Analis: Kerja sama maritim di kawasan bentuk pengakuan Indonesia atas klaim China
2024.11.12
Jakarta
Rencana kerja sama maritim pemerintah Indonesia dan China di wilayah yang diistilahkan "tumpang tindih" dinilai para pengamat sebagai pengakuan tidak langsung Indonesia terhadap klaim China atas perairan Laut China Selatan (LCS).
Kerja sama maritim di area tumpang tindih itu termasuk ke dalam 12 poin pernyataan bersama kedua pemerintah yang dilansir Sabtu (9/11), setelah pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing.
Pemerintah membantah anggapan bahwa pernyataan bersama itu merupakan pengakuan atas klaim China, menyatakan bahwa kerja sama maritim di wilayah yang dipersengketakan tersebut justru akan mendorong penyelesaian konflik Laut China Selatan dan menciptakan stabilitas kawasan.
China beberapa tahun terakhir mengintensifkan klaim atas perairan LCS dengan merujuk pada ‘sepuluh garis putus-putus’ yang bertentangan dengan konvensi hukum laut 1982 yang memicu konflik dengan sejumlah negara ASEAN, seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam.
Analis berpendapat bahwa pemerintah Indonesia selama ini selalu konsisten untuk tidak menerima klaim China atas LCS, bahkan mendesak penyelesaian sengketa kawasan itu sesuai prinsip hukum laut internasional.
Walhasil, dengan pernyataan bersama itu, kata pengajar hukum internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo, "Secara yuridis dapat dianggap sebagai pengakuan diam-diam terhadap garis putus-putus China atas Laut China Selatan, khususnya Laut Natuna Utara."
"Sikap Indonesia mulai saat ini sudah mengakui adanya wilayah tumpang tindih (overlapping claims)," ujar Eddy yang juga mantan ketua tim perunding negosiasi hukum laut kepada BenarNews pada Senin (11/11).
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana juga menilai bahwa Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas LCS jika “overlapping claims" yang termaktub pada pernyataan bersama merujuk pada sepuluh garis putus-putus China.
Pasalnya, terang Hikmahanto, kerja sama maritim hanya bisa terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih.
"Dengan adanya joint statement 9 November lalu, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas sepuluh garis putus-putus (ten-dash line)," ujar Hikmahanto kepada BenarNews.
Picu reaksi negara besar dan ASEAN
Hikmahanto menilai keputusan Indonesia itu akan memancing reaksi dari Amerika Serikat dan Jepang, serta memengaruhi geopolitik Asia Tenggara, lantaran negara-negara bersengketa seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia.
"Negara-negara yang berkonflik dengan China akan mempertanyakan posisi Indonesia," katanya, seraya menambahkan bahwa Beijing akan mendapat keuntungan besar jika joint development itu dijalankan.
"(Karena) berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas sepuluh garis putus-putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan."
Eddy Pratomo sependapat dengan Hikmahanto yang menilai pernyataan bersama itu berpotensi menimbulkan gejolak geopolitik, terutama di Asia Tenggara.
Pasalnya, terang Eddy, China hampir dipastikan akan menggunakan pengakuan Indonesia tersebut untuk mendesak negara-negara bersengketa lain agar menerima klaim garis putus-putus mereka.
"Pengakuan dari Indonesia akan dikapitalisasi oleh China untuk mendesak negara-negara claimants lain agar menerima garis putus-putus yang pada akhirnya akan memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim yang tidak sesuai UNCLOS 1982," kata Eddy.
Pengajar hubungan internasional Universitas Islam Indonesia Muhammad Zulfikar Rakhmat menilai kerja sama maritim di wilayah tumpang tindih tersebut menunjukkan sikap Presiden Prabowo yang berkebalikan dengan pidatonya usai dilantik pada 20 Oktober lalu.
Dalam pidato di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Prabowo yang baru dilantik sebagai presiden mengatakan tidak akan berada di belakang negara adidaya yang sedang berkompetisi.
"Tampak jelas, kita bergantung dan menunduk sekali dengan China," kata Zulfikar kepada BenarNews.
Kementerian Luar Negeri dalam keterangan tertulis di laman resminya pada hari ini menepis kerja sama maritim di wilayah tumpang tindih sebagai pengakuan atas klaim garis putus-putus China.
"Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim 10-dash line. Indonesia menegaskan posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982," kata Kementerian.
Kementerian menambahkan bahwa kerja sama tersebut tidak akan berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.
"Indonesia meyakini bahwa kerja sama tersebut akan mendorong penyelesaian Code of Conduct di Laut China Selatan yang dapat menciptakan stabilitas kawasan."
Peneliti hubungan internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Waffaa Kharisma menilai sanggahan Kementerian Luar Negeri tersebut "penjelasan yang tidak cukup".
Menurut Waffaa, pernyataan bersama itu memiliki konsekuensi jelas bahwa Indonesia kini mengakui ada overlapping claims.
"China memiliki dasar unilateral soal klaim mereka yang luar biasa besar itu," kata Waffa kepada BenarNews.
Dalam jangka pendek, terang Waffaa, pernyataan bersama itu akan menguntungkan Indonesia lantaran bisa meredakan hubungan dengan China, seperti potensi gesekan coast guard di perairan Laut China Selatan.
Hanya saja, tambah dia, dalam jangka panjang langkah ini dapat merugikan Indonesia karena akan mengubah posisi Indonesia di mata negara-negara Asia Tenggara lain dan negara-negara Barat.
"Masalahnya, yang dipertaruhkan bukan untung rugi jangka pendek, tapi jangka panjang. Ini bisa menjadi slippery slope," kata Waffaa.
Adapun mengenai potensi motif pemerintah meneken pernyataan bersama tersebut, Waffaa menduga langkah ini sebagai sikap pragmatis pemerintah yang lebih condong kepada negara kekuatan politik besar.
"Bisa dibayangkan kalau negara tetangga yang lain mengklaim hak berdaulat absurd di wilayah laut tanpa dasar hukum internasional, tidak mungkin kita memberi reward joint development," pungkas Waffaa.
Tambah perkuat kerja sama militer
Pernyataan bersama itu juga menyatakan bahwa Indonesia dan China juga bersepakat untuk memperkuat kerja sama dari semula "empat pilar" — maritim, politik, ekonomi, dan pertukaran sumber daya manusia — menjadi "lima pilar" dengan menambahkan poin kerja sama keamanan dan pertahanan.
Dalam bidang pembangunan, kedua negara bersepakat melanjutkan proyek kerja sama dalam kerangka Belt and Road Initiative, mempromosikan Regional Comprehensive Economic Corridor dan "Two Countries, Twin Parks", penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan, dan dukungan atas proyek Kalimantan Utara Industrial Park, ungkap perjanjian tersebut.
Terkait bidang militer yang merupakan poin terbaru dalam "lima pilar" kerja sama, Indonesia-China juga bersepakat mempromosikan pertukaran perwira tinggi militer, bertukar kunjungan antar personel militer, menggelar latihan bersama, dan meningkatkan dialog pertahanan.
China merupakan negara pertama yang dikunjungi Prabowo dalam rangkaian lawatan 12 hari ke lima negara. Setelah dari Beijing, Prabowo kemudian berkunjung ke Amerika Serikat untuk bertemu Presiden Joe Biden, lalu ke Peru, Brasil, dan Inggris.
Kunjungan ke Negara Tirai Bambu ini merupakan yang kedua bagi Prabowo pada tahun ini. Usai dinyatakan sebagai pemenang pemilu awal tahun ini, Prabowo juga melawat ke China atas undangan Presiden Xi Jinping.
Pizaro Gozali Idrus berkontribusi dalam laporan ini.