Demi Keamanan, ‘Kebebasan Pers’ di Papua Dibatasi

Oleh Aditya Surya
2015.06.24
150624_ID_ADITYA_PAPUA_KEBEBASAN_PERS_700.jpg Presiden Joko Widodo di Indonesia setelah mengikuti upacara untuk membebaskan tahanan politik di penjara Abepura, Jayapura, Papua Timur tanggal 9 Mei, 2015.
BeritaBenar

Indonesia belum sepenuhnya membuka Papua bagi wartawan asing, enam minggu setelah Presiden Joko (Jokowi) Widodo berjanji untuk melakukannya.

Gerakan separatis itu dulu, sekarang sudah berbeda… Kita harus berpikiran positif, harus membangun rasa saling percaya,” ujar Jokowi saat mengumumkan bahwa Papua bebas untuk peliputan media asing, di Kabupaten Merauke , tanggal 9 Mei.

Namun, prosedur perijinan tetap rumit. Bahkan beberapa pejabat menyatakan bahwa wartawan asing yang bekerja di provinsi paling timur Indonesia ini akan dikawal oleh militer.

"Kebijakan baru diperlukan bahwa semua wartawan asing akan diawasi dan dikawal saat melakukan pelaporan di Papua, kata Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno kepada Berita Benar, tanggal 23 Juni.

“Ini seharusnya tidak dipandang buruk, tapi semata-mata untuk keselamatan para jurnalis sendiri," katanya.

Alasan keamanan

Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko mengatakan pendampingan jurnalis asing bukan untuk mengintimidasi mereka atau untuk memonitor proses pelaporan, tetapi justru untuk melindungi mereka.

“Papua semakin memanas, separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) bahkan telah menyatakan perang terhadap Indonesia,” katanya.

Dia mengingatkan bahwa pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) Puron Wenda dan Enden Wanimbo, yang bermarkas di Lany Jaya, Papua, menyatakan perang terbuka terhadap Indonesia tanggal 22 Mei lalu.

“Mereka bahkan mengklaim telah mempunyai pasokan senjata,” katanya kepada BeritaBenar.

"TNI tidak ada kepentingan apa-apa, tidak untuk mengintimidasi atau memonitor, tetapi kami ingin agar teman-teman terjaga," ujar Moeldoko.

Papua adalah bagian terakhir dari nusantara yang masih terbatas dari peliputan media asing selama empat dekade terakhir.

Sejak jatuhnya Suharto, Indonesia telah menikmati kebebasan pers, kecuali di Papua dan Timor Timur [sekarang Timor Leste], yang memiliki kelompok separatis dan operasi militer.

‘Hak setiap warga’

Moeldoko, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno P Marsudi, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman membahas tentang kebebasan pers di Papua di pertemuan Komisi I DPR di Gedung DPR, tanggal 21 Juni lalu.

Pada kesempatan itu Menlu membantah bahwa Papua tertutup bagi wartawan asing.

"Kami sampaikan dari data tidak pernah ada penutupan akses ke Papua bagi wartawan asing,” kata Retno.

Tahun 2013 ada 28 permintaan jurnalis asing ke Papua, 21 disetujui, dan tujuh ditolak. Tahun 2014 ada 22 disetujui dan lima ditolak. Dan 2015 sejauh ini diterima delapan permintaan dan semuanya diizinkan, kata Menlu Retno.

“Jadi tidak benar bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah mengijinkan wartawan asing memasuki Papua,” lanjut Retno.

But Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menolak komentar tersebut dan menuntut pemerintah agar memenuhi hak publik untuk tersedianya arus informasi.

“Pernyataan ketiga pejabat ini nyata-nyata melawan kebijakan Presiden Jokowi yang sudah menyatakan akan membuka akses bagi wartawan asing seluas-luasnya di Papua,” kata Ketua AJI Indonesia Suwardjono, tanggal 23 Juni.

“Ketiga pejabat tersebut sepertinya tidak memahami bahwa kebebasan memperoleh informasi dan kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara termasuk yang di Papua,” lanjut Suwardjono.

“Kebebasan pers merupakan syarat bagi pemenuhan hak asasi manusia (HAM), karena itu Presiden Jokowi harus bertindak.”

Perijinan yang ‘memberatkan’ wartawan asing

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua, Victor Mambor, mengatakan bahwa lebih dari empat dekade akses jurnalis asing di Papua sangat terbatas.

Sampai saat ini, wartawan asing masih harus meminta izin pemerintah Indonesia untuk melaporkan Papua, termasuk surat resmi dari perusahaan media dan tanggal kunjungan mereka.

Mereka dipantau dan diperlukan untuk membatasi pelaporan mereka untuk topik seperti budaya dan pariwisata.

Perijinan harus didapat melalui "clearning house" yang melibatkan persetujuan dari 12 lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Kementerian Sampai kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

“Mekanisme dan proses yang berbelit-belit jelas memberatkan jurnalis, belum lagi masalah keamanan selama peliputan,” ujar Victor.

“Penutupan Papua terhadap wartawan asing telah menyebabkan sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM yang tidak terdeteksi,” katanya kepada BeritaBenar.

Kesempatan tentang kebebasan pers yang diberikan oleh Presiden Jokowi perlu ditindaklanjuti, katanya.

“Sebelum [Indonesia] kembali kepada cara lama yang tidak demokratis,” lanjut Victor.

Pengamanan jurnalis asing

Menkopolhukam mengatakan bahwa Indonesia akan mengawal, bukan memonitor wartawan asing.

“Kami akan menjaga keamanan masing-masing jurnalis, mengingat kondisi Papua masih hutan dan situasi politik yang masih bergejolak. Seharusnya mereka senang dengan fasilitas ini,” kata Tedjo Edhy.

“Ini juga untuk mencegah kemungkinan penawanan dan penyanderaan wartawan Asing. Kalau ini tidak dilaksanakan kalau ada apa-apa dengan mereka toh pemerintah [Indonesia] juga yang bertanggungjawab,” katanya lanjut.

"Wartawan asing di Papua memang sudah diijinkan, tetapi bukan arti sebebas-bebasnya," kata Tedjo.

Andy Watamea (29), warga Papua, tidak setuju dengan konsep pengawalan terhadap wartawan.

“Bagaimana wartawan asing akan bisa bersikap netral jika terus dibuntuti selama proses pelaporan,” katanya.

Menurut Andy, upaya pendampingan, justru akan menimbulkan keteganan dalam masyarakat.

“Mereka akan takut memberikan keterangan apapun kepada wartawan jika tahu ada TNI yang mendampingi mereka,” katanya.

Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menyerukan agar Presiden Jokowi berbicara untuk menindaklanjuti masalah ini.

“Jika Presiden masih ingin agar demokrasi dan HAM terus diperjuangkan di Papua,” katanya.

“Lebih penting lagi agar kebijakan pemerintah tidak bertentangan,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.