Pemerintah pertahankan beli jet tempur bekas dari Qatar di tengah kritik

DPR pertanyakan faktor mendesak apa yang ada hingga harus membeli pesawat tua.
Pizaro Gozali Idrus
2023.06.14
Jakarta
Pemerintah pertahankan beli jet tempur bekas dari Qatar di tengah kritik Sebuah jet tempur Dassault Mirage 2000-5 Angkatan Udara Kerajaan Qatar lepas landas sebagai bagian dari misi Satuan Tugas Bersama Odyssey Dawn di Teluk Souda di Yunani, 25 Maret 2011.
[Paul Farley/ Angkatan Laut US/Handout/Reuters]

Pemerintah pada Rabu mempertahankan keputusannya untuk membeli 12 jet tempur Mirage bekas dari Qatar dengan alasan untuk meningkatkan kemampuan TNI Angkatan Udara di tengah kekurangan Indonesia atas pesawat siap tempur.

Kementerian Pertahanan menegaskan bahwa mereka telah menandatangani kontrak senilai $734,5 juta untuk jet Mirage 2000-5, yang dibeli Qatar dari Prancis pada tahun 1997 dan merupakan yang tertua dari jenisnya.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Pertahanan Brigjen Edwin Adrian Sumantha mengatakan kontrak senilai Rp11,7 triliun untuk pengadaan pesawat tersebut ditandatangani pada awal Januari 2023.

“Direncanakan pesawat akan dikirimkan 24 bulan setelah kontrak efektif dan akan ditempatkan di Skadron Udara 1 Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat,” ujar Edwin dalam keterangan persnya kepada BenarNews pada Rabu (13/6).

Beberapa anggota DPR dan analis menyatakan keprihatinan tentang biaya, kondisi, dan teknologi pesawat bekas yang dibeli tersebut.

Namun Edwin mengatakan alasan pembelian pesawat bekas yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri itu karena Indonesia membutuhkan pesawat tempur yang bisa dikirim secara cepat untuk menutupi banyaknya pesawat tempur TNI AU yang habis masa pakai dan masih lamanya pengiriman pesawat pesanan baru.

“Dengan kondisi keadaan di atas pembelian pesawat Mirage 2000-5 Ex Qatari Air Force dinilai merupakan langkah yang tepat guna memenuhi kesiapan pesawat tempur Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara,” terang Edwin.

Mirage 2000-5 adalah jet tempur multifungsi yang dapat melakukan misi perang udara dan serangan ke darat. Pesawat tersebut memiliki kecepatan maksimum 2,2 Mach dan jangkauan sekitar 1.500 kilometer, kata kementerian.

Keputusan ini berbeda dari apa yang disampaikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2019 yang meminta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyiapkan alat utama sistem senjata (alutsista) dengan teknologi yang modern sehingga tidak ketinggalan zaman.

"Jangan sampai pengadaan alutsista kita lakukan dengan teknologi yang sudah usang, sudah ketinggalan dan tidak sesuai dengan corak peperangan di masa yang akan datang," kata Joko Widodo.

Kritik DPR

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah pertahanan, Tubagus Hasanuddin, mempertanyakan pembelian pesawat tempur bekas oleh Kementerian Pertahanan.

"Kondisi apa yang mendesak sampai kita harus beli pesawat tua? Sudah tak punya daya tangkal,” kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini kepada BenarNews.

Sedangkan Anggota Komisi I lainnya, Sukamta, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera, mengkritik pembelian pesawat itu terkait biaya perawatannya.

“Pengalaman kita membeli atau merawat pesawat tempur bekas, akan berbiaya mahal. Kedua, suku cadang yang belum tentu mudah didapatkan. Pabrik pesawat asal belum tentu mau menjual onderdil yang diperlukan kepada kita dengan berbagai alasan,” jelas Sukamta kepada BenarNews.

TNI-AU saat ini mengoperasikan sejumlah jet tempur dari berbagai negara, seperti Northrop F-5 Tiger, Sukhoi SU-27/30 Rusia, BAE Systems Hawk 100/200 dan F-16 buatan Amerika Serikat.

Kementerian Pertahanan mengatakan beberapa pesawat tersebut akan segera mencapai fase akhir masa pakainya dan harus diganti atau ditingkatkan kualitasnya, walaupun ini berarti akan mengurangi kesiapannya beroperasi.

Pada Februari tahun lalu, Indonesia menandatangani kesepakatan untuk membeli enam jet tempur Dassault Rafale dari Prancis. Pada bulan yang sama, Departemen Luar Negeri AS menyetujui potensi penjualan pesawat F-15ID dan peralatan terkait hingga US$13,9 miliar.

Tiga pesawat Rafale pertama dijadwalkan tiba pada Januari 2026, sementara kontrak F-15 masih dalam negosiasi.

Indonesia telah memulai upaya untuk meningkatkan dan memodernisasi persenjataan militernya.

Prioritas pengeluaran meliputi penguatan industri pertahanan dalam negeri, sistem komunikasi, intelijen, keamanan perbatasan, serta amunisi terpandu dan sistem pertahanan udara.

Pada tahun 2021 Kementerian Pertahanan mengumumkan rencana untuk mengakuisisi 15 pesawat angkut C-130J yang diproduksi oleh Lockheed Martin di AS, dan dua pesawat Airbus 330 Multi-Role Tanker Transport (MRTT) Prancis.

Selain itu, Indonesia memesan dua pesawat angkut Airbus A400M dalam perjanjian yang ditandatangani di sela-sela Dubai Airshow pada 2021.

Upaya capai Minimum Essential Force

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, melihat pembelian pesawat bekas itu sebagai upaya Kementerian Pertahanan dalam menyelamatkan diri dari tudingan gagal mencapai minimun essential force (MEF) atau kebutuhan pokok minimun alat utama sistem persenjataan.

“Alasan mengisi celah atau kesenjangan kekuatan itu menurut saya sebenarnya terkesan agak tricky untuk menyelamatkan reputasi. Kita tahu bahwa kekuatan udara kita saat ini masih jauh dari kekuatan pokok minimum yang ingin dicapai,” jelas Khairul.

MEF merupakan konsep yang mendefinisikan tingkat kemampuan pertahanan minimum yang dibutuhkan Indonesia untuk melindungi kedaulatan dan kepentingannya dari berbagai ancaman.

Baru sekitar 65 persen MEF yang tercapai sejauh ini, dan TNI AU berada pada posisi paling bawah di antara tiga matra TNI, kata Khairul mengutip data Kementerian Pertahanan.

“Hal ini antara lain karena adanya perlambatan dan stagnasi pada renstra kedua (2015-2019) dan pandemi COVID-19 yang berdampak pada anggaran dan pengadaan alutsista,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat militer dari Marapi Consulting, Beni Sukadis, mengatakan pembelian pesawat bekas dari Qatar akan menjadi pemborosan anggaran belanja negara di masa depan karena masa pemakaiannya tergolong singkat.

“Masa pemakaian hanya sebentar sekitar 10-15 tahun. Dengan kata lain pembelian alutsista tua akan makin memboroskan anggaran pertahanan jika dibeli,” kata Beni kepada BenarNews.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.