Aparat keamanan Indonesia diduga lakukan kekerasan terhadap desa-desa di Papua
2023.08.17
Jakarta
Aparat keamanan Indonesia telah melakukan serangan tanpa pandang bulu terhadap desa-desa penduduk asli Papua Barat, demikian dilaporkan sebuah lembaga hak asasi manusia yang berbasis di Jerman.
Laporan berjudul Destroy them first... discuss human rights later yang diterbitkan Human Rights Monitor pada Kamis (17/8) menyoroti kekerasan pasukan tentara dan polisi di daerah terpencil Kiwirok di Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan.
Analisis satelit citra menunjukkan 206 bangunan, termasuk rumah, gereja, dan sekolah, di delapan desa yang dihancurkan pasukan keamanan dalam operasi melawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Kiwirok.
Desa-desa tersebut antara lain Mangoldogi, Pelebib, Kiwi, Oknanggul, Delmatahu, Spamikma, Delpem, dan Lolim.
Selain itu, setidaknya 2.252 warga suku Ngalum di Kabupaten Pegunungan Bintang telah meninggalkan desa-desa mereka dan belum kembali ke rumah pada Juni 2023.
Human Rights Monitor menyampaikan banyak pengungsi terdiri perempuan, lanjut usia, dan anak-anak dan mereka tidak menerima bantuan dalam bentuk apa pun dari pemerintah.
“Laporan ini menyoroti tingkat pelanggaran di wilayah Kiwirok dan mengukurnya terhadap hukum internasional,” tambah pernyataan itu.
Eliot Higgins, direktur Bellingcat, kelompok jurnalisme investigasi yang berbasis di Belanda dengan keahlian pemeriksaan fakta dan sumber intelijen terbuka, mengatakan laporan mendalam ini memberikan bukti dampak serangan pasukan keamanan di Distrik Kiwirok terhadap penduduk asli, desa dan fasilitas umum.
“Ini melukiskan gambaran mengerikan tentang lebih dari 2000 penduduk desa yang mengungsi dan dipaksa hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi, tanpa akses ke makanan, layanan kesehatan, atau pendidikan,” ucap dia dalam laporan.
Human Rights Monitor melaporkan sebanyak 19 aparat keamanan Indonesia juga tewas dalam pertempuran dengan kelompok TPNPB sepanjang 2022. Sementara itu, delapan orang milisi TPNPB tewas dalam periode yang sama.
Laporan tersebut juga menyebutkan jumlah warga sipil di Papua yang tewas meningkat dari tahun 2021 sebanyak 28 orang menjadi 43 pada 2022 akibat pertempuran antara pasukan keamanan Indonesia dan TPNPB.
Dari jumlah itu, 5 orang tewas di tangan aparat keamanan Indonesia dan 38 lainnya oleh TPNPB.
Pemerintah pertanyakan validasi
Theo Litaay, tenaga ahli Kantor Staf Presiden untuk isu Papua, mempertanyakan validitas laporan penghancuran desa-desa oleh aparat keamanan yang dilaporkan oleh Human Rights Monitor.
Theo menegaskan pemerintah Indonesia selalu menghormati hak asasi manusia semua warga di Papua.
“Biasanya laporan yang masuk ke Human Rights Monitor ini sifatnya dari lembaga swadaya masyarakat. Jadi masih perlu dicek kebenarannya,” ujar dia kepada BenarNews.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Laksamana Muda Julius Widjojono membantah laporan tersebut. Sebaliknya, dia menyatakan kelompok separatis Papua sebagai pelaku penghancuran desa-desa di Kiwirok.
“Faktanya, yang lebih suka membakar merusak, menganiaya secara sadis adalah KSTP (Kelompok Separatis Teroris Papua),” jelas dia kepada BenarNews merujuk kepada kelompok separatis.
TNI membantah
Menurut Julius, TNI selalu memakai pendekatan cerdas (smart approach) dalam menangani konflik Papua. “Kalau membakar bangunan apalagi rumah ibadah mustahil, kontradiktif,” tukas Julius.
BenarNews telah mengirim pesan kepada juru bicara TPNPB Sebby Sambom terkait laporan ini, namun tidak memperoleh balasan.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rozy Brilian mengatakan sebetulnya bukan praktik baru bagi TNI untuk merusak fasilitas sipil di arena konflik Papua. Berbagai media juga sudah melaporkan hal tersebut.
“Kami juga mengamini bahwa terdapat ribuan pengungsi hari ini yang masuk ke dalam hutan-hutan dan terusir dari pemukimannya,” ujar Rozy kepada BenarNews.
Menurut Rozy, semua ini berakar dari pendekatan militeristik dan keamanan yang dilakukan oleh TNI dalam menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua.
Laporan ini, kata dia, harus dijadikan bahan masukan dalam memperbaiki kebijakan keamanan di Papua, karena terbukti hanya menimbulkan korban jiwa baru.
“Untuk pertanyaan validitas tentu saja Human Rights Monitor punya metode untuk membuktikan temuannya. Kalau memang pemerintah memiliki data lain silakan diadu saja,” jelas Rozy.
Tiga warga sipil tewas
Sementara itu, Kepolisian Papua mengklaim tiga warga tewas oleh kelompok separatis Papua di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan pada Rabu malam (16/8).
Tiga orang itu terdiri dari dua warga asli Papua dan satu pendatang.
Kasus ini pertama kali dilaporkan ketika personil gabungan TNI-Polri yang tengah melakukan patroli langsung merespon laporan adanya tembakan di Komplek Yosoma.
“Kontak tembak berlangsung beberapa saat antara personil gabungan dan kelompok bersenjata yang diduga sebagai KKB,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polisi Daerah Papua, Kombes Pol. Ignatius Benny Ady Prabowo dalam keterangannya pada Kamis (17/8).
Kapolres Nduga Kompol Vinsensius Jimmy Parapaga menyatakan bahwa situasi di Kota Kenyam dilaporkan masih dalam keadaan kondusif, meskipun personil gabungan TNI-Polri tetap berada dalam status Siaga 1 untuk mengantisipasi kemungkinan aksi lanjutan.
Selain ditembak, ucap Vinsensius, para korban juga dianiaya hingga mengalami luka-luka ditubuhnya yang berawal saat truk yang ditumpangi para korban dihentikan dan dibakar.
“Kami menekankan bahwa pihak kepolisian sedang berupaya mengidentifikasi dan menangkap para pelaku yang terlibat dalam insiden ini,” terangnya.