Kisah Penyelamatan TKW dari ‘Ibukota’ ISIS
2016.03.16
Jakarta
Sri Rahayu Binti Masdin Nur (40) tak pernah berpikir mengalami pengalaman paling mengerikan dalam hidupnya. Ia harus melihat kekejian perang saudara di Suriah setelah terjebak di Raqqah, yang diklaim “ibukota” Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Seandainya ia tahu terjebak sekian tahun dalam pusaran konflik bersenjata, mungkin perempuan asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, itu tak akan mau pergi ke Suriah untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Apalagi sebelumnya dia pernah bekerja di Arab Saudi.
Sri berangkat ke Suriah secara resmi 2 Februari 2011, untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kota Aleppo.
Ketika kontraknya habis setelah bekerja 2,5 tahun di Aleppo, ia tidak dizinkan pulang, tapi dipekerjakan pada seorang bekas insinyur yang sudah tua, Abdul Azim Al-Ujaeli, di Raqqah.
Saat Suriah kian memanas, Sri sebenarnya ingin pulang ke tanah air. Tapi, agen yang memperkerjakannya mengatakan jika Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Damaskus sudah tutup dan tak ada lagi penerbangan ke Indonesia.
Kala itu, Raqqah masih dikuasai pemberontak Free Syrian Army. Tiga bulan setelahnya atau pada akhir 2013, tentara ISIS memasuki Raqqah setelah mereka terdesak dari Aleppo dan mengklaim sebagai “ibukota”.
Sri mengaku menyaksikan langsung orang-orang berlarian sambil berteriak ketakutan. Banyak warga mengungsi, tapi Abdul Azim memilih tetap tinggal padahal dia bukan pendukung ISIS.
“ISIS memasuki Raqqah dan merebut gudang senjata milik Batalyon 17 tentara Suriah,” teriak warga setempat seperti ditirukan Sri dalam siaran pers KBRI Damaskus yang diterima BeritaBenar, Rabu, 16 Maret 2016.
Selama tinggal di bawah kontrol ISIS, Sri selalu mengenakan pakaian hitam bercadar menutup wajahnya bila keluar rumah atau sekadar membersihkan halaman agar tidak diketahui berasal dari Indonesia.
Lihat kepala dijajar di jalan
Sri mengaku menyaksikan kekejaman ISIS berkali-kali. Suatu hari, ketika ke pasar Raqqah, dia melihat kepala-kepala manusia dijajarkan di pinggir jalan setelah dipenggal.
Sejak itu, ia jarang ke luar rumah kecuali sangat mendesak. Satu ketika ia harus membeli rokok majikan, sesuatu yang dilarang tentara ISIS. Ia berniat membelinya diam-diam.
Tapi belum juga sampai toko yang dituju, dia dicegat tentara ISIS. Mereka bertanya dengan garang, “Mau kemana?”
Sri dengan ketakutan menjawab, “Membeli sesuatu ke pasar.”
Kemudian tentara ISIS memerintahnya untuk kembali ke rumah karena tak didampingi muhrimnya.
“Untung rokok belum di tangan,” kata Sri bersyukur.
Sejak Raqqah dikuasai ISIS, kebutuhan pokok sangat sulit. Pada Ramadhan 2014, ia bercerita terpaksa antri membeli roti hingga terpaksa menginap di pabrik roti hanya untuk mendapatkan makanan pokok.
Upaya penyelamatan
Dalam pernyataan pers itu juga dijelaskan bahwa KBRI Damaskus menerima informasi keberadaan Sri di Raqqah pada Juni 2015. Sejak itu, berbagai upaya ditempuh untuk menyelamatkan perempuan Indonesia tersebut.
Lewat pengacara retainer KBRI Damaskus di Aleppo, Muhammad Akra, KBRI Damaskus terus menekan agen tenaga kerja yang mengirim Sri ke Raqqah untuk bertanggung jawab. Tapi agen selalu beralasan mustahil mengeluarkan Sri dari Raqqah.
Rencana disusun dengan memilih seorang pegawai agen tenaga kerja yang mengetahui seluk beluk wilayah medan pegunungan Aleppo dan Raqqah untuk menjemput Sri.
“Setelah mencermati waktu yang tepat dan rencana matang, Sri dievakuasi melalui perjalanan darat Raqqah dan Aleppo dari gunung ke gunung secara klandestin siang dan malam selama enam hari,” tulis siaran pers tersebut.
“Untuk mengelabui tentara ISIS, Sri dan pegawai agen mengaku suami-istri.”
Sri berhasil dibawa ke Kantor Konsuler cabang Aleppo, Januari 2016. Setelah semua hak dan urusan selesai diperjuangkan di Aleppo, Sri diantar ke tempat penampungan KBRI Damaskus pada 12 Maret 2016 untuk segera dipulangkan ke Indonesia.
Duta Besar RI Damaskus, Djoko Harjanto, menyatakan bahwa keberhasilan tim konsuler KBRI Damaskus menyelamatkan Sri patut diapresiasi.
“Tanpa jejaring yang kuat antara KBRI Damaskus, Pemerintah Suriah, dan tokoh masyarakat setempat, mustahil dapat mengemban misi perlindungan WNI di tengah gejolak konflik Suriah,” ujarnya.
Pejabat fungsi konsuler merangkap Penerangan Sosbud KBRI Damaskus, AM. Sidqi, menyebutkan bahwa penyelamatan TKI dari wilayah konflik bukan pertama kali dilakukan tim konsuler KBRI Damaskus.
“Pada Januari 2016, KBRI Damaskus juga berhasil menyelamatkan seorang TKW asal Subang bernama Casih Binti Waan dari kepungan ISIS di Deir Ezzor. Proses evakuasi menggunakan helikopter tentara Suriah,” tutur Sidqi.
Dia menambahkan bahwa sejak konflik meletus di Suriah tahun 2011, KBRI Damaskus telah memulangkan hampir 13 ribu orang WNI/TKI dari Suriah ke tanah air.
Banyak laporan
Kasubdit Perlindungan WNI di Luar Negeri, Fajar Nurhadi mengatakan upaya penyelamatan WNI di zona konflik terus dilakukan. Apalagi banyak laporan masuk mengenai WNI yang akan bergabung dengan ISIS.
“Kebanyakan laporan dari polisi dan keluarga WNI yang hilang kontak karena menerima kabar jika yang bersangkutan mau ke Suriah. Upaya pencegahan dan penyelamatan terus dilakukan,” jelasnya kepada BeritaBenar.
Proses pemulangan dilakukan dengan pihak terkait seperti KBRI, Konsulat, KJRI atau kepolisian melalui notifikasi yang dikirimkan.
"Perwakilan kami menemui orang atau grup yang hendak ke Suriah tersebut dan mengkordinasikan kepolisian dan imigrasi setempat untuk dideportasi,” ujar dia.
Menurut Fajar, beberapa dari mereka beralasan hendak bergabung dengan ISIS karena faktor ekonomi. Mereka mau menambah penghasilan karena diiming-iming gaji dan tunjangan besar.
Menurut data Kemlu, sekitar 217 WNI telah ditangkap dan dideportasi dari luar negeri, kebanyakan dari Turki, karena ingin bergabung dengan ISIS.
Pada 13 Maret lalu, polisi menggagalkan keberangkatan 14 perempuan dan anak-anak sejam sebelum terbang di Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Mereka mengaku ingin menyusul anggota keluarga mereka di Suriah. Polisi menyuruh mereka pulang setelah sempat diperiksa.
Jumlah WNI yang kini bergabung dengan ISIS menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diperkirakan lebih dari 800 orang.
Sedangkan Presiden Jokowi dalam KTT AS-ASEAN di Amerika pertengahan Februari lalu menyatakan, WNI yang pergi ke Suriah berjumlah 329 orang.