Rencana kenaikan gaji guru: Solusi atau sekadar janji?

Serikat guru mengatakan janji kenaikan gaji ini masih belum jelas arah implementasinya.
Arie Firdaus
2024.12.18
Jakarta
Rencana kenaikan gaji guru: Solusi atau sekadar janji? Seorang guru kembali mengajar di kelas setelah pemerintah melonggarkan pembatasan pergerakan akibat Covid-19 di Jakarta pada 1 September 2021.
Adek Berry / AFP

Rencana pemerintah meningkatkan gaji dan tunjangan guru sebagai bagian dari visi besar Indonesia Emas 2045 memunculkan harapan baru di tengah krisis kesejahteraan tenaga pendidik.

Namun, para pakar dan pengajar skeptis dengan pemenuhan janji itu karena pemerintah belum mengambil langkah strategis untuk memastikan implementasi yang merata, termasuk untuk guru honorer.

Dalam pidato perayaan Hari Guru pada November lalu, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kebijakan peningkatan kesejahteraan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) berupa tunjangan profesi yang jumlahnya setara 1 kali gaji pokok, serta tambahan tunjangan profesi sebesar Rp500 ribu bagi guru non-pegawai negeri bersertifikasi.

Pemerintah juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp81,6 triliun untuk kesejahteraan guru, serta Rp17,15 triliun untuk rehabilitasi 10.440 sekolah pada tahun 2025.

Retno Listyarti, anggota Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), mengatakan bahwa janji kenaikan gaji ini masih belum jelas arah implementasinya, terutama bagi guru honorer.

“Rencana pemerintah masih perlu didorong, terutama untuk memperbaiki kesejahteraan guru honorer murni,” kata Retno.

Berdasarkan data pemerintah, jumlah guru di Indonesia mencapai sekitar 3,36 juta orang, sementara guru honorer berjumlah sekitar 430.000. Selain itu, terdapat juga 141.724 guru tidak tetap di kabupaten/kota.

Menurut survei Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), rata-rata gaji guru saat ini sebesar Rp2,84 juta per bulan, lebih rendah dari rata-rata upah buruh nasional yang mencapai Rp3,04 juta.

Bahkan, survei yang dilakukan Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa mayoritas guru honorer menerima gaji di bawah Rp2 juta, dan sebagian besar terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup.

Guru honorer di Jakarta Timur yang diwawancarai BenarNews mengungkapkan, gaji mereka sering dirapel setiap tiga bulan, dengan nominal bergantung pada alokasi dana BOS dan kebijakan kepala sekolah.

“Gaji saya dirapel, tapi kebutuhan sehari-hari kan tetap ada,” ujar guru perempuan yang enggan disebut namanya karena alasan privasi.

Dalam konteks ini, janji kenaikan tunjangan Rp500 ribu bagi guru bersertifikasi yang bukan pegawai negeri tampak tidak relevan bagi guru honorer yang tidak memenuhi kriteria tersebut.

Rencana pemerintah juga menghadapi tantangan implementasi, terutama dalam memastikan dana dialokasikan secara merata dan tepat sasaran.

Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menilai bahwa kebijakan ini berpotensi menimbulkan kesenjangan baru jika hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Ubaid menilai bahwa banyak guru non-pegawai negeri mengalami kesulitan dalam mengikuti uji sertifikasi, karena adanya pembatasan kuota. Ia mencontohkan antrean sertifikasi guru madrasah yang bisa mencapai puluhan tahun.

"Pemerintah tidak menjalankan amanah konstitusi. Sudah 20 tahun setelah UU Sistem Pendidikan Nasional disahkan, masih banyak guru yang belum tersertifikasi," ujar Ubaid.

Bulan lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan pihaknya berencana mengatasi masalah sertifikasi guru.

"Sistem saat ini mengharuskan guru menunggu hingga 40 tahun untuk sertifikasi, yang berarti mereka sudah pensiun sebelum mendapatkannya," kata Abdul Mu'ti dalam rapat kerja perdana dengan Komisi X DPR RI.

Mu'ti menyatakan bahwa pihaknya tengah mencari solusi atas permasalahan tersebut, termasuk berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

"Ini memang masalah yang perlu dicari jalan keluarnya, dan banyak hal yang memerlukan koordinasi dengan kementerian-kementerian lain," ujarnya.

Selain masalah sertifikasi, FSGI mendesak pemerintah untuk meluruskan persepsi publik terkait pernyataan Prabowo mengenai kenaikan gaji guru, karena banyak guru swasta yang bergembira karena mengira ada kenaikan fantastis sebesar Rp 2 juta.

“Guru ASN mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok, yang sebenarnya sudah berlaku sejak pemerintahan sebelumnya. Jadi, tidak ada yang berubah,” ujar ujar Mansur, Wakil Sekretaris Jenderal FSGI.

“Guru-guru non-ASN [bersertifikat] nilai tunjangan profesinya ditingkatkan menjadi Rp2 juta yang semula Rp 1,5 juta. Namun para guru gagal paham pernyataan presiden,” kata Mansur dalam pernyataan yang dirilis FSGI.

Para pengajar sepakat bahwa kenaikan gaji harus menjadi bagian dari reformasi pendidikan yang lebih luas. Peningkatan kesejahteraan guru harus disertai dengan penyederhanaan status guru, percepatan proses sertifikasi, dan pengembangan kompetensi secara menyeluruh, kata mereka.

Doni Koesoema, seorang pengamat pendidikan, mengatakan bahwa lambannya proses sertifikasi juga disebabkan oleh rumitnya prosedur yang harus dilalui. mendapatkan surat keterangan dari pemerintah daerah untuk mengikuti ujian sertifikasi.

“Mekanismenya rumit. Guru honorer direkrut oleh pemerintah daerah dan sekolah, namun banyak daerah yang enggan menanggung beban biaya,” ujarnya. “Guru harus diperlakukan sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar tenaga kerja murah,” katanya.

Praktisi pendidikan mengatakan target ambisius pemerintah untuk mencapai Indonesia Emas 2045 akan sulit tercapai tanpa meningkatkan kesejahteraan guru.

Ubaid bahwa guru yang bergulat dengan beban ekonomi sulit untuk memberikan perhatian penuh pada proses belajar-mengajar.

"Mereka pasti tidak bisa fokus mendidik karena harus mencari pekerjaan tambahan. Akibatnya, kualitas pendidikan kita masih terseok-seok," kata Ubaid.

Doni mengatakan bahwa kesejahteraan guru yang tidak menentu akan berpengaruh pada konsentrasi mereka dalam mengajar.
"Berbagai riset menunjukkan bahwa jika kesejahteraan tidak mencukupi, guru akan kesulitan untuk fokus pada tugas utamanya," ujar Doni.

Sementara itu, guru perempuan yang diwawancarai BenarNews berharap pemerintah menyederhanakan status guru agar pengelolaan pendidikan lebih efektif.

"Saya ingin tidak ada lagi istilah guru honorer, PPPK [Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja], atau ASN. Semua guru adalah guru, tanpa kasta,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.