Kematian Siyono Dinilai Melanggar HAM
2016.03.15
Jakarta
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menduga ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kasus kematian Siyono karena kemungkinan terjadi kekerasan atas korban saat pemeriksaan Polri.
“Jika penyiksaan memang terjadi, dapat dipastikan telah terjadi pelanggaran HAM, pidana, etik, prosedur pemeriksaan dan pengamanan oleh anggota Polri dalam menangani terduga kasus terorisme,” ujar Kordinator KontraS, Haris Azhar di Jakarta, Selasa, 15 Maret 2016.
Siyono (34) adalah seorang warga Klaten, Jawa Tengah, yang meninggal setelah tiga hari ditangkap tim Densus 88 usai shalat Maghrib di masjid samping rumahnya di Desa Pogung, Kecamatan Cawas, 8 Maret lalu.
Menurut Haris, alasan Polri yang menyebutkan kekerasan terpaksa dilakukan karena yang mengawal hanya seorang supaya korban tak melarikan diri, tidak masuk akal.
“Penjelasan ini sulit dipercaya kebenarannya. Apalagi Polri belum melakukan visum atau otopsi untuk membuktikan penyebab kematian korban,” tegas dia kepada BeritaBenar.
KontraS mendesak Kapolri untuk mengusut tuntas dan segera mengevaluasi personel Densus 88 terkait meninggalnya Siyono.
“Perlu ada penindakan terhadap anggota Polri yang melanggar dan evaluasi menyeluruh mengenai prosedur dan tindakan Densus 88 saat menjalankan operasi penanggulangan terorisme,” tutur Haris.
Ia juga menyayangkan tindakan Densus 88 yang melakukan penggeledahan saat kegiatan belajar mengajar di rumah Siyono yang juga berfungsi sebagai TK, sehingga membuat anak-anak TK ketakutan.
“Sangat tidak pantas, banyak anak menangis. Tindakan itu bisa menimbulkan trauma anak-anak karena ketakutan melihat anggota Densus 88 bersenjata laras panjang tiba-tiba datang melakukan penggeledahan,” ujarnya.
‘Kesalahan prosedur’
Seperti dilaporkan berbagai media bahwa Mabes Polri mengaku ada kelalaian petugas yang berujung pada kematian Siyono.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen. Pol. Anton Charliyan mengindikasikan adanya pelanggaran prosedur pengamanan dalam kejadian itu.
“Terjadi kesalahan prosedur karena yang mengawal hanya sendiri, seharusnya minimal dua orang. Kami juga menyayangkan kejadian ini,” kata Anton seperti dilansir Kompas, Selasa.
Anton menjelaskan, Siyono meninggal saat dibawa Densus 88 ke satu tempat penyimpanan barang bukti di daerah Prambanan, Yogyakarta. Dalam perjalanan, Siyono menyerang seorang anggota Densus 88 yang mengawal dirinya dalam mobil.
“Anggota tersebut kemudian memberikan perlawanan, lalu dalam perkelahian Siyono terbentur salah satu sisi besi dalam mobil. Ia pingsan dan meninggal ketika menuju perjalanan rumah sakit,” jelasnya.
Anton menuding Siyono merupakan pimpinan wilayah Jamaah Islamiyah (JI) di Klaten. Siyono juga disebutkan sebagai bagian jaringan JI yang juga sudah terlebih dulu ditangkap sebanyak 13 orang pada 2014-2015.
Disebutkan juga bahwa penangkapan Siyono sebagai hasil pengembangan dari T bin Zahri alias AW yang ditangkap dua hari sebelumnya di Temanggung, Jateng.
“Dalam pemeriksaan, AW mengatakan dirinya diminta Siyono menyerahkan dua pucuk senjata api, 400 butir peluru dan beberapa granat,” kata Anton.
Pendekatan lunak
Pakar terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan perlu pendekatan lunak dalam penangkapan terduga teroris untuk menghindari kasus seperti Siyono terulang atau balas dendam.
“Adanya kekerasan yang dilakukan kepolisian dalam penangangan terduga teroris akan menimbulkan stimulan yang berlanjut. Terduga teroris lain bisa tersulut emosi saat melihat pemberitaan dan semakin radikal,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.
Menurut Harits, perlakuan Densus 88 dalam penangkapan Siyono dan penggeledahan sangat berlebihan sehingga bisa kontra produktif.
“Kepolisian sangat arogan. Ini bisa menyemai sikap radikal yang lebih dalam diri orang lain. Mungkin keluarga, teman dan tetangga bisa balas dendam padahal sebelumnya mereka tidak radikal,” kata dia.
Pendekatan lunak yang dimaksudnya adalah tidak main tembak di tempat, saat penggeledahan lebih manusiawi dan ketika menciduk terduga teroris harus ada surat penangkapan.
Berdasarkan riset CIIA, kejadian serupa tak hanya menimpa Siyono. Dalam 10 tahun terakhir, sebanyak 120 orang tewas dieksekusi di luar pengadilan.
Selanjutnya selama kurun waktu 2010 – 2015, jelas Harits, terdapat 40 orang yang merupakan korban salah tangkap oleh aparat kepolisian.
“Hampir 90 persen di antaranya mengalami kekerasan saat diperiksa. Setelah dilepaskan, polisi tidak memulihkan nama baik mereka,” ujar Harits.
Dia menyarankan pihak kepolisian agar bisa meningkatkan akuntabilitas dan profesionalitas dalam menangkap terduga teroris.
“Pemerintah perlu mengevaluasi total BNPT, Densus 88, dan BIN bagaimana mereka mengimplementasikan program di lapangan apakah sudah berhasil atau tidak. Bagaimana dana APBN digunakan untuk apa saja,” tutur Harits.
Sedang diinvestigasi
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Muhammad Nurkhoiron mengaku pihaknya sedang menginvestigasi kasus tersebut. Dia menduga penyebab Siyono meninggal dunia karena ada tindakan berlebihan dari Densus 88.
“Densus 88 sangat berlebihan, adanya excessive use of power di dalam kerja Densus mengatasi terorisme,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurut dia, peran BNPT sangat penting dalam upaya pencegahan terorisme dan radikalisme. Nurkhoiron berharap pemerintah dan DPR mengevaluasi program yang digunakan dalam operasi penanggulangan terorisme.
“Ini harus dievaluasi apakah peran BNPT cukup. Apa perlu dibubarkan, lalu diganti institusi lain atau gimana. Program deradikalisme yang digagas apa sudah berhasil dijalankan,” katanya.
Menanggapi hal itu, seorang anggota Komisi III DPR, Abdul Kadir mangatakan, pihaknya akan mengusulkan agar DPR memanggil Densus 88 dan Polri untuk menjelaskan kasus kematian Siyono.
“Memang ada wacana itu, tapi sedang kami dalami dan pelajari,” tutur politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Sebagai negara hukum, menurut dia, Indonesia harus menjalankan prosedur penangkapan sesuai peraturan yang berlaku.
“Ada wacana kalau Densus 88 akan diaudit menyeluruh. Kita sedang usulkan itu. Seharusnya tidak boleh melanggar hukum begitu,” pungkas Abdul Kadir.