Pemerintah Tunggu Laporan Kedua Pihak Untuk Memutuskan Konflik Partai Demokrat
2021.03.09
Jakarta
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, pada Selasa (9/3) mengatakan akan menunggu laporan dari semua pihak sebelum mengambil keputusan terhadap konflik di dalam tubuh Partai Demokrat yang melibatkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Kisruh yang memunculkan dualisme pada partai yang didirikan mantan Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono tersebut dimulai saat para mantan kader senior Demokrat menggelar kongres luar biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatra Utara, Jumat (5/3).
Pada kongres itu, para peserta melengserkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum partai dan menggantinya dengan Moeldoko.
“Saat ini kami masih melihat ini masalah internal Demokrat. Karena kelompok yang dikatakan KLB itu kan belum menyerahkan satu lembar apapun kepada kami,” kata Yasonna, seraya melanjutkan, “nanti kalau (pihak) KLB datang, kita akan menilai semuanya sesuai AD/ART Demokrat dan ketentuan UU yang berlaku.”
Pada Senin, Agus mendatangi Kemenkumham untuk meminta kementerian itu tidak mengesahkan KLB di Deli Serdang itu karena inkonstitusional. Dia menyerahkan lima boks berisi dokumen yang mendukung klaimnya tersebut.
Yasonna Laoly juga membantah pemerintah terlibat dalam “kudeta” kepemimpinan di Partai Demokrat dan meminta Yudhoyono selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan Agus untuk tidak menuduh pemerintah terlibat dalam kisruh partai oposisi tersebut.
“Saya pesan, tolong Pak SBY dan AHY jangan tuding-tuding; pemerintah begini, pemerintah begitu. Tunggu saja. Kita objektif. Jangan main serang-serang yang tidak ada dasarnya,” kata Yasonna kepada jurnalis di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
“Kami akan bertindak profesional sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku,” tambahnya.
Dalam siaran langsung dari kediamannya di Bogor, pada Jumat lalu, Yudhoyono mengecam hasil KLB tersebut.
“Banyak yang tercengang, banyak yang tidak percaya KSP (Kepala Staf Presiden) Moeldoko bersekongkol dengan orang dalam, benar-benar tega dan dengan darah dingin melakukan kudeta,” kata Yudhoyono.
“Rasa malu dan rasa bersalah saya yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya,” kata SBY yang menunjuk Moeldoko sebagai Panglima TNI pada tahun 2013 ketika dirinya menjabat presiden.
Sejak menjabat sebagai KSP pada 2018, Moeldoko tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun. Sebelumnya, Moeldoko adalah politisi dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang dirintis Jenderal (Purnawirawan) Wiranto.
Presiden Joko Widodo belum memberikan komentar apapun terkait keterlibatan Moeldoko dalam kisruh Partai Demokrat ini.
‘Kanker stadium 5’
Kubu pendukung Moeldoko yang juga mantan Kepala Kantor Partai Demokrat, Muhammad Rahmat, mengatakan KLB digelar untuk mengakhiri era kepemimpinan Yudhoyono dan Agus yang diklaimnya sewenan-wenang.
Selain itu, menurutnya, apabila Yudhoyono dan Agus tidak segera dilengserkan, maka perolehan elektabilitas Partai Demokrat pada 2024 bakal terjun bebas hingga di bawah 5 persen.
“KLB harus dilakukan karena kepemimpinan rezim SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi dan AHY sebagai Ketua Umum sudah merupakan penyakit kanker stadium 5,” kata Rahmat dalam konferensi pers, Selasa.
Rahmat, mewakili sosok-sosok yang disebutnya ikut berjasa mendirikan Partai Demokrat, berkeyakinan Moeldoko adalah tokoh yang tepat untuk memperbaiki citra partai.
“Pihak-pihak yang mengatakan internal pemerintah terlibat itu adalah karangan bebas. Karangan yang tidak berdasar,” ujarnya, “argumentasi menyesatkan karena tujuan utama KLB adalah bagaimana PD (Partai Demokrat) kembali baik!”
Moeldoko menerima penunjukan dirinya melalui telepon sebelum ia tiba di lokasi kongres pada pikul 21:30 WIB untuk memberikan pidato menyatakan bahwa kongres tersebut “konstitusional”, demikian dilaporkan Tempo.
Jhoni Allen Marbun, mantan kader senior Demokrat dan inisiator KLB di Deli Serdang, turut mengatakan penunjukan Moeldoko sebagai ketua umum tidak berkaitan dengan jabatannya sebagai KSP.
”Lebih karena kepribadiannya yang sangat simpatik menghargai orang dan menghargai bawahannya. Itu yang membuat kami mau dirinya jadi ketua umum," kata Jhoni dalam sebuah rekaman video, Sabtu.
Sejumlah kader Demokrat, termasuk Marzuki Alie dan Jhoni, dipecat pada akhir Februari dari struktur kepengurusan partai dikaitkan dengan dugaan upaya menggulingkan Agus sebagai ketua umum – isu yang kencang beredar sejak awal Februari.
Marzuki pada hari Senin menggugat Agus ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas pemecatan yang dilakukan partai itu kepada dirinya.
Selain Marzuki, mantan pengurus Partai Demokrat lain yang ikut menggugat Agus adalah Tri Yulianto, Damrizal, Achmad Yahya, Yus Sudarso dan Syofwatillah Mohzaib. Dalam kongres di Deli Serdang itu, Marzuki ditunjuk peserta sebagai Ketua DPP Demokrat yang baru.
‘Restu Istana’
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar di Jakarta, Ujang Komaruddin, menduga kesediaan Moeldoko untuk merebut kepemimpinan AHY melalui KLB telah mendapat restu dari Istana.
“Ada indikasi kuat ada restu dari Istana. Kalau kudeta tidak terjadi, kan berarti ada larangan,” kata Ujang ketika dihubungi, Selasa.
Restu tersebut diduga bakal menjadi modal untuk kepentingan politik pemerintah ke depan, mengingat saat ini Partai Demokrat menjadi satu dari dua kubu oposisi pemerintah di parlemen bersama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tambahnya.
“Ada upaya untuk menghancurkan pihak lawan, supaya kebijakan yang dirancang tidak dapat penolakan di parlemen,” kata Ujang.
Dirinya berpendapat, kisruh partai yang diduga mendapat lampu hijau dari Istana ini membuat iklim demokrasi Indonesia semakin rusak dan pada akhirnya mencederai citra Jokowi.
“Kalau Ketua Umum versi KLB itu dari kader-kader yang dipecat itu, mungkin saya lihat (kistruh) itu perbedaan cara pandang atau kepentingan di antara elit Partai Demokrat saja. Tapi ini kan bukan,” tukasnya.
Pakar politik dan pendiri lembaga riset, Saiful Mujani, menyebut KLB Demokrat di Deli Serdang sebagai ironis.
“Zaman Orde Baru saja yang otoriter, pengambilalihan kekuasaan lewat KLB oleh kader partai sendiri. Kasus PDI misalnya. Di era demokrasi sekarang, Demokrat justru diambil alih pejabat negara yang mestinya melindungi semua partai. Ironi luar biasa,” kata Saiful melalui akun Twitternya.
Saiful menilai Jokowi memiliki peran untuk menghentikan upaya yang semakin memundurkan demokrasi di Indonesia.
“Presiden punya wewenang yang lebih dari cukup untuk menghentikan kemerosotan demokrasi ini. Tapi ini tergantung pada komitmen Presiden untuk demokrasi,” katanya.
Mahfud: AHY masih resmi ketua
Pada Sabtu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan AHY masih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat selama belum ada laporan hasil KLB Demokrat yang menunjuk Moeldoko ke pemerintah.
“Pengurusnya yang resmi di kantor pemerintah adalah AHY, putra Susilo Bambang Yudhoyono,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, pemerintah juga belum bisa mengambil sikap tentang sah atau tidaknya kongres di Sumatra Utara karena belum ada data atau dokumen yang perlu disahkan. “Pemerintah berpedoman pada aturan-aturan,” katanya.
Agus dalam konferensi pers Sabtu pekan lalu, menegaskan bahwa sesuai dokumen AD/ART Partai Demokrat, KLB bisa diselenggarakan atas permintaan Majelis Tinggi Partai dan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD).
Selain itu, pada Pasal 83 ayat 1 AD/ART juga mengatur bahwa penyelenggara Kongres atau Kongres Luar Biasa adalah Dewan Pimpinan Pusat.
“Artinya sekali lagi, KLB tersebut tidak memiliki dasar hukum partai yang sah,” tegas Agus.
Janji uang
Skandal dugaan pemberian sejumlah uang bagi peserta kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatra Utara, mencuat melalui salah seorang peserta yang hadir pada acara akhir pekan lalu itu.
Gerald Piter Runtuthomas, mantan Wakil Ketua DPC Demokrat di Sulawesi Utara, mengatakan peserta awalnya mereka dijanjikan uang Rp100 juta oleh panitia KLB. Namun kenyataannya, para peserta hanya diberikan Rp5 juta usai pelaksanaan.
“Yang pertama dari Maluku berontak, karena tidak sesuai harapan, tidak sesuai iming-iming. Tidak sesuai janji,” katanya dalam rekaman video yang ditayangkan DPP Demokrat.
Gerald mengatakan, jumlah uang yang diterima itu sempat memunculkan kemarahan dari para peserta yang hadir. Kemudian, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin—juga terlibat sebagai panitia kongres, memberikan uang tambahan sekitar Rp5 juta kepada mereka.
"Kami memberontak karena tidak sesuai harapan. Tiba-tiba dipanggil dan ditambahin uang Rp5 juta oleh Bapak Nazaruddin," kata Gerald.
Salah satu panitia kongres, Achmad Yahya, membantah adanya pemberian uang kepada peserta. Achmad balik menuding Gerald sebagai mata-mata yang sengaja dikirim pihak lain ke kongres.
"Dia pasti mata-mata yang dikirim pihak lain untuk mengecek apakah KLB ini bermain sogok? Padahal tidak," kata Achmad kepada CNN Indonesia, Selasa.