bernam, Selangor, Malaysia, Kamis dinihari 3 September lalu. Dia dibawa pulang ke tanah air bersama dengan 11 warga Aceh lain setelah mendapat pengampunan dari pemerintah Malaysia atas pertimbangan kemanusiaan.
Mereka berangkat dari Kuala Lumpur menuju Jakarta, Senin 21 September. Menurut data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, dari 20 korban yang selamat dalam musibah itu, 17 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal telah dipulangkan ke tanah air.
Bersama rombongan mereka juga dibawa pulang sesosok mayat korban warga Aceh. Kapal kayu 12,2 meter yang ditumpangi sekitar 85 penumpang itu tenggelam setelah diterjang ombak besar Selat Malaka karena kelebihan muatan sehingga sedikitnya 65 orang tewas.
Hingga kini, masih ada enam korban meninggal yang belum teridentifikasi, termasuk satu jenazah yang ditemukan pada 21 September.
“Seorang warga Aceh, Muhammad Hanafiah, masih berada di Kuala Lumpur karena dia harus menjadi saksi di Mahkamah Malaysia terhadap tersangka kapten kapal asal Sumatera Utara,” ungkap Saifullah Abdulgani, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Aceh.
Kedatangan mereka disambut Wakil Gubernur Muzakir Manaf. Dalam sambutannya, bekas Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu mengharapkan pada warga Aceh kalau ingin bekerja di Malaysia untuk menempuh jalur resmi.
Punya firasat buruk
Erni mengaku pada hari naas itu, ia sempat bilang pada suaminya agar membatalkan pulang dengan menumpang kapal tersebut karena perasaannya tak enak. Tapi, Rizal meminta istrinya untuk membuang jauh-jauh firasat buruk itu.
“Abang bilang ‘jika memang sudah ajal kemana pun kita pergi akan meninggal juga’,” ujar Erni, sambil menghapus airmata yang membasahi pipinya.
Beberapa menit sebelum kapal berangkat, Erni mengaku tertinggal karena ia berada di toilet. Menjelang tengah malam, kapal penuh muatan dengan puluhan orang yang duduk berdempetan berlayar dengan tujuan Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara.
“Saat kapal mulai berangkat, perasaan saya gundah sekali, tapi suami saya berusaha menenangkan saya. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah. Apalagi kami bakal segera bertemu dengan buah hati kami,” tutur Erni.
Perempuan yang mengenakan hijab itu menikah dengan Rizal tahun 2010. Pasangan ini dikarunia seorang anak, Muhammad Alfaidi (4). Sebelum menikah, Rizal pernah bekerja di Malaysia.
Setelah putra mereka berusia dua tahun, Rizal memutuskan pergi lagi dengan kapal laut dari Tanjung Balai dan bekerja sebagai pelayan restoran di Kuala Lumpur dengan gaji 1.100 Ringgit.
Sekitar 14 bulan lalu, Erni memutuskan menyusul suaminya. Dia ikut membantu sang suami bekerja di restoran dengan gaji 700 Ringgit. Setiap bulan, pasangan ini rutin mengirim uang untuk sang buah hati yang tinggal bersama neneknya.
Erni mengaku pergi ke Malaysia dengan pesawat terbang. Ia hanya berbekal paspor.
“Pemilik restoran pernah menjanjikan akan mengurus perizinan kami bekerja secara resmi. Setelah berbulan-bulan menunggu, izin tak juga diurus. Alasannya kuota telah habis,” katanya.
Mengapung pada mayat
Setelah sekitar tiga jam mengarungi lautan Selat Malaka, beberapa kali ombak besar menghantam kapal yang belum memasuki perairan perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Semua penumpang hanya bisa pasrah dan berdoa.
“Kapal baru tenggelam setelah dihantam ombak besar ketiga. Sebelumnya air sudah mulai masuk ke dalam kapal. Saat itu hujan rintik-rintik,” tutur Wahyu Saputra (23) kepada BeritaBenar.
Pemuda asal Kabupaten Aceh Selatan itu mengaku dia selamat setelah mengapung di tas pakaian penumpang selama delapan jam. Wahyu dan warga lain diselamatkan sejumlah nelayan setempat dari tengah lautan. Dia dan mereka yang dibawa pulang ke Aceh mengaku kapok dan tidak mau lagi pergi ke Malaysia.
Erni mengaku ia bersyukur selamat setelah mengapung pada dua mayat perempuan yang dipegangnya erat-erat. Dia merasa bahwa kedua mayat perempuan itu sengaja dikirim Allah untuk menyelamatkannya.
“Saya banyak minum air laut. Makanya saya dirawat di rumah sakit selama seminggu untuk membersihkan paru-paru dan pernafasan saya terganggu,” katanya.
Seluruh barang bawaan Erni dan penumpang lain, termasuk sejumlah uang, tak ada yang bisa diselamatkan. Semuanya lenyap ditelan laut. Saat diselamatkan, Erni hanya mengenakan pakaian dalam.
Erni menyebutkan sebenarnya ia dan suaminya sudah memutuskan untuk tidak balik lagi ke Malaysia karena bekerja secara ilegal di negara jiran itu banyak risiko. Apalagi suaminya pernah ditangkap polisi Malaysia, tapi kemudian dilepaskan setelah diurus manajer restoran.
“Kami akan berusaha di Aceh. Apalagi ada tabungan sedikit untuk modal usaha kami. Ternyata Allah berkehendak lain. Suami saya pergi selamanya. Saya rela dan ikhlas karena kita semua juga akan kembali kepada Allah,” ujar Erni.
Dia mengaku senang bisa pulang ke Aceh karena akan bertemu dengan putranya dan keluarganya. Begitu tiba di kampung, Erni akan segera menziarahi kuburan suaminya meski ia tak sempat melihat jenazah Rizal untuk terakhir kalinya.