Anak Eks Tapol PKI di Argosari, ‘Tak Ada yang Bisa Jadi Pegawai Negeri’
2020.08.18
Balikpapan
Di Kampung Argosari, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang dikenal sebagai tempat pembuangan bekas tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia (PKI), masih tersisa empat eks tapol partai terlarang di Indonesia itu yang terus menanti keadilan bagi para keturunannya untuk mendapatkan pekerjaan di institusi milik pemerintah.
Keempatnya adalah Sugito Kasirin, Aloysius Paelan, Wagiran dan Maman Sudana. Mereka berusia rata-rata 82 tahun.
“Tidak ada yang bisa menjadi pegawai negeri, seluruhnya kerja swasta,” kata Paelan, sembari mengingat dengan jelas bahwa belum ada satu juga anak keturunan eks tahanan politik PKI di kampung itu yang berhasil diterima bekerja sebagai pegawai pemerintah.
Paelan mengaku telah tinggal di kampung itu selama nyaris 30 tahun, setelah dirinya selesai menjalani hukuman karena dituduh sebagai antek PKI. Sebelumnya ia adalah seorang tentara (kopral) asal Samboja, wilayah yang masih di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dulu, ratusan tahanan politik tinggal di kampung tersebut. Namun, sebagian besar dari mereka kini telah meninggal dunia atau memulai hidup baru ke daerah lainnya.
Meski era Soeharto telah berakhir sejak 1998, Paelan mengaku keadaan di kampungnya tidak banyak berubah akibat belenggu stigma PKI yang terlanjur melekat di masyarakat. Stigma itu yang kemudian membuat tidak ada satupun keturunan dari eks tahanan politik di Argosari yang berhasil menjadi pegawai negeri sipil.
“Kami ini seperti minder, daripada mendaftar kemudian ditolak, mendingan tidak usah saja. Bekerja sebagai swasta saja,” kata Paelan saat ditemui BenarNews di rumahnya, Minggu (16/8).
Rasa pesimistis itu menular ke putranya, Agustinus (28).
Agustinus mengaku tidak memiliki keberanian untuk melamar menjadi pegawai negeri. Alhasil, dia lebih memilih terlibat bekerja bersama yayasan pelestarian lingkungan di Samboja, Kalimantan Timur.
“Lagipula apakah mungkin saya ini bekerja di pemerintahan? Status saya sudah tercatat sebagai ‘warga Argosari’,” kata Agustinus.
Agustinus juga belajar dari pengalaman yang dialami sepupu jauhnya di Balikpapan yang gagal diterima menjadi prajurit TNI AL karena ketahuan memiliki hubungan darah dengan sang Ayah.
“Kesalahan dia hanya (ayah sepupunya) punya adik yang dianggap antek PKI,” katanya.
Ragu membangun mimpi
Setengah berlari Dewi Pertiwi (38) tergopoh memasuki pintu kayu rumah panggung orang tuanya. Mukanya pucat pasi mendapati ayahnya tertelungkup di samping sofa yang bantalan gabusnya sudah terkelupas.
Ia bergegas membantu berdiri Sugito Kasirin (82) yang mulai sakit-sakitan, lumpuh, rabun, dan tuli.
“Bapak sudah lama sakit tua, kakinya sudah tidak kuat menahan tubuh sehingga sering terjatuh dari kursi dan tempat tidur,” kata ibu rumah tangga itu kepada BenarNews di rumahnya, Minggu.
Dewi adalah putri sulung Sugito yang namanya juga tercatat sebagai tahanan politik PKI di Argosari.
Sugito dulu berprofesi sebagai tentara berpangkat terakhir prajurit satu dari Batalyon 609 Balikpapan.
Tapi Sugito dituduh sebagai antek PKI dan dibuang bersama 167 tapol lainnya ke Argosari pada tahun 1979. Tuduhan itu membuat hidupnya berantakan, seluruh keluarga dan anak kandungnya menolak mengakui keberadaannya.
Di Argosari, Sugito membangun keluarga baru dengan menikahi Wasiyem, warga setempat. Dari hasil pernikahan keduanya ini, Sugito memiliki sepasang putra dan putri, Dewi dan adiknya Bari Subagyo (34).
Sebagai anak dari prajurit yang terbuang bersematkan nama antek PKI, Dewi dan adiknya harus ikut menanggung risiko bahwa keduanya gagal mendapatkan pendidikan yang layak, paling tidak hingga jenjang menengah atas.
“Kami berdua lulusan SD saja, tidak punya biaya untuk sekolah. Bapak tidak mampu membiayai,” ungkap Dewi.
Meskipun begitu, Dewi enggan menyalahkan orangtuanya. Menurutnya, mereka hanya merupakan korban pertarungan politik negara di tahun ‘60-an.
“Saya sayang kedua orangtua, tidak akan menyalahkan mereka. Kalau tidak saya, terus siapa lagi,” ujarnya.
Dewi mengaku sudah berdamai dengan keadaan serta berusaha melupakan kekejaman era Orde Baru.
Dirinya hanya berharap dua anak-anaknya tidak berakhir dengan nasib serupa dengannya.
“Anak anak saya juga punya cita cita tinggi,” tutur Dewi.
Dewi punya dua anak duduk di bangku SD. Putrinya ingin menjadi dokter sedangkan adik laki-lakinya berniat menjadi tentara.
“Mereka memang masih SD sekarang ini, namun cita cita keduanya sejujurnya membuat kami berkecil hati,” katanya.
Dalam hati kecilnya, Dewi ragu anak anaknya bisa menggapai cita-cita. “Stigma negatif tentang dosa eks tapol bisa dibawa dibawa sampai tujuh-turunan,” katanya.
Bergantung pada keputusan pemerintah
Institusi TNI/Polri tidak berkomentar banyak saat BenarNews mencoba mencari klarifikasi terkait hal ini.
Kepala Penerangan Kodam Mulawarman Kolonel (Kav) Dino Martino hanya mengatakan bahwa penerimaan prajurit masuk ranah intelijen.
“Kebijakan penerimaan prajurit ada di ranah staf intel, nanti saya tanyakan kepada yang bersangkutan,” katanya.
Sedangkan Kepala Bidang Humas Polda Kaltim Komisaris Besar Ade Yaya Suryana mengatakan, institusi Polri taat terhadap kebijakan yang diputuskan pemerintah.
Ade berdalih, saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencetuskan wacana rekonstruksi nasional eks tapol di Indonesia, kepolisian mengikuti kebijakan tersebut dengan memberi kesempatan lebih luas untuk para keturunan eks tapol.
“Polri ikuti pemerintah, coba buka referensi di zaman Presiden Gus Dur,” kata Ade penjelasan detail.
Lima bulan setelah dilantik jadi presiden pada Oktober 1999, Presiden Gus Dur mengumumkan permintaan maaf atas tragedi pembunuhan massal tahun 1965-1966 yang melibatkan seluruh simpatisan PKI.
Gus Dur ketika itu juga mewacanakan penghapusan Tap MPRS No. XXV/1966 yang memuat larangan penyebaran paham PKI beserta ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh Indonesia. Baginya, ketetapan itu melanggar konstitusi. Namun sayang, usulannya ditolak oleh MPR dan DPR.
Rekonsiliasi nasional
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memastikan pembunuhan massal atas simpatisan PKI, 55 tahun silam, adalah bentuk pelanggaran HAM berat.
Oleh karenanya, pemerintah diminta untuk serius mengakhiri segala manuver politik negara, diskriminasi dan segera melakukan rekonsiliasi nasional dan mengadili pelaku pelanggaran.
“Ada nuansa politik di sejumlah institusi negara membawa isu PKI sebagai komoditas politik praktis,” kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, kepada BenarNews.
Anam mengatakan, rekonsiliasi antara eks tahanan politik dengan kelompok masyarakat bisa dilakukan mengingat mayoritas rakyat Indonesia sudah mulai melupakan sejarah kelam konflik PKI yang merenggut ratusan ribu jiwa tersebut.
Segala bentuk intoleransi kepada eks tapol, menurut Anam, bukan menjadi representasi keinginan dari mayoritas rakyat Indonesia. Ia memastikan kelompok-kelompok tersebut hanya memanfaatkan stigma negatif isu PKI untuk kepentingan politik praktis tertentu.
Kendati demikian, Anam menilai negara dalam beberapa tahun terakhir sudah menerapkan kebijakan yang menghapus perilaku diskriminasi bagi eks tahanan politik, salah satunya bisa beroleh kartu tanda penduduk (KTP).
“Sudah boleh ikut Pemilu dan memperoleh KTP,” ungkap Anam.
Sementara itu, Deputi Direktur Human Rights Working Group Daniel Awigra menyatakan, negara harus mampu membangun rekonsiliasi penyelesaian permasalahan eks tapol. Saat persoalan terus diabaikan, Ia khawatir permasalahannya terus menghantui perjalanan sejarah bangsa ini.
“Kalau tidak segera diselesaikan akan menjadi stigma negatif bangsa ini selama bertahun tahun,” kata Daniel.
Daniel mengatakan, para eks tahanan politik hanya menuntut rehabilitasi pemulihan nama baik dari segala tuduhan. “Sebenarnya tuntutan mereka sederhana dan masuk akal,” tukas Daniel.