Ketiga Terdakwa Uighur Diduga Terlibat Terorisme Di Poso Dihukum 6 Tahun Penjara

Oleh Zahara Tiba
2015.07.13
150713-ID-uyghurs-620.jpg Ketiga suku Uighur Ahmet Mahmud (depan), Altinci Bayram (tengah) dan Abdul Basit (belakang) sedang berjalan ke ruang sidang di Jakarta menjelang vonis dalam kasus mereka atas tuduhan terorisme, 13 Juli 2015.
AFP

Diupdate jam 4.55.p.m ET pada 2015-07-03

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan bersalah terhadap tiga suku Uighur yang terjerat tindak pidana terorisme dan pelanggaran imigrasi dengan menjatuhkan vonis enam tahun penjara serta denda Rp. 100 juta atau subsider masa tahanan.

"Para terdakwa datang ke Indonesia dengan maksud bergabung Timur Indonesia Mujahidin dan melakukan aksi teror," kata Hakim ketua Kun Marioso.

Ketiganya –Ahmet Mahmud, Abdul Basit, dan Abdullah alias Altinci Bayyram - diyakini berniat bergabung dengan kelompok terorisme Poso pimpinan Santoso yang dikenal dengan nama Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

MIT sendiri dinilai berafiliasi dengan kelompok terorisme Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Pengadilan akan memberikan putusan untuk satu orang Uighur lainnya, Ahmet Bozoglan, yang diduga sebagai pemimpin keempat orang Uihur yang memasuki Indonesia, pada tanggal 29 Juli mendatang.

Keempat suku Uighur tertangkap oleh pihak kepolisian dalam perjalanannya dari Palu menuju Poso September tahun lalu. Ketiganya dinilai ikut terlibat dalam niat melakukan tindak pidana terorisme dengan bergabung bersama Santoso.

Kontak dengan militan

Majelis hakim menyatakan berdasarkan keterangan para saksi dan barang bukti yang dihadirkan selama sidang cukup memberatkan ketiganya.

Salah satunya adalah pernyataan saksi yang mengatakan keempatnya pernah melakukan kontak dengan salah satu dari lima orang warga negara asing lainnya yang kini dikabarkan telah bergabung dengan MIT.

Mereka bahkan pernah menginap di penginapan yang sama di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.

"Dengan tindak pelanggaran dan kejahatan yang mereka lakukan terkait dengan terorisme, masing-masing terdakwa akan dihukum enam tahun penjara dan denda 100 juta rupiah ($ 7500)," kata Kun dalam sidang tanggal 13 Juni.

Kelompok Santoso, ujar hakim, telah melakukan tindakan-tindakan yang melibatkan kekerasan untuk mendirikan negara syariah Islam, termasuk menyerang polisi.

Hukuman ini, lebih ringan dari tuntutan hakim semula, tanggal 1 Juli lalu ketiganya dituntut 7 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Barang bukti dikembalikan ke Densus 88

Pernyataan para saksi dan barang-barang bukti yang dihadirkan di persidangan, lanjut hakim, menunjukkan eksistensi MIT.

Santoso sendiri bahkan menyatakan siap menyambut para mujahidin dari luar dan siap membuka akses untuk bergabung dengan kelompok tersebut.

“Dengan itu, pengadilan menyatakan ketiganya terbukti secara sah melakukan tindak pidana terorisme dan pelanggaran imigrasi. Pengadilan menjatuhkan pidana enam tahun penjara dan denda Rp. 100 juta atau subsider enam bulan kurungan,” ujar hakim Ketua dalam sidang putusan, Senin, 13 Juli.

“Pengadilan menetapkan akan mengembalikan 24 barang bukti kepada Densus 88.”

Sanggahan

Pengacara terdakwa, Asludin Hatjani, mengatakan pihaknya menghormati keputusan sidang. Namun, pihaknya tidak sependapat dengan beberapa pernyataan hakim yang dinilai tidak sesuai.

“Hakim juga mengatakan para terdakwa pernah tinggal bersama kelima orang warga negara asing lainnya yang diduga telah bergabung dengan Santoso di sebuah penginapan di kawasan Bogor. Memang mereka pernah menginap di sana, tapi dalam jangka waktu yang berbeda,” katanya.

Banding

Asludin mengatakan masih mempertimbangkan langkah selanjutnya setelah keputusan dinyatakan hari ini.

“Kami akan menggunakan tujuh hari waktu yang diberikan untuk berkonsultasi dengan pihak Kedutaan Besar Turki apakah akan mengajukan banding atau tidak.”

Sidang putusan terdakwa lainnya, Ahmet Bozoglan, dijadwalkan pada 29 Juli mendatang. Bozoglan dituntut lebih berat dibandingkan ketiga rekan lainnya, yaitu delapan tahun penjara.

Permintaan konsultasi Bozoglan terhadap keduataan Besar Turki di Indonesia ditolak minggu lalu.

Jaksa Penuntut Umum Nana Riana mengatakan status kewarganegaraan mereka sendiri tidak akan berpengaruh pada hukuman yang nantinya akan diberikan pihak pengadilan.

“Pihak kedutaan [Turki] tidak siap dengan permintaan dia,” ujar pengacara keempatnya, Asludin Hatjani, kepada BeritaBenar usai sidang lanjutan pembelaan dari pihak terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu, 8 Juli.

Bogolzan dituntut dengan hukuman delapan tahun masa kurungan serta denda sebesar Rp. 100 juta dan subsider kurungan enam bulan.

Keempat Uighur mengklaim sebagai warga negara Turki, bukan Tiongkok, meskipun sebelumnya Indonesia telah mengindikasikan akan mengirim mereka ke Tiongkok setelah sidang selesai.

Dalam persidangan bulan lalu mereka gagal ketika diuji untuk menyanyikan lagu kebangsaan Turki, bahkan untuk tidak bisa menyebutkan judul lagu kebangsaan tersebut saat diminta oleh Jaksa Penuntut Umum Nana Riana.

“Bagaimana seorang warga negara tidak mengetahui lagu kebangsaan negaranya? Saya orang Indonesia. Lagu kebangsaan saya ‘Indonesia Raya’,” seru Nana dalam persidangan tanggal 10 Juni lalu.

Namun status kewarganegaraan mereka akan berpengaruh terhadap nasib mereka setelah sidang selesai.

“Kedepannya status kewaranegaraan mungkin bisa berpengaruh terhadap perjanjian ekstradisi tahanan antara pihak pemerintah Indonesia dengan pemerintah Turki atau Tiongkok,” ujar Nana kepada BeritaBenar.

“Jika keempatnya bukan warga negara Turki, kemungkinan pihak pengadilan akan menghancurkan paspor mereka,” tukas Nana.

Ketegangan Tiongkok-Turki

Pendukung Uighur yang berbasis di Amerika Serikat mengatakan Tiongkok telah merekayasa tuduhan "Uighur terorisme" untuk membenarkan penindasan terhadap kelompok Muslim minoritas itu di provinsi Xinjiang, di mana suku Uighur banyak menetap.

Di Tiongkok, suku Uighur sebagian besar tinggal di provinsi Xinjiang. Uighur juga tersebar di Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan dan Turki.

Koran propaganda milik pemerintah Tiongkok Global Times, pada hari Jumat lalu menuduh "agen Turki" membantu migrasi ilegal Uighur dari China dengan memberikan dokumentasi Turki setelah mereka tiba di Asia Tenggara, Associated Press melaporkan.

Ekstradisi

Jaksa Penuntut menyatakan bahwa Keempat suku Uighur akan menjalani hukuman di indonesia, kecuali status kewarganegaraan mereka terbukti, maka Indonesia bisa melakukan exkstradisi, jika diminta oleh negara asal.

Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan akan menunggu sampai proses akhir pengadilan.

“Kalau putusan pengadilan memutuskan mereka telah terbukti memalsukan paspor Turki, maka mereka bukan warga negara Turki, kita akan kembali menghubungi pemerintah Tiongkok,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 13 Juli.

“Sekarang kami belum bisa membuat putusan atau memberikan konfirmasi sampai hasil akhir sidang tercapai,” katanya lanjut sambil mengatakan bahwa masih ada kemungkinan pihak terdakwa akan mengajukan banding lagi.

Sebelumnya Irfan mengatakan bahwa jika terbukti bahwa keempat warga Uighur adalah warga Tingkok, maka Indonesia akan menyerahkan mereka kepada pemerintah Tiongkok.

“Selanjutnya terserah pemerintah Tiongkok apakah mereka akan ditahan, dihukum mati, atau dibebaskan. Tergantung hukum yang berlaku di sana,” kata Irfan kepada BeritaBenar 9 Maret lalu.

Dimas Gantari ikut memberikan kontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.