Kemuliaan Warga Aceh Membantu Muslim Rohingya
2015.05.28
Ibrahim (42) saat itu sedang mengawasi 30 nelayan yang mengumpulkan ikan hasil tangkapan dari pukat ketika radio di ruang kemudi memberi kabar sangat mengejutkan, ratusan orang terapung di tengah laut Selat Malaka, 14 Mei pukul 17:30 waktu setempat.
“Kalau kalian terlambat datang membantu, mereka akan mati. Kalian pasti menyesal jika tak membantu karena mereka orang Islam,” tutur Ibrahim, mengutip pernyataan melalui radio, saat diwawancara BeritaBenar di sebuah kafe kawasan Kuala Langsa, Kota Langsa, Provinsi Aceh, Minggu, 24 Mei.
Ibrahim memerintahkan 30 anak buahnya untuk menarik pukat, meskipun jumlah ikan sedang banyak di lokasi mereka melabuh pukat, berjarak sekitar 35 mil dari garis pantai.
Ibrahim biasa disapa “Pawang Bram” oleh nelayan setempat. Pawang adalah panggilan untuk kapten perahu nelayan di Aceh.
Tengah malam Pawang Bram dan 30 nelayan dalam perahunya tiba di lokasi, 45 mil dari pantai.
Mereka menyaksikan pemandangan mengerikan di tengah laut. Enam perahu pukat dan belasan perahu kecil tiba di situ, hampir bersamaan dengan perahu Pawang Bram.
Jumlah mereka ratusan manusia, termasuk perempuan dan anak-anak, mengapung dalam dinginnya air laut Selat Malaka. Mereka berenang mendekati perahu-perahu nelayan.
“Orang-orang dalam air berteriak minta tolong sambil melambaikan tangan. Mereka berteriak, ‘Allahu Akbar..., Allahu Akbar..., Allahu Akbar...’,” tutur Pawang Bram.
Hampir dua jam nelayan Aceh mengevakuasi Muslim Rohingya, Myanmar, dan warga Bangladesh.
Jumlah migran yang diselamatkan malam itu ada 421 warga Bangladesh serta 246 pengungsi Rohingya terdiri dari 63 pria, 48 perempuan dan 135 anak-anak.
“Saat saya lihat orang-orang menjerit minta tolong dalam laut, benar-benar seperti ladang pembantaian di tengah laut,” ujar Pawang Syaiful (40) yang juga ikut menyelamatkan manusia perahu, malam itu bersama 32 nelayan dalam perahunya.
Berkelahi karena berebut makanan
Ketika diselamatkan, kondisi manusia perahu sangat lemas. Ratusan menderita luka akibat senjata tajam.
Sebagian pria hanya bercelana pendek dan baju singlet. Banyak dari mereka tanpa pakaian dan hanya berkain sarung.
Menurut kesaksian beberapa pengungsi Rohingya dan Bangladesh, luka bacokan itu karena perkelahian berebut makanan yang diberikan Angkatan Laut Malaysia dua hari sebelum diselamatkan.
Sebelumnya, mereka sudah seminggu tak makan dan hanya minum air laut untuk bertahan hidup.
“Semua perempuan dan anak-anak menangis ketika kaum pria berkelahi dan saling membacok. Banyak yang mati. Saya bersama bayi, adik dan keponakan bersembunyi di bawah geladak perahu,” jelas Rukiyah Khatun (20).
Setelah mendarat, pengungsi Rohingya dan warga Bangladesh terlihat akrab meskipun polisi Indonesia memisahkan tempat penampungan mereka.
Menggalang dana untuk Rohingya
Sejak kedatangan manusia perahu mulai dari 10 Mei lalu mereka ditampung di lima titik pengungsian di Aceh.
Sejumlah komunitas anak muda kreatif menggelar acara malam amal Rohingya di Banda Aceh, Selasa malam, 26 Mei dengan nyanyian, baca puisi, dan orasi tentang kondisi pengungsi.
"Lewat acara ini kami mengajak semua tergerak membangun solidaritas sesama untuk saudara kita Muslim Rohingya," ujar koordinator acara, Muhadzir, seraya menambahkan senilai Rp 5.830.000 terkumpul malam itu.
Aktifis mahasiswa, pramuka, dan berbagai organisasi massa Islam menggalang dana dari pengguna jalan di hampir setiap sudut Provinsi Aceh termasuk di pasar dan pusat keramaian.
Darmawan, Sekretaris Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Langsa mengaku, pihaknya telah menyalurkan bantuan makanan, mie instan dan air mineral kepada pengungsi.
Bantuan berasal dari penggalangan yang dilakukan HTI di seluruh Indonesia.
“Kami tergerak untuk membantu pengungsi Muslim Rohingya karena mereka saudara seiman yang harus dibantu,” tuturnya kepada BeritaBenar ketika menyerahkan bantuan logistik di Bayeun, Sabtu, 23 Mei.
Nurlaila, warga Kota Langsa membawa beberapa penganan khas Aceh hasil masakannya.
“Waktu tsunami dulu kita juga banyak dibantu oleh orang dari luar,” katanya yang menambahkan seorang adiknya di Banda Aceh tewas dalam bencana tsunami, 10 tahun lalu.
Kemuliaan warga Aceh membantu juga dilakukan dalam bentuk belajar.
Komunitas Cinta Baca Kota Langsa sejak 19 Mei mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak-anak dan remaja di salah satu sudut tenda penampungan Kuala Langsa.
Setiap hari, puluhan anak-anak dan remaja belajar, sambil tertawa.
“Kami melihat kendala utama adalah komunikasi antara kita dan mereka. Makanya, kami berinsiatif mengajarkan mereka meski awalnya malu-malu, tapi sekarang sudah dekat dan mereka sangat antusias,” kata Syahfitri, seorang aktifis Komunitasi Cinta Baca, kepada BeritaBenar di sela-sela mengajarkan sejumlah anak Rohingya, Minggu sore, 24 Mei.
“Selain mengajar mereka dapat bicara sedikit bahasa Indonesia, kegiatan pendidikan ceria ini juga diharapkan mampu memulihkan trauma anak-anak.”
Somiara Khatun, gadis Muslim Rohingya, mengaku senang diajarkan bahasa Indonesia. Dia telah mampu mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia.
“Saya tak mau pulang Myanmar karena di sana susah. Saya suka tinggal di sini. Orang Aceh sangat baik dan suka bantu kami,” katanya sambil tersenyum.