Ketika Sumarsih Menolak Lupa

Oleh Arie Firdaus
2015.06.02
150527_ID_ARIE_SEMANGGI_700.JPG Sumarsih dan Arief Priyadi, kedua orang tua Norma Irmawan, aktivis yang tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998 lalu, foto diambil tanggal 21 Mei, 2015
BeritaBenar

Hawa sumuk di depan Istana Merdeka pada Kamis siang, 21 Mei lalu, tak mengganggu Sumarsih. Ia berfokus menjalani aktivitasnya.

Mengenakan pakaian serba hitam, tangan kanannya kokoh memegang payung berwarna senada.

Ketika orator meneriakkan, 'hanya satu kata!' tangan kiri Sumarsih mengepal ke udara.

Dari mulutnya melantun pelan: 'lawan'.

Hari itu, suara Sumarsih memang kalah lantang dari seruan ratusan mahasiswa yang memadati depan Istana Merdeka.

Tapi semangat Sumarsih tak kalah garang. Bersama rekan-rekannya di Aksi Kamisan, yaitu aksi demonstrasi yang menuntut pemerintah menuntaskan pengusutan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), mereka memutuskan tetap hadir. Meski harus terjepit di tengah-tengah mahasiswa.

"Saya baru akan berhenti jika tersisa tiga orang," kata Sumarsih, yang kini berusia 63 tahun, kepada BeritaBenar.

Aksi Kamisan sendiri ini digagas Sumarsih sejak 2007.

Dinamakan Kamisan karena mereka melakukannya setiap hari Kamis di depan kantor Presiden sebagai bentuk kritik kepada Pemerintah Indonesia yang dinilai lamban dalam menuntaskan beragam kasus pelanggaran HAM terutama kerusuhan 1998.

Sumarsih memang layak gundah dengan sikap alot dan lamban pemerintah Indonesia dalam penuntasan pelanggaran HAM ini.

Sumarsih adalah ibu kandung Norma Irmawan alias Wawan, aktivis Universitas Atmajaya Jakarta yang tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998 lalu.

Tragedi Semanggi terjadi ketika pemerintahan Indonesia untuk pertama kalinya mengalami transisi ke demokrasi.

Dalam transisi ini pemerintah Indonesia mengadakan Sidang Istimewa (SI) guna menentukan pemilu serta membahas agenda pemerintahan setelah lengsernya pemerintahan otoriter Suharto dibawah Orde Baru.

Waktu itu protes dari mahasiswa kembali bergolak. Mereka menolak dwifungsi ABRI. Mahasiswa mengharapkan pemisahan antara politik dan militer agar politik Indonesia bersih dari bekas-bekas penguasa Orde Baru.

Ketika itu, Wawan yang sedang menolong salah seorang rekannya yang terkena tembakan timah panas tentara di kaki kanan, paling naas, Wawan justru tertembak dan tewas.

Tembakan mengenai dada kiri Wawan dan menembus hingga jantung. "Padahal, ia sudah melambai-lambaikan sapu tangan putih di udara menandakan jangan di tembak," kata Sumarsih.

Hingga kini, muara kasus tak jua jelas. Penyelidikan kasus ini di Kejaksaan Agung.

Menolak Takut

Sumarsih menilai pengusutan kasus ini ditutup-tutupi. Pernyatan ini diperkuat Arief Priyadi, suami Sumarsih.

"Kejaksaan Agung seringkali mempermasalahkan hal-hal sekunder yang tidak penting di berkas penyelidikan sehingga dikembalikan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," ujarnya.

Sikap yang dinilai Sumarsih dan Arief sebagai bentuk ketidakberanian Kejaksaan Agung menuntaskan penyelidikan kasus ini.

“Jangan takut! Itu kuncinya jika kasus ini ingin selesai," ujar Sumarsih.

Negara ini takut dengan tentara yang memegang senjata.”

Sumarsih mengatakan jika sudah kehilangan cara, ia akan buka berkas penyelidikan Komnas HAM.

“Di sana kan sudah jelas semua. Ada nama-nama jenderal yang bertanggung jawab. Akan saya publikasikan. Tapi, itu jurus terakhir,” kata Sumarsih.

Pemerintah baru saja membentuk tim Gabungan Rekonsiliasi Pelanggaran HAM, tetapi Sumarsih

melihat kasus ini diarahkan ke impunitas (dimatikan).

“Lihat saja, kalau memang diarahkan ke rekonsiliasi, akan saya buka semuanya. Seberapa penting keberadaan Pengadilan HAM untuk kasus Wawan dan Tragedi Trisakti serta Semanggi I & II bagi Anda?” katanya.

Data memang belum lengkap: Prasetyo

Kejaksaan Agung menepis tudingan takut dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Bolak-balik karena memang belum lengkap. Dan, komisi pun memahaminya,” kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo kepada BeritaBenar.

Prasetyo meminta keluarga Wawan dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk membantu penuntasan kasus termasuk dengan rekonsiliasi.

“Itu tawaran solusi yang paling memungkinkan untuk mereka saat ini,” ujar Prasetyo lagi.

Prasetyo berdalih, kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut terjadi di masa lampau sehingga sulit mencari bukti-bukti yang mendukung.

“Lagipula, dalam rekonsiliasi ada pengakuan bahwa benar sudah terjadi pelanggaran hak asasi dan pemerintah berkomitmen agar tidak terulang di masa mendatang,” lanjut Prasetyo.

Adapun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Pengadilan HAM tetap penting dan dibutuhkan.

Wakil Ketua KontraS Krisbiantoro mengatakan rekonsiliasi tanpa adanya pengadilan adalah bentuk pemutihan kejahatan HAM.

“Mestinya rekonsiliasi itu melengkapi pengadilan, yang ada, sekarang rekonsiliasi justru menggantikan peran pengadilan,”kata Krisbiantoro.

Sumarsih geram dengan rujukan Jaksa Agung.

“Dari sisi hukum, suatu kejahatan harus ada sanksi. Itu prinsip saya. Makanya saya kaget ternyata perkembangan seperti ini. Ada yang bilang rekonsiliasi harus saling memaafkan. Tapi, saya salah apa sampai harus meminta maaf?” katanya.

Sumarsih hanyalah salah satu korba kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 yang telah menewaskan ribuan orang.

1.217 orang tewas, 91 terluka dan 31 orang hilang dalam kerusuhan Mei 1998 dan puluhan lainnya tewas dalam kerusuhan Semanggi I dan II yang terjadi di bulan November 1998. Sampai sekarang jumlah mereka yang diadili masih sangat sedikit.

“Saya yakin suatu saat kasus ini pasti terungkap karena penyelesaian masalah HAM kan tak lekang oleh waktu,” kata Sumarsih.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.