Pemerintah sebut Indonesia darurat kurang dokter; datangkan dokter asing solusinya?

Pakar menilai hal itu perlu dikaji lebih dalam karena tujuannya disebut belum jelas.
Tria Dianti
2024.07.19
Jakarta
Pemerintah sebut Indonesia darurat kurang dokter; datangkan dokter asing solusinya? Dokter dan tenaga medis di bagian penyakit pernafasan di RS Persahabatan, Jakarta, 24 Agustus 2023.
Bay Ismoyo/AFP

Rencana pemerintah mendatangkan dokter asing ke Indonesia menuai kecaman namun juga dukungan dari kalangan profesi hingga masyarakat di tengah isu kekurangan dokter untuk melayani kesehatan masyarakat.

Beberapa pakar menilai mendatangkan dokter asing diperlukan kajian mendalam dan belum dianggap efektif, sementara sebagian menilai kekurangan dokter ibarat bom waktu yang akan berdampak besar di masa depan.

Polemik dokter asing ini mencuat saat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Budi Santoso dipecat pada awal Juli lalu usai pernyataannya di media massa bahwa ia menolak kebijakan pemerintah yang mengizinkan dokter asing berpraktik di Indonesia.  

Dalam pernyataannya kepada wartawan kala itu, ia mengklaim 92 fakultas kedokteran di Indonesia mampu meluluskan dokter yang berkualitas dan tidak kalah dengan dokter asing.

Pemecatan itu berbuntut aksi protes dari sejumlah rekan sejawat, sivitas akademika dan guru besar fakultas kedokteran yang mendesak pihak rektorat agar jabatan Budi dikembalikan. Beberapa hari setelahnya, pemecatan Budi dibatalkan.

"Mengenai dokter asing, itu di undang-undang sudah selesai, sudah diperbolehkan dokter asing masuk. Jadi harusnya diskusi itu udah nggak ada lagi,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bulan ini.

“Karena secara hukum, formal, rakyat Indonesia, baik wakil-wakil rakyat maupun pemerintah sudah setuju,” katanya.

Budi menegaskan datangnya dokter asing ke Indonesia bukan untuk bersaing dengan dokter lokal melainkan menyelamatkan nyawa.

Dalam rapat dengar pendapat bersama DPR awal bulan ini, Budi mengungkapkan bahwa dalam setiap tahunnya, sebanyak 250.000 orang Indonesia meninggal akibat penyakit jantung sementara 300.000 orang lebih lainnya meninggal karena stroke.

Penyebabnya, ujar dia, akses kesehatan yang sulit, termasuk dokter spesialis yang jumlahnya terbatas di Indonesia. Idealnya, menurut WHO, satu dokter melayani 1000 warga, artinya Indonesia membutuhkan setidaknya 275.000 dokter di seluruh Indonesia.

Sementara itu, kata dia, dokter aktif yang ada saat ini, hanya sekitar 160.000, sebagian besar bekerja di Jawa dan Bali.

Jika jumlah tenaga medis di Indonesia bertambah, lanjutnya, maka jumlah kasus kematian akibat penyakit jantung berpotensi menurun menjadi 150.000.

Sejumlah dokter beristirahat setelah merawat pasien COVID-19 di Rumah Sakit Umum Dr. Suyoto di Jakarta, 29 Juli 2021. [Tatan Syuflana/AP]
Sejumlah dokter beristirahat setelah merawat pasien COVID-19 di Rumah Sakit Umum Dr. Suyoto di Jakarta, 29 Juli 2021. [Tatan Syuflana/AP]

“Dokter lokal cukup”

Isu dokter asing ini juga mendapat komentar masyarakat di media sosial.

“Salah satu dalam keberhasilan diagnosa dan terapi adalah anamnesa. Bayangkan jika dokter asing menangani pasien yang hanya bisa bahasa daerah, maka yang terjadi kemungkinan besar adalah salah diagnosa dan terapi. La dokter lokal saja kadang kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat lokal,” kata @Ikhmart_ dalam akun X.

Mohammad Adib Khumaidi, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan harus ada peraturan domestik yang jelas dan kajian terkait distribusi dengan melibatkan seluruh stakeholder.

“Permasalahan sekarang ini kan 70 persen dokter terkonsentrasi di Jawa dan kota besar lainnya. Kapasitas layanan unggulan spesialis juga belum rata,” katanya dalam sebuah diskusi pada 9 Juli.

“Tapi nanti pembiayaan bagaimana? Apakah diserahkan ke negara? Jika ya, maka sebetulnya masih banyak dokter spesialis lokal yang perlu diperhatikan kesejahteraannya tanpa harus menempatkan dokter asing,” tegasnya.

Ia meyakini banyak dokter lokal yang mau ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia asal ada jenjang karir, kesejahteraan, insentif dan keamanan yang pasti.

“Yakinlah kemampuan dokter Indonesia tidak kalah dengan dokter asing,” tambahnya.

“Parah kekurangan dokter”

Hal berbeda disampaikan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia, Ascobat Gani. Ia mengatakan Indonesia sedang mengalami kekurangan yang parah dalam hal jumlah dokter.

Ia mencontohkan Indonesia hanya memiliki 1.360 dokter paru, 40 persen dari jumlah tersebut terpusat di Jakarta dan daerah lainnya di Jawa.

“Bandingkan saja jumlah segitu untuk melayani 275 juta jiwa penduduk jelas tidak cukup, terutama saat pandemi COVID-19 kemarin itu,” kata dia dalam sebuah sesi tanya-jawab minggu lalu.

Selain itu, ia menjelaskan, dokter asing diperlukan guna mengantisipasi kebutuhan masa tua di masa depan.

Ia mencatat orang di atas 60 tahun saat ini berjumlah 29 juta jiwa, sementara jumlah tersebut akan naik di tahun 2029 menjadi 42 juta jiwa dan akan berlipat menjadi 68 juta jiwa saat 2045.

“Jadi ini exponensial. Sudah pasti itu butuh namanya neurolog, neurosurgeon dan ahli rematik. Sementara jika kita bandingkan dengan produksi nggak bakalan terkejar,” kata dia.

Hal itu, lanjutnya, membuat kesenjangan semakin lama semakin besar antara kebutuhan dan pasokan dokter.

“Ini berbahaya, secara hukum ekonomi akan meledak. Pertama harganya akan semakin mahal, atau orang akan pergi ke luar negeri untuk berobat, atau orang luar ke sini. Itu tidak bisa lagi kita bendung dan harus ada terobosan. Itu bom waktu,” kata dia

Ascobat meragukan dokter asing akan memakan lahan pekerjaan dokter lokal karena Indonesia merupakan negara yang besar dan pangsa pasar yang beragam.

“Dokter lokal tidak usah takut. Untuk solusi jangka panjang, tambahnya, pemerintah harus memberdayakan dan memperbanyak fakultas kedokteran. Tapi kan ini prosesnya tidak mudah dan butuh waktu lama,” kata dia.

Dr. Irman Pahlepi (kiri) memeriksa layar monitor pasien COVID-19 di Rumah Sakit Umum Dr. Suyoto di Jakarta pada 29 Juli 2021. Dr. Pahlepi kembali bekerja setelah sembuh dari COVID-19 untuk kedua kalinya. Dengan jumlah infeksi di Indonesia yang  meroket pada saat itu dan jumlah kematian yang meningkat termasuk dari tenaga medis, Pahlepi merasa dia tidak punya pilihan selain segera kembali bekerja. [Tatan Syuflana/AP]
Dr. Irman Pahlepi (kiri) memeriksa layar monitor pasien COVID-19 di Rumah Sakit Umum Dr. Suyoto di Jakarta pada 29 Juli 2021. Dr. Pahlepi kembali bekerja setelah sembuh dari COVID-19 untuk kedua kalinya. Dengan jumlah infeksi di Indonesia yang meroket pada saat itu dan jumlah kematian yang meningkat termasuk dari tenaga medis, Pahlepi merasa dia tidak punya pilihan selain segera kembali bekerja. [Tatan Syuflana/AP]

Tidak efektif

Menurut Ketua Perhimpunan Dokter dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Iqbal Mochtar selain landasan yang belum jelas, kekurangan masif yang disebutkan pemerintah harus dikaji.

“Perlu dibuat mapping kuat sebenarnya apa yang mereka butuhkan, dokter umum atau spesialis, daerah mana, spesialis apa, berapa dokter, siapa yang menggaji harus jelas dulu. Yang saya liat tujuan belum terlalu jelas” kata dia.

Pertanyaan lainnya adalah, sambungnya, apakah mampu merekrut ribuan dokter asing. Tentunya, harapan dokter ketika datang ke negara lain adalah ingin kesejahteraan lebih. Ia mencontohkan, di Amerika Serikat, gaji dokter jantung berkisar Rp400-Rp600 juta per bulan. Sedangkan di Indonesia, jumlah segitu bisa menggaji 3-4 orang dokter jantung.

“Kalau tetapkan gaji standar gaji dokter indonesia maka kecil kemungkinan yang datang high quality dokter,” kata dia.

“Saya kurang yakin program ini menjawab masalah yang ada. Kecil kemungkinan bisa membawa mereka ke tempat terpencil dan kecil kemungkinan kita bisa menggaji mereka besar.

Menurut Ketua Divisi Standar Pendidikan Konsil Kedokteran Indonesia 2014-2020, Sukman Tulus Putra, sepanjang dokter asing memberikan transfer keterampilan dan sifatnya sementara, tidak masalah.

“Sebenarnya bukan menolak tapi kalau mereka kerja untuk daerah terpencil ya tidak apa-apa. Tapi kan alasannya sangat klasik yakni untuk mencegah agar triliunan rupiah devisa negara tidak lari ke luar negeri,” ujarnya.

Tiap tahunnya, kata dia, sekitar 600.000 orang dari Indonesia yang berobat ke beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia. Alasannya nomor satu karena biaya di luar negeri justru lebih murah di bandingkan dalam negeri.

Silvia Agustina, 35, merupakan salah satu warga Indonesia yang memutuskan untuk berobat di luar negeri. Pada tahun 2019 dia berangkat ke Penang, Malaysia, untuk melakukan program bayi tabung.

"Kami mikirnya kalo program ke sana tuh sambil jalan-jalan saja biar tidak berasa lagi program," kata dia kepada BenarNews.

Ia merasakan kenyamanan dan pembiayaan yang lebih murah menjadi alasan utama dirinya memilih pengobatan di Penang.

"Tempat nyaman, antrian cepat, pendaftaran bisa dengan WhatsApp dan email. Info hasil tes juga dikirim ke email," kata dia.

Dia mengatakan bahwa dengan gaji yang memadai, tenaga kesehatan Indonesia dapat menawarkan layanan dengan kualitas yang sebanding.

"Banyak kan dokter Indonesia yang punya kualitas bagus. Asal bisa didukung pemerintah. Kasih dong gaji yang tinggi," sarannya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.