Konsorsium Kereta Cepat Indonesia-China minta perpanjangan konsesi jadi 80 tahun
2022.12.08
Jakarta
Konsorsium perusahaan China dan Indonesia yang membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung meminta agar konsesi pengoperasian diperpanjang menjadi 80 tahun, dari 50 tahun berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah, untuk memaksimalkan pendapatan.
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi menyampaikan alasan pengajuan perpanjangan waktu konsesi antara lain karena perkiraan permintaan menurun akibat pandemi dan rencana pembangunan properti di daerah yang dilewati kereta tidak terwujud.
Dia mengatakan konsesi proyek infrastruktur lain seperti bandara juga diberikan 80 tahun.
“Artinya mestinya kereta api, tidak hanya kereta api cepat, tapi kereta api biasa pun mestinya akan mendapatkan equal treatment dari pemerintah jadi konsesi bisa sampai 80 tahun,” kata Dwiyana dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, Kamis (8/12).
Dwiyana menjelaskan dalam studi kelayakan semula perhitungan jumlah penumpang mencapai 60.000 orang per hari tapi berdasarkan perhitungan terbaru hanya sebanyak 31.000 per hari.
“Tentunya penurunan demand forecast pasti akan mempengaruhi perhitungan review feasibility study yang sedang kami lakukan,” kata Dwiyana.
Selanjutnya, kata dia, bahwa di dalam asumsi studi kelayakan awal itu pendapatan KCIC termasuk transit oriented development (TOD), tetapi rencana pembangunan kawasan tersebut ditunda karena alasan pendanaan.
Selain itu, setoran modal PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 8 dalam bentuk lahan tidak disetujui pemegang saham karena kontribusi lahan harus seharusnya dikomersialisasi dahulu.
“Jadi akhirnya diputuskan di dalam rapat pemegang saham memang income kontribusi lahan awal ini untuk TOD itu tidak bisa dilakukan sehingga memang di dalam review feasibility study kami sudah tidak memperhitungkan lagi pendapatan TOD,” kata Dwiyana.
Proyek yang pada awalnya dicanangkan tidak menggunakan biaya negara seperti tertuang dalam Peraturan Presiden tahun 2015, dalam praktiknya tidak demikian. Pada Oktober 2021, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memutuskan untuk mengizinkan penggunaan APBN untuk membiayai proyek yang dananya membengkak sejumlah $1.5 milyar dolar.
DPR, pada 23 November lalu, menyetujui pembiayaan untuk menutup pembengkakan dana proyek kereta api cepat Jakarta - Bandung melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) pada PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp3,2 triliun.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) demikian sebutan lain untuk kereta tersebut, diklaim akan mampu melaju dengan kecepatan 350 kilometer per jam dan akan melayani sebanyak 68 perjalanan setiap hari serta berhenti di lima stasiun, dengan waktu tempuh antara 34-45 menit, dibanding 2,5 jam dengan kereta biasa.
Proyek ini merupakan bagian dari Belt and Road Initiative, program pemerintah China senilai US$1 triliun lebih untuk membiayai pembangunan infrastruktur di seluruh dunia.
Tidak masuk akal
Ketua Komisi V DPR Lasarus mempertanyakan permintaan KCIC ini karena dinilai belum didukung data dan studi kelayakan lanjutan yang memadai.
“Kan terjadi pembengkakan pembiayaan, negara mengeluarkan biaya lebih dengan PMN. Kok minta lagi tambahan konsesi? Enak benar bisnisnya kok begitu? Sering kali saya dapat keluhan macam itu," ujar Lasarus.
Sudewo, anggota Komisi V dari Fraksi Gerindra, mengatakan alasan konsorsium tersebut meminta konsesi menjadi 80 tahun dengan alasan menurunnya jumlah penumpang karena COVID-19, tidak masuk akal.
“Rasanya tidak masuk akal situasinya sudah normal sekarang. Kalau konsesi bisa 80 tahun, mengapa di awal tidak minta 80 tahun. Mengapa yang disampaikan saat itu hanya 50 tahun dan sekarang baru mengajukan revisi,” ucap Sudewo.
Sedangkan anggota Fraksi NasDem, Soehartono, juga meminta masa konsesi kereta cepat tidak diperpanjang karena dia menilai angka 50 tahun saja sudah cukup lama. Meski dia yakin Indonesia mampu mengambil program kereta api cepat sebelum 50 tahun.
"Jangan sampai ditambah, kalau ditambah itu sudah menjadi malapetaka. Tapi saya yakin tidak sampai 50 tahun nanti sudah diambil. Nasibnya sama seperti Freeport, diambil alih oleh negeri sendiri," kata dia.
Senada dengan para anggota DPR, Ekonom Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti mengatakan justru sebaiknya konsesi di bawah 50 tahun sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.
“Hal ini untuk mencegah ketidakpastian pendapatan karena perubahan kebijakan selama masa presiden yang berbeda-beda,” kata Yayan kepada BenarNews.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 dan UU Nomor 23 Tahun 2007 disebutkan: Konsesi perkeretaapian diberikan maksimal hanya 50 tahun dan mulai berlaku saat perjanjian ditandatangani.
Menurut Yayan, inisiatif perubahan konsesi tersebut menjadi membingungkan publik karena seharusnya sebelum proyek tersebut dilakukan sudah melalui proses kajian studi kelayakan dan skenario pembiayaan sudah selesai dari jauh hari.
“Bahkan secara logis proyek publik ini paling lama 30 hingga 40 tahun dengan asumsi proyek yang sangat ketat. Mengapa harus lebih pendek, agar tidak memberatkan keuangan negara dari pajak atau utang negara,” kata Yayan.
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati mengatakan pihak konsorsium sebaiknya mengkaji secara mendalam permintaan perpanjangan waktu konsesi tersebut dan mengumumkan studi hasil kajian tersebut secara transparan kepada publik.
“Agar rakyat secara luas mendapat gambaran secara lengkap faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan biaya investasi kereta cepat ini, bagian mana saja yang bisa dihemat agar bisa tetap sesuai UU yaitu 50 tahun jangka waktu konsesinya,” kata Ninasapti kepada BenarNews.
Sejak konstruksi dimulai pada tahun 2017, proyek KCIC telah menuai sejumlah kecaman terutama dampaknya terhadap lingkungan dan kekhawatiran tentang kenaikan biaya hingga hampir US$8 miliar atau sekitar Rp114 triliun, dibandingkan dengan perkiraan awal sebesar US$6 miliar atau sekitar Rp86,3 triliun.