Merawat Keberagaman di Kalimantan Barat

Severianus Endi
2016.04.25
Pontianak
625RuaiTV.jpg Kru dan pengisi acara Senandung Lagu Daerah edisi akhir pekan sedang bersiap di Studio Ruai TV di Pontianak, Kalimantan Barat. 16 April 2016.
Severianus Endi/BeritaBenar

Kalimantan Barat pernah mencatat pengalaman pahit konflik antar-etnis. Pertikaian kecil beberapa orang meluas menjadi konflik komunal yang menelan korban jiwa dan harta benda sehingga diperlukan usaha-usaha untuk merawat keberagaman dalam hidup berdampingan di tengah masyarakat multi-etnis pasca konflik.

Kristianus Atok (50), pengamat sosial di Pontianak, adalah satu dari banyak orang yang bekerja merawat keberagaman tersebut. Kepada BeritaBenar, Kris menceritakan pengalamannya ketika merasakan ritme kehidupan desa yang mayoritas penduduknya etnis Madura pada than 2005-2006.

Bersama dua temannya, warga Dayak itu mengunjungi Desa Rantau Panjang, Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak, sekitar 150 kilometer lebih dari ibukota Pontianak. Di desa itu hidup sekitar seribu jiwa warga Madura. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, dia menginap di rumah kepala desa.

“Dari semula rencana hanya menginap semalam, malah sampai tiga malam. Ikut merasa ritme kehidupan mereka sejak pagi hingga malam,” ungkap alumnus program doktor di Universiti Kebangsaan Malaysia itu.

Bukan tanpa alasan jika dua rekan Kris awalnya khawatir. Konflik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat telah tertoreh sejak 1962. Beberapa gesekan dengan intensitas cukup besar terjadi pada tahun-tahun berikutnya.

Terakhir pada 1999, yang dicatat sebagai kerusuhan paling parah yang mengakibatkan ratusan orang tewas, kedua etnis saling mencurigai, kemudian muncul stigma negatif antar keduanya.

“Berkat kerja-kerja sosial di bidang perdamaian, dialog-dialog, pendekatan budaya dan seni, saya menilai dalam sepuluh tahun terakhir harmonisasi kedua etnis semakin erat,” tutur Kris, yang juga seorang dosen di Sekolah Tinggi Pastoral St. Agustinus.

“Sudah tidak pernah lagi terjadi konflik skala besar. Jikapun ada gesekan kecil, tak terlalu berarti dan bisa diredam, karena tercipta modal sosial yang memadai antar para tokoh,” tambahnya.

Dalam program “peace building,” Kris dan rekan-rekannya ikut menyertakan anak usia remaja di Kecamatan Sebangki dari etnis Dayak dan Madura untuk saling kunjung dan menginap di kampung berbeda. Awalnya tak mudah. Ada yang sampai menangis ketakutan karena citra negatif yang terlanjur tertanam.

“Tapi mereka justru mendapatkan pengalaman hidup di rumah orang yang sebelumnya dicitrakan berseteru terus. Kunjungan itu membuahkan pelajaran riil, persaudaraan bisa dibangun jika kita menghapus citra negatif yang ada,” ujarnya.

Melalui seni daerah

Di Kota Pontianak, stasiun televisi lokal Ruai TV telah 9 tahun menampilkan siaran berita tiga bahasa setiap akhir pekan. Tiga penyiar membaca berita dalam bahasa Dayak dialek Kandayan, Melayu, dan Tionghoa dengan logat Tio Ciu.

Karena banyak peminat dan ingin menyampaikan pesan-pesan damai, dalam tiga tahun terakhir televisi itu secara rutin menyiarkan musik kreasi daerah dalam acara Senandung Lagu Daerah (Slada).

Alim (35), Direktur Operasional Ruai TV, menuturkan musik daerah melahirkan seniman lokal dari berbagai etnis, utamanya Dayak dan Melayu. Program mereka ditonton banyak kalangan karena jangkauan pemancar mampu mencapai seluruh Indonesia dan sebagian kawasan Asia Tenggara.

“Dulu dipastikan lagu Dayak hanya diputar di rumah orang Dayak. Tetapi sekarang orang Melayu dan etnis lain pun senang mendengar lagu Dayak. Begitu juga sebaliknya. Saya melihat perkembangan menggembirakan, kerukunan terwujud melalui seni,” kata Alim.

Setiap sore mulai pukul lima, ditayangkan lagu daerah yang sudah dipersiapkan melalui cakram DVD dan dipandu pembawa acara. Setiap akhir pekan, Slada disiarkan secara langsung dan menghadirkan narasumber yang menyampaikan pesan-pesan keberagaman dan perdamaian.

Selain televisi lokal, di Putussibau ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, lebih dari 800 kilometer dari Pontianak, sanggar seni menjadi media penyemangat keberagaman bagi anak-anak. Yuyun Syamsul (35), pelatih tari Sanggar Jepin Manis menciptakan banyak tarian kolaborasi multi-etnis.

Dalam resepsi di Pendopo Bupati Kapuas Hulu, pertengahan April lalu, enam penari binaannya menampilkan tarian berpakaian etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Keenam gadis ini berasal dari suku Melayu.

“Tidak pernah terjadi gesekan antar etnis di daerah kami. Saya mewujudkan pesan-pesan keberagaman lewat tarian kolaboratif multi-etnis. Para pemain musik dominan pemuda Dayak, sementara penarinya gadis Melayu,” tutur Yuyun.

Dalam tarian itu, para gadis berbusana penuh aksesoris menampilkan gerakan gemulai, sesekali bergandeng tangan, mengisahkan kebersamaan dan saling membantu. Gerakan mereka padu dengan petikan dan ketukan alat musik tradisional.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.