Kemlu Selidiki Kematian ABK Keenam yang Bekerja di Kapal Cina

Aktivis hak pekerja mendesak pemenuhan hak ABK yang diabaikan perusahaan.
Ronna Nirmala
2020.05.26
Jakarta
200526_ID_Seafarer_620.JPG Dalam gambar yang diambil dari video AFP ini, seorang pelaut Indonesia menunjukkan foto kondisi di mana ia dan anak buah kapal asal Indonesia lainnya yang bekerja di sebuah kapal berbendera Cina. Ia mengatakan mereka dieksploitasi dan berada dalam kondisi kerja yang sangat buruk, 21 Februari 2019.
AFP

Kementerian Luar Negeri pada Selasa (26/5) mengatakan akan mendalami laporan kekerasan fisik hingga menyebabkan kematian seorang anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja pada kapal penangkap ikan berbendera Cina, menjadikan ini sebagai kasus keenam peristiwa serupa sejak Desember lalu.

Eko Haryanto (26), ABK asal Jawa Timur, mengembuskan napas terakhirnya pada Jumat (22/5), dua bulan setelah dipindahkan secara sepihak oleh nakhoda kapal Xianggang Xinhai ke kapal nelayan Pakistan karena diduga mengalami gejala kelumpuhan dan depresi. Eko ditelantarkan bersama satu rekan ABK asal Indonesia lainnya, Hamdan,demikian Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

“ABK dengan inisial H (Hamdan) saat ini sudah berada di tempat penampungan KJRI Karachi, sementara jenazah E masih berada di RS dan belum bisa dipulangkan,” kata Juru Bicara Kemlu, Teuku Faizasyah, kepada BenarNews.

Kepulangan jenazah Eko dan ABK Hamdi masih terhambat aturan pembatasan perjalanan karena wabah virus corona. Kendati demikian, Faizasyah memastikan pihak Kemlu telah menyampaikan langsung kabar kematian Eko kepada pihak keluarganya di Magetan, Jawa Timur.

Kemlu mengaku belum mengetahui penyebab kematian dan menyatakan akan berkoordinasi dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI untuk penyelidikan lebih detail. “Masih didalami,” tukas Faizasyah.

Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, meminta pemerintah untuk memastikan pemenuhan hak-hak terhadap Eko dan Hamdan yang belum dituntaskan pihak perusahaan.

Kematian Eko pertama kali dilaporkan oleh Hamdan melalui pusat pengaduan Fisher Center Tegal yang dikoordinasikan oleh DFW Indonesia. Dalam laporannya tersebut, Hamdan turut menyertakan sebuah video yang menunjukkan penyakit yang dialami Eko.

“Dari video yang dikirimkan Hamdan terlihat Eko mengalami gejala kelumpuhan seperti stroke, tangan kanan tidak bisa bergerak, ditambah depresi dan stres berat. Berdasarkan screening awal menunjukkan adanya kerja paksa,” kata Abdi kepada BenarNews.

“Tapi penyebab pasti kematian belum ada info dari KJRI Karachi atau Kemlu,” tambahnya.

Dari penuturan Hamdan kepada DFW Indonesia, mereka bekerja di kapal Xianggang Xinhai sejak November 2019. Keduanya dijanjikan upah 300 Dolar AS (setara 4,4 juta Rupiah) per bulan. Namun, dari awal bekerja hingga ditelantarkan di Pakistan, Eko dan Hamdan belum menerima upah tersebut.

“Seharusnya menerima gaji akumulasi sebesar 12.000 Dolar AS, tapi pada kenyataannya belum sepeser pun menerima gaji,” kata Abdi.

Eko dan Hamdan bekerja di kapal penangkap tuna tersebut dengan bantuan PT Mandiri Tunggal Bahari, perusahaan yang kini tengah berperkara hukum karena terlibat kasus dugaan eksploitasi ABK asal Indonesia yang bekerja pada kapal ikan Cina lainnya, Luqing Yuan Yu 623.

“Atas meninggalnya Eko, pihak PT Mandiri Tunggal Mandiri sebagai perusahaan pengirim harus bertanggung jawab penuh atas kejadian ini,” tukas Abdi.

Dalam dua pekan terakhir, Kepolisian RI telah menetapkan lima tersangka perekrut ABK di dua kapal pencari ikan Cina, Long Xing 629 dan Luqing Yuan Yu 623, karena melanggar Pasal 4 Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO dengan maksimal penjara 15 tahun dan denda Rp600 juta.

Empat ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal Long Xing 629 meninggal dunia karena menderita sakit paru-paru, tiga di antaranya dilarung ke laut, dimana dua awak dilarung pada Desember 2019, dan seorang pada Maret 2020. Seorang lainnya wafat saat mendapatkan perawatan di salah satu rumah sakit di Busan, Korea Selatan pada April 2020.

Keempat ABK tersebut direkrut oleh agen perjalanan dari PT Alfira Perdana Jaya, PT Lakemba Perkasa Bahari, dan PT Sinar Muara Gemilang.

Kemudian pada Rabu (20/5), Kepolisian Daerah Jawa Tengah menetapkan dua agen perjalanan dari PT Mandiri Tunggal Bahari sebagai tersangka untuk kasus dugaan eksploitasi ABK asal Indonesia, Herdianto, yang bekerja pada kapal ikan Cina lainnya, Luqing Yuan Yu 623. Herdianto meninggal dunia pada 16 Januari dan jenazahnya kemudian dilarungkan ke perairan Somalia pada 23 Januari 2020. Video yang memperlihatkan mayatnya dilarung ke laut dan video lain yang memperlihatkan ia mengalami lumpuh kaki sehingga harus dibantu rekannya untuk berdiri.

Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Perdagangan Orang (TPPO) Bareskrim Polri, Brigjen Ferdy Sambo, menyebut penyelidikan terhadap PT Mandiri Tunggal Bahari akan dilakukan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah tanpa menjelaskan lebih detail kasus dugaan eksploitasi terbaru ABK Indonesia di kapal Cina.

Juru Bicara Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Iskandar Fitriana Sutisna, tidak membalas permintaan konfirmasi dari BenarNews.

Mirip kasus TKI

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menuturkan kabar kematian ABK di kapal Cina yang datang secara bertubi-tubi mengingatkan ironi serupa yang terjadi pada pekerja migran Indonesia.

“Ini sama seperti kasus TKI (tenaga kerja Indonesia) kita yang mengalami penyiksaan oleh majikannya,” kata Hikmahanto, melalui sambungan telepon dengan BenarNews.

Menurutnya, permasalahan ini berawal dari tingginya minat calon pekerja karena terbuai upah yang tinggi di luar negeri namun mengabaikan proses administrasi yang aman dan terjamin.

“Kalau orang itu ngebet sekali ingin kerja, sampai dia bayar-bayar, berarti masalahnya ada di situ. Dia akan terus datang ke perekrut yang abal-abal,” kata Hikmahanto.

“Penyelesaian masalahnya harus dari hulu dulu, bukan hilir,” tambahnya lagi.

Menurutnya, aparat hukum memiliki peran penting untuk menertibkan perusahaan yang memberangkatkan pekerja migran dengan cara ilegal. Sementara, pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah, juga perlu melakukan sosialisasi prosedur administrasi perekrutan ke provinsi yang banyak mengirimkan ABK ke kapal asing.

“Perusahaan-perusahaan tidak menganggap calon pekerja migran sebagai manusia, jadi seperti sapi yang mau diekspor saja. Pokoknya asal bisa kirim. Kalau mereka tidak ditertibkan, kabar-kabar ABK meninggal dunia masih akan sering kita dengar,” tukasnya.

Direktur Tindak Pidana Umum TPPO Bareskrim Polri, Ferdy Sambo, sebelumnya menyatakan pihak kepolisian membuka peluang untuk menjerat perusahaan penyalur ABK asal Indonesia di kapal berbendera Cina dengan pasal pidana korporasi.

“Kami mencoba melakukan terobosan hukum. Kami sudah koordinasi dengan ahli TPPO untuk menerapkan Pasal 13 terhadap korporasi, perusahaan-perusahaan ini,” kata Sambo dalam telekonferensi di Bareskrim Polri, pekan lalu.

Menurut Sambo, sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan bisa berupa pencabutan izin, badan hukum perusahaan, pemecatan pengurus, perampasan kekayaan hasil pidana, hingga pelarangan kegiatan yang sama di bidang ini.

“Sehingga ada efek deteren kepada perusahaan yang berangkatkan pekerja secara ilegal ke luar negeri,” tukasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.