Kemenkes, Aktivis Kecam RUU Pertembakauan

Anggota Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning, menyarankan Kementerian Kesehatan menjelaskan keberatannya ketika RUUP dibahas dengan parlemen.
Zahara Tiba
2017.03.20
Jakarta
170320_ID_tobacco_1000.jpg Pekerja perempuan menyusun rokok di sebuah pabrik rokok di Surabaya, Jawa Timur, 6 Januari 2017.
AFP

Meski masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2017, pemerintah tampaknya masih belum mau membahas Rancangan Undang-Undang Pertembakauan (RUUP) yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap lebih memprioritaskan industri tembakau dibanding kesehatan masyarakat.

"Kemenkes tetap menolak, karena kita memandang dari persoalan kesehatan. Yang jelas akan berdampak, terutama pada anak-anak. Banyak anak yang menjadi perokok,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes, Oscar Primadi, kepada BeritaBenar, Senin, 17 Maret 2017.

Beberapa pasal yang dianggap kontroversial antara lain tentang iklan yang membolehkan pelaku usaha mempromosikan rokok melalui media cetak, elektronik dan media ruang. Selain itu, penyediaan tempat khusus bagi perokok dan penghilangan gambar peringatan bahaya merokok pada bungkusan.

“Ini sesuatu yang tidak baik bagi mereka. Saya rasa tidak perlu dilanjutkan pembahasan (RUU) itu. Biar bagaimanapun kesehatan menjadi modal dasar."

"Kami bicara upaya perlindungan kesehatan dari dampak konsumsi hasil tembakau. Kita harus lindungi masyarakat, terutama ibu dan anak yang terdampak cukup signifikan," katanya.

Oscar menambahkan Kemenkes melihat RUUP hanya mementingkan aspek industri tembakau, terutama rokok, sementara sisi perlindungan kesehatan masyarakat terabaikan.

"Kita bukan persoalkan industrinya, tapi kesehatan jadi prioritas kita. Karena dalam RUU jelas-jelas tidak menyinggung persoalan kesehatan dan pasti akan berdampak terhadap upaya kita melindungi masyarakat."

Menurut data Kemenkes mengutip sumber dari The Tobacco Atlas, jumlah prevalensi perokok di Indonesia berada pada urutan satu dunia, yaitu mencapai 66 persen pria.

Posisi kedua ditempati Rusia dengan 60 persen pria perokok. Selanjutnya disusul China (53 persen), Filipina (48 persen), Vietnam (47 persen), Thailand (46 persen), Malaysia (44 persen), India (24 persen) dan Brazil (22 persen).

Dianggap melindungi korporasi

Aktivis antitembakau, Yosef Rabindanata Nugraha, mengatakan RUUP yang diusulkan DPR dari awal terkesan hanya berusaha untuk melindungi korporasi, yakni industri rokok.

"Dengan dalih atau tameng bahwa mereka melindungi petani, buruh. Tapi mereka sebenarnya melidungi korporasi," ujar Yosef kepada BeritaBenar.

Yosef mengatakan saat ini kunci jadi atau tidaknya pembahasan RUUP ada di tangan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, apakah surat presiden (surpres) akan dikeluarkan atau tidak.

"Kalau ada surpres untuk RUUP berarti setuju untuk dibahas selanjutnya. Kuncinya di situ," ujar Yosef.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, menyatakan Jokowi tidak menerbitkan surpres yang menugaskan para menterinya untuk membahas RUUP.

"Artinya, kami anggap itu tidak dapat bahas dulu. Kami belum sepakat dululah," ujarnya seperti dikutip dari laman Kompas.com.

Bagi Yosef, pembahasan RUUP adalah kemunduran bagi upaya yang selama ini dilakukan para aktivis antitembakau.

"Misalnya kawasan tanpa rokok di daerah-daerah. Saat ini sudah ada 141 perda (peraturan daerah) di seluruh Indonesia yang mengatur kawasan tanpa rokok. Kalau RUUP ini disahkan, artinya perda pasti gugur, karena tingkatnya jauh di bawah UU," jelasnya.

Belum lagi biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam membuat perda-perda itu.

"Data yang saya peroleh, biaya pembuatan satu perda bisa mencapai Rp300 juta hingga Rp500 juta yang bersumber dari APBD," terang Yosef.

‘Adu argumentasi’

Menanggapi penolakan aktivis dan Kemenkes itu, anggota Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning menyarankan pemerintah untuk menjelaskan keberatannya saat pembahasan dengan DPR.

Komisi IX membidangi masalah tenaga kerja, transmigrasi, kependudukan dan kesehatan.

"Kita adu argumentasi dalam pembahasannya," ujar Ribka kepada BeritaBenar.

Menurutnya, para menteri kesehatan sebelumnya selalu memilih menguji sebuah RUU melalui argumentasi saat pembahasan.

"Kalau keberatan duluan, bagaimana mau memenangkan argumentasi,” ujarnya.

“Kalau membahas UU biasa kan semua punya kepentingan. Dari sisi kesehatan, (Kemenkes) bisa ngotot misalnya tentang tembakau yang mengandung segala macam zat adiktif itu. Pokoknya dibuka saja semuanya."

Presiden Jokowi, pekan lalu, mengatakan sedikitnya ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUUP, yakni terkait perlindungan masyarakat dari gangguan kesehatan dan kelangsungan hidup petani tembakau.

Menurutnya, kebutuhan rokok ada di peringkat kedua konsumsi rumah tangga miskin dan biaya konsumsi rokok 3,2 kali lebih tinggi daripada pengeluaran untuk telur dan susu, sebesar 4,4 kali dari biaya pendidikan, dan 3,3 kali dari biaya kesehatan.

Jokowi melanjutkan data BPJS Kesehatan tahun 2015 menunjukkan lebih dari 50 persen biaya pengobatan dihabiskan untuk membiayai penderita tidak menular, termasuk akibat konsumsi rokok.

Pemerintah telah menargetkan untuk menurunkan prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun sebesar 25 persen dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.