Polri Sudah Tetapkan 15 Korporasi Tersangka Pembakar Lahan

UNICEF menyatakan lebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan hampir 10 juta anak dalam risiko bahaya pencemaran udara.
Rina Chadijah
2019.09.25
Jakarta
190925_ID_Haze_1000.jpg Petugas memadamkan api kebakaran di sebuah lahan di Kampar, Riau, 23 September 2019.
AFP

Mabes Polri merilis data terbaru perusahaan perkebunan kelapa sawit dan bubuk kertas yang diduga terlibat pembakaran lahan, sehingga mengakibatkan bencana kabut asap di Sumatra dan Kalimantan, sementara itu Malaysia memulangkan ratusan mahasiswanya dari Riau dan Jambi.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Dedi Prasetyo, mengatakan jumlah korporasi yang menjadi tersangka pembakar lahan menjadi 15 dan tersangka individu yang ikut melakukan pembakaran lahan menjadi 334 orang.

"Tersangka korporasi bertambah satu di Kalimantan Tengah," katanya kepada wartawan di Mabes Polri, Rabu, 25 September 2019.

Korporasi terbaru yang ditetapkan sebagai tersangka pembakar lahan adalah PT Gawi Bahandep Sawit Mekar (GBSM). Sebelumnya Polda Kalimantan Tengah juga menetap PT Palmindo Gemilang Kencana (PGK) sebagai tersangka.

Selain itu, daftar perusahaan yang menjadi tersangka antara lain PT AP yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS) yang ditangani Polda Riau, PT Hutan Bumi Lestari (HBL) oleh Polda Sumatra Selatan.

Selanjutnya Polda Jambi menetapkan PT Mega Anugerah Sawit (MAS). Sedangkan Polda Kalimantan Selatan menetapkan dua perusahaan sebagai tersangka pembakar lahan, yakni PT Monrad Intan Barakat (MIB) dan PT Borneo Indo Tani (BIT).

Di Kalimantan Barat, ada dua perusahaan yang jadi tersangka yaitu PT Surya Agro Palma (SAP) dan PT Sepanjang Inti Surya Usaha (SISU).

Sementara di Lampung terdapat lima perusahaan yang sudah jadi tersangka pembakar lahan, yakni PT Sweet Indo Lampung (SIL), PT Indo Lampung Perkasa (ILP), PTPN 7, PT Paramitra Mulya Lampung (PML), dan PT Sweet Indo Lampung (SIL).

Menurut Dedi, perusahaan-perusahaan tersebut telah lalai mengendalikan kebakaran di lahan konsesi mereka. Bahkan, korporasi juga dianggap sengaja membiarkan kebakaran lahan meluas.

"Korporasi diduga lalai dalam rangka untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan, di mana lahan konsesi yang seharusnya menjadi tanggung jawab korporasi tersebut," ujarnya.

Sementara dari 334 Individu yang ditetapkan sebagai tersangka pembakar hutan yaitu 60 orang di Riau, 1 orang di Aceh, 26 di Sumatra Selatan, 39 orang di Jambi, 27 orang di Kalimantan Selatan, 87 orang di Kalimantan Tengah, 69 orang di Kalimantan Barat, dan 25 orang di Kalimantan Timur.

“Pasti akan terus ditindak perusahaan maupun individu yang melakukan pembakaran hutan dan lahan,” katanya.

Mulai hujan

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa upaya menciptakan hujan buatan telah berhasil dengan terjadinya hujan di wilayah Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo mengatakan, hujan telah membantu mengurangi jumlah titik panas di sejumlah wilayah, yang hingga Rabu pukul 16.00 WIB  terdapat 1,947 titik, dari 328.724 hektar lahan yang terbakar. Jumlah itu turun sedikit dari sehari sebelumnya.

"Turunnya hujan tadi membantu berkurangnya titik panas atau hotspot di wilayah Indonesia pada hari ini," katanya dalam keterangan tertulis.

Menurut Agus, sejak 16 September 2019 lalu, program penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) lebih massif dilakukan.

Teknologi Modifikasi Cuaca lebih diintensifkan dengan menambah empat pesawat, yaitu dua di Riau untuk operasi di wilayah Sumatra dan dua lainnya di Kalimantan.

Agus juga menyebut dampak kebakaran hutan dan lahan saat ini sudah mulai berkurang dengan mulai terlihat langit terang dan membiru kembali.

Bahkan dia mengklaim, kabut asap tak terlalu dirasakan lagi warga negara tetangga yang terimbas, seperti Malaysia.

“Diharapkan dalam beberapa hari ke depan langit bisa cerah dan biru kembali,” ujarnya.

Meski kabut asap disebut telah berkurang, konsulat Malaysia di Pekanbaru, Riau, tetap memulangkan 306 mahasiswa mereka yang sedang belajar di sejumlah universitas di daerah itu dan Jambi.

Konsul Malaysia di Pekanbaru, Wan Nurshima Wan Jusoh, mengatakan pemulangan itu dilakukan secara bertahap.

“Ada beberapa diantaranya akan menyusul kemudian hari,” katanya seperti dilansir kantor Berita Antara.

Seorang mahasiswa Malaysia, Mohd Badiuzzaman mengaku kesehatannya terganggu akibat mengirup asap kebakaran hutan sejak 22 September lalu. Dia memilih untuk pulang ke negerinya karena kegiatan belajar mengajar di kampusnya juga sedang libur.

“Tenggorokan saya terasa sakit karena asap,” ujarnya.

Kementerian Luar Negeri Malaysia menyebut keputusan memulangkan para mahasiswa itu diambil setelah Gubernur Riau, Syamsuar, menyatakan status darurat pada Senin lalu hingga 31 Oktober mendatang.

Badan Penanggulangan Bencana Malaysia menyatakan selain memulangkan, sebagian mahasiswa Malaysia di Indonesia yang terdampak Karhutla di Sumatra akan diinapkan di Wisma Malaysia di Jakarta, sampai kondisi di Riau membaik.

10 juta anak terancam

Sementara itu, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus anak-anak, UNICEF, menyatakan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatra menempatkan hampir 10 juta anak dalam risiko akibat pencemaran udara.

“Kualitas udara yang buruk adalah tantangan yang berat dan terus berkembang bagi Indonesia,” kata Debora Comini, Perwakilan UNICEF di Indonesia, dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, anak-anak sangat rentan terhadap polusi udara karena mereka bernapas lebih cepat, dan pertahanan fisik serta kekebalan belum sepenuhnya berkembang. Diperkirakan sekitar 2,4 juta anak balita tinggal di daerah yang paling terkena dampak kabut asap.

"Setiap tahun, jutaan anak menghirup udara beracun yang mengancam kesehatan mereka dan menyebabkan mereka bolos sekolah - mengakibatkan kerusakan fisik dan kognitif seumur hidup," ujar Debora.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lebih 46.000 sekolah dipengaruhi oleh kualitas udara yang buruk karena karhutla tahun ini, sehingga berdampak pada 7,8 juta lebih siswa. Banyak sekolah harus ditutup di daerah paling terkena dampak, merampas kesempatan belajar anak-anak.

"Sangat penting keluarga dan anak-anak menerima informasi yang akurat mengenai paparan mereka terhadap polusi udara beracun, karena ini akan membantu mereka untuk melindungi diri mereka sendiri,", pungkas Debora.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.