Pakar: Jumlah kelas menengah turun, ekonomi nasional dalam bahaya
2024.09.12
Jakarta
Setelah mengalami pemutusan hubungan kerja dari sebuah perusahaan penerbitan di Jakarta awal tahun ini, Triana Rahmawati, harus benar-benar menghitung pengeluaran keluarganya.
Selagi masih bekerja, perempuan berusia 35 tahun itu mendapatkan gaji di atas upah minimum, cukup untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membiayai pendidikan dua anaknya yang duduk di sekolah dasar dan pra-sekolah.
“Suami saya masih bekerja, tapi kami menjadi single income dari sebelumnya double income. Saya harus siap hidup serba terbatas,” ujar Triana kepada BenarNews, Kamis (12/09).
Dia khawatir suaminya juga kehilangan pekerjaan karena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga sering melanda sektor tersebut.
“Sekarang saya masih cari-cari pekerjaan, sambil belajar ini itu. Jadi jika kembali bekerja saya punya keterampilan yang bisa dijual,” ujar Triana yang kini sedang belajar pemograman komputer.
Kisah yang sama dialami Firdaus Wajidi, 42 tahun, seorang fotografer lepas. Sejak mengalami PHK pada Agustus 2023 lalu, kondisi ekonomi keluarganya cukup sulit.
Bapak tiga anak ini, kesulitan membayar kebutuhan sekolah, cicilan rumah dan untuk bahkan kebutuhan sehari-hari.
Sebagai seorang pekerja lepas, dia tidak bisa mempunyai jaminan pendapatan tiap bulan. Kadang dalam satu bulan hanya ada satu dua pekerjaan yang menggunakan jasanya, sedangkan kebutuhan hidup harus terpenuhi sehari-hari.
“Mau mencoba melamar pekerjaan di media agak susah, karena usia yang sudah 40 tahun lebih. Selain itu hampir semua perusahaan media di Jakarta sedang tidak bagus keuangannya,” ujar Firdaus.
Untuk menopang ekonomi keluarga, Firdaus bersama istrinya memproduksi dan menjual donat dan risol mayo, meski tidak terlalu laku karena daya beli masyarakat juga menurun.
"Turun kelas"
Badan Pusat Statistik (BPS) mengkonfirmasi fenomena yang terjadi pada Triana dan Firdaus juga dialami jutaan keluarga lain, yaitu "turun kelas" - dari kelas menengah menjadi aspiring middle class atau kelas menengah rentan.
Dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, jumlah kelas menengah di Indonesia turun hingga hampir 10 juta orang. Pada 2019 jumlah kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang, turun menjadi 47,85 juta orang tahun ini.
Sebaliknya, kelas menengah rentan naik dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada 2024, kata BPS.
Kelas menengah di Indonesia didefinisikan secara resmi sebagai rumah tangga dengan pengeluaran Rp2 hingga Rp9,9 juta per bulan.
Jumlah kelompok miskin pun meningkat tahun ini menjadi 25,22 juta jiwa, sedikit lebih tinggi dari 25,14 juta jiwa pada 2019, menurut BPS.
Menurut BPS, penyebabnya adalah efek pandemi COVID-19 masih belum hilang yang menyebabkan gelombang PHK di berbagai industri.
Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, sebanyak 46.240 pekerja mengalami PHK pada periode Januari - Agustus 2024.
Menanggapi fenomena ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah akan memberikan perlindungan jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan untuk kalangan menengah yang turun kelas.
Menurut Muhadjir, meski ada penurunan jumlah kelas menengah, tapi di sisi lain ada penurunan tingkat kemiskinan ekstrem.
“Angka kemiskinan kita juga turun. Itu berarti ada miskin yang naik ke aspiring middle class,” ujar Muhadjir seperti dikutip Kompas.
Bahayakan ekonomi nasional
Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Jahen Fachrul Rezki mengatakan penurunan jumlah kelas menengah ini membahayakan ekonomi nasional.
Menurut dia, kelas menengah penting karena kelompok ini, yang jumlahnya 66,35% dari penduduk Indonesia, adalah penopang utama ekonomi domestik dengan kekuatan belanja rumah tangga dan menguasai 81,49% dari total konsumsi.
Selain itu, kata Jahen, kelompok menengah ini juga mempunyai kapasitas pengembangan keterampilan yang baik dan juga pembayar pajak.
“Jika jumlah kelas menengah turun akan ada dampak negatif bagi konsumsi rumah tangga nasional, ketersediaan tenaga kerja terdidik dan kemampuan negara mengumpulkan pajak,” ujar Jahen kepada BenarNews.
Menurut Jahen selain dampak Covid-19, penurunan kelas menengah di Indonesia terjadi karena pertumbuhan ekonomi, meski tumbuh 5%, selama ini tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan nilai tambah yang tinggi, meningkatkan produktivitas pekerja.
Pekerjaan yang muncul bersifat low value added (bernilai tambah rendah) seperti pada sektor retail maupun ekstraktif.
Menurut dia, pemerintah belum mampu menggerakkan sektor manufaktur atau jasa dengan nilai tinggi seperti sektor informasi dan teknologi komunikasi.
“Yang muncul gig economy (ekonomi berbasis pekerjaan freelance) seperti Gojek dengan value added rendah. Seharusnya Gojek itu hanya jadi sampingan, tapi Indonesia malah jadi pekerjaan utama,” ujar dia.
Yorga Permana, dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, mengatakan penurunan kelas menengah terjadi saat pekerja formal beralih menjadi pekerja informal, karena pekerjaan layak tidak tersedia di sektor formal.
Menurut Yoga, pemerintah belum memperhatikan kondisi pekerjaan layak yang didapatkan masyarakat.
Bahkan, tambah dia, seperti membiarkan sektor informal mendominasi pasar tenaga kerja dan tren gig economy sejak tahun 2014.
Selain itu, juga terjadi transformasi struktural yang tidak sempurna, yaitu terjadi penurunan tenaga kerja sektor pertanian dengan peningkatan tenaga kerja sektor jasa yang berketerampilan rendah.
“Perlu kerja layak untuk mendorong masyarakat keluar dari kemiskinan, melakukan mobilitas sosial, dan naik kelas ke kelas menengah,” ujar Yorga.
Akhiri era upah murah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Muhammad Faisal mengatakan pemerintah perlu memperhatikan pendapatan kelas menengah pekerja formal.
Menurut dia, upah riil yang diterima para pekerja di Indonesia sekarang tidak sebanding dengan inflasi yang terjadi, meski nilai inflasi tidak begitu besar.
Pemerintah harus mengakhiri era pekerja bergaji murah, sehingga masyarakat bisa mendapatkan penghasilan tinggi dan menciptakan lapisan kelas menengah yang kuat.
Tapi sebelum itu, kata Faisal, pemerintah harus memulai program untuk meningkatkan produktivitas dan keterampilan masyarakat.
“Bisa saja upah secara nominal naik, tapi jika dibandingkan dengan inflasi, nilai upah sebenarnya tetap, tidak berubah dari tahun sebelumnya,” ujar dia.
Yorga menyarankan penciptaan kerja layak, yaitu kebijakan industri dengan fokus memberikan local multiplier (pengada lokal) terbesar, seperti sektor manufaktur atau tradable services (ekonomi digital, jasa perusahaan, keuangan).
Eko Listiyanto, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), mengatakan dalam situasi seperti ini pemerintah bisa mengupayakan mengendalikan kenaikan harga barang dan jasa.
Selain itu, Eko juga merekomendasikan peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk menstimulasi kegiatan ekonomi dan melindungi industri padat karya.
“Tren suku bunga tinggi harus segera diakhiri untuk menggerakkan sektor riil dengan cara membanjiri likuiditas kredit bagi UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) atau dunia usaha,” ujar Eko.
Sedangkan Jahen menyarankan pemerintah untuk memperhatikan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik namun murah untuk membantu mengurangi pengeluaran kelas menengah.
Karena pengeluaran terbesar kelas menengah di Indonesia masih untuk konsumsi, sehingga sisa pendapatan mereka berkurang untuk fasilitas pendidikan anak dan kesehatan, tambah Jahen.
Pizaro Idrus di Jakarta berkontribusi pada artikel ini.