Usulan Kementerian Agama jadikan KUA tempat pernikahan semua agama tuai kontroversi
2024.02.27
Jakarta
Rencana Pemerintah mengubah fungsi Kantor Urusan Agama menjadi tempat pernikahan semua pemeluk keyakinan menuai kontroversi, menyusul terobosan Kementerian Agama untuk mengintegrasikan data pernikahan.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan pada Selasa (27/2) inisiatif tersebut bertentangan dengan fungsi awal Kantor Urusan Agama (KUA) yang khusus diperuntukkan untuk menikahkan pasangan beragama Islam.
“Seandainya KUA dilibatkan untuk mencatat perkawinan dari umat agama lain, berarti umat lain diurusi oleh Dirjen Bimas Islam,” kata Anwar kepada BenarNews, menambahkan KUA merupakan bagian dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Bina Masyarakat (Bimas) Islam yang mengurusi pernikahan, zakat, infak, sedekah, serta penyuluhan untuk umat Muslim.
“Semestinya masing-masing dirjen mengurusi umatnya. Jadi umat Islam jangan mengurusi umat Kristen, umat Kristen jangan mengurusi umat Hindu, umat Hindu jangan mengurusi umat Islam,” tambah Anwar.
Menurut Anwar, Undang-undang Perkawinan mengatur bahwa pernikahan umat Islam dicatat di KUA, sementara umat lain di catatan sipil.
Anwar mengatakan inisiatif Kementerian Agama bertujuan baik, yaitu mengintegrasikan data pernikahan antara KUA dan catatan sipil, namun seharusnya tidak di bawah Dirjen Bimas Islam.
“Semestinya Menteri Agama mendiskusikan hal itu terlebih dahulu dengan dirjen masing-masing agama,” tukas Anwar, seraya mengakui selama ini sistem pencatatan pernikahan sudah berjalan baik.
Dikhawatirkan membingungkan
Tak hanya dari kalangan pemimpin Islam, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Henrek Lokra juga meminta agar Menteri Agama memikirkan kembali usul tersebut secara matang.
“Tiap agama itu punya sudut pandang yang berbeda-beda. Di Kristen itu pernikahan adalah wilayah privat. Mereka akan diberkati di gereja dan didaftarkan ke catatan sipil,” kata Henrek kepada BenarNews.
“Paradigmanya harus ditetapkan dulu di mana negara itu hanya (mengurus wilayah) administrasi. Tidak boleh diintervensi dari siapa pun, harus diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri,” tambah dia.
Henrek menilai jika KUA ingin mengambil alih tugas catatan sipil selama ini, dikhawatirkan akan membingungkan banyak pihak karena masing-masing agama memiliki prosesi pernikahan yang berbeda-beda.
Anggota DPR Hidayat Nur Wahid menyebut rencana tersebut tidak sesuai dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia dan aturan yang berlaku.
"Pengaturan pembagian pencatatan nikah yang berlaku sejak Indonesia merdeka yakni Muslim di KUA dan non-Muslim di pencatatan sipil. Selain mempertimbangkan toleransi juga sudah berjalan baik, tanpa masalah dan penolakan yang berarti,” kata Hidayat dalam keterangan pers-nya.
"Maka usulan Menteri Agama tersebut menjadi ahistoris dan bisa memicu disharmoni ketika pihak calon pengantin non-muslim diharuskan pencatatan nikahnya di KUA yang identik dengan Islam,” tegas Hidayat.
Rencana menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan bagi semua umat tersebut sebelumnya disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam sebuah rapat kerja di Jakarta, Jumat.
"KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama," ucap Yaqut dalam pernyataannya di laman resmi Kementerian Agama.
"Sekarang ini jika kita melihat saudara-saudari kita yang non-Muslim, mereka ini mencatat pernikahannya di pencatatan sipil. Padahal, itu harusnya menjadi urusan Kementerian Agama.”
Dengan langkah tersebut, Menteri Yaqut berharap data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik.
Guna mendukung usulan tersebut, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Zainal Mustamin, mengatakan pihaknya tengah menyiapkan regulasi, infrastruktur, sumber daya manusia, hingga program bimbingan perkawinan lintas agama.
"KUA ke depan menjadi pusat layanan keagamaan. Karenanya, Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah sedang menyiapkan desain program bimbingan perkawinan lintas agama," ucap Zainal dalam laman resmi Kementerian.
Zainal mengatakan bimbingan perkawinan merupakan hak pengantin, termasuk non-muslim, dengan harapan kualitas ketahanan keluarga Indonesia akan meningkat.
Kementerian Agama akan menggandeng penyuluh agama, mulai dari Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu, agar bisa memberi bimbingan bagi calon pengantin sesuai agamanya.
“Masih sedang kami matangkan,” ujar Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin kepada BenarNews.
Terobosan baik
Namun demikian, sebagian pihak mendukung usulan Kementerian Agama tersebut. Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengapresiasi upaya Menteri Agama.
“Ya memang begitu seharusnya. Seluruh agama harus diakomodasi pencatatannya oleh negara, termasuk agama lokal,” ujar Halili kepada BenarNews.
Halili mengharapkan bahwa KUA bisa menjadi tempat pernikahan semua agama sesuai konstitusi negara UUD 1945.
Untuk itu, lanjut Halili, Menteri Agama harus memastikan agar tidak goyah dengan desakan majelis agama, khususnya MUI, yang potensial menjadi hambatan bagi rencana Kementerian.
“Perlu revisi UU Perkawinan. Ini yang butuh upaya agak kompleks dan panjang,” ujar Halili.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menilai rencana Kementerian Agama dimaksud merupakan bentuk kepedulian negara dalam memberikan pelayanan yang adil kepada seluruh warganya.
"Saya kira ini bukan hambatan tapi terobosan yang memang patut diapresiasi," kata Tholabi saat dihubungi melalui pesan tertulis, Selasa, seperti dikutip CNN Indonesia.
Dia menyambut baik rencana tersebut mengingat esensi Kementerian Agama sebagai organisasi negara yang melayani kepentingan semua umat beragama dapat direalisasikan.
Menurut Tholabi, rencana membuat KUA sebagai tempat pernikahan dan pencatatan pernikahan semua pemeluk agama merupakan gagasan out of the box dan rasional.
"Dari sisi administrasi negara misalnya, ini akan sangat bermanfaat dalam konteks integrasi data perkawinan masyarakat. Selama ini masih terbelah data perkawinan Muslim ada di Kementerian Agama, yang non-Muslim ada di kementerian lain," kata dia.
Tholabi menambahkan rencana tersebut harus dikonsolidasikan melalui berbagai aspek, baik regulasi, organisasi, maupun kemampuan sumber daya manusia.
Berbagai aspek tersebut penting dikonsolidasi guna memastikan rencana dapat berjalan dengan baik, tambah dia.
"Untuk merealisasikan gagasan tersebut, tentu sejumlah aspek seperti regulasi, organisasi, hingga SDM harus dibereskan terlebih dahulu," kata Tholabi.