IPAC: Penyebaran COVID-19 dari Kelompok Keagamaan Dikhawatirkan Tingkatkan Intoleransi
2020.05.20
Jakarta
Penyebaran COVID-19 dari klaster kelompok keagamaan dikhawatirkan akan meningkatkan sikap intoleran dan stigmatisasi di tengah masyarakat, demikian laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lembaga think tank bermarkas di Jakarta.
Dalam laporan 17 halaman berjudul 'Religious "Super-Spreaders" in Indonesia: Managing the Risk of Stigmatisation' itu, IPAC meneliti beberapa klaster kelompok agama yang menjadi sumber penyebaran virus di Indonesia.
Mereka, antara lain, klaster pertemuan kelompok Jamaah Tabligh di Malaysia, India dan Gowa di Sulawesi Selatan.
"Fenomena super-spreader kelompok agama ini telah memproduksi beberapa stigma, meski tidak berupa kekerasan, khususnya Jamaah Tabligh," tulis IPAC dalam laporan yang dirilis Selasa, 19 Mei 2020.
Pertemuan di Gowa yang rencananya berlangsung empat hari sejak 19 Maret, dibatalkan tepat pada hari acara tersebut sejatinya dimulai, tapi sekitar 8.700 orang --termasuk warga negara asing dari Malaysia, Thailand, Pakistan, India, Brunei, dan Timor Leste-- sudah berkumpul di lokasi acara.
Hingga 11 Mei, Indonesia mengonfirmasi bahwa 1.068 kasus COVID-19 klaster Gowa telah tersebar ke 22 privinsi.
Sebanyak 808 warga negara Indonesia yang menjadi anggota Jamaah Tabligh masih tertahan di India dan 357 sudah dipulangkan
Sentimen negatif terhadap klaster kelompok keagamaan dicontohkan IPAC telah terjadi di Nabire, Papua, di mana 25 dari 35 terduga COVID-19 di daerah tersebut hingga 26 April, terkait dengan jamaah Gowa.
Fenomena ini kemudian menaikkan tensi sosial di Nabire, setelah sejumlah warga lokal mengutuk pemerintah setempat telah bersikap lalai dan membiarkan jamaah Gowa pulang ke Nabire. Mereka pun menuntut para jamaah tersebut dites ulang oleh otoritas setempat.
"Dari kasus ini, jelas bahwa klaster keagamaan punya tensi lebih tinggi jika muncul di wilayah yang punya sejarah konflik seperti di Papua," lanjut IPAC.
Ada pula klaster pertemuan pastor Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Lembang di Jawa Barat pada 3-5 Maret yang kemudian menyebarkan virus di kalangan komunitas Bethel dan masyarakat umum.
Menurut IPAC, insiden ini sempat pula memunculkan sentimen anti-Kristen di media sosial meski masih dalam taraf dapat dikontrol."Kalau saja penyebaran bermula di Solo, Jawa Tengah, yang memiliki sejarah permusuhan dengan GBI, bukan di Jawa Barat, masalah mungkin bisa lebih buruk."
Perlu ketegasan
Dalam kajian tersebut, IPAC mengatakan bahwa masalah tersebut semestinya dapat dihindari andaikata pemerintah bersikap lebih tegas sejak awal dengan melarang kegiatan pengumpulan massa atau setidaknya memiliki rencana jelas menyikapi dengan mengadakan tes, dan mengawasi mobilitas peserta.
"Pemerintah harus paham bahwa akan ada asumsi bahwa mereka terinfeksi, kecuali sudah dibuktikan," lanjut IPAC.
Laporan IPAC mengatakan pemerintah lebih khawatir terhadap masalah ekonomi seperti bentrokan karena pendistribusian bantuan yang tidak merata, kelangkaan makanan dan meningkatkatnya kejahatan dibanding ketegangan bermotif agama.
Baik Jamaah Tabligh dan GBI sudah menghentikan kegiatan dakwah dan pertemuan mereka namun cap sebagai “penyebar super” akan bertahan lama, kata IPAC.
“Tidak adanya petunjuk yang jelas tentang penegakan dan sangsi dapat menghasilkan dua hal buruk: klaster baru penyebar super dari kelompok agama atau tindakan main hakim sendiri,” kata laporan itu.
BeritaBenar menghubungi Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman terkait penelitian ini, namun tak beroleh balasan.
Sementara Kepala Biro Penerangan Umum Divhumas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan enggan berkomentar lebih lanjut dengan alasan belum mendalami laporan IPAC. Namun ia meminta masyarakat tidak "main hakim sendiri" menyikapi terduga atau pasien positif COVID-19 dan menyerahkannya kepada otoritas berwenang.
"Masyarakat harus bekerja sama mencegah penyebaran COVID-19," katanya.
Potensi Klaster Ramadan/Idulfitri
Selain menyoroti potensi peningkatan sikap intoleran dan stigmatisasi, IPAC dalam laporannya juga menyoroti kemungkinan kian meluasnya penyebaran virus selama Ramadan dan Idulfitri akibat inkonsistensi dan ketidaktegasan pemerintah.
Pemerintah sebelumnya sempat mengatakan tidak melarang mudik Lebaran, yang kemudian diubah dengan pelarangan hanya pada anggota Aparatur Sipil Negara. Namun kemudian dengan semakin bertambahnya kasus COVID-19, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memperketat dengan larangan mudik kepada semua anggota masyarakat, dan pada saat yang sama membatasi operasi sejumlah transportasi umum.
Namun beberapa hari terakhir dengan alasan mempermudah mobilitas dalam urusan-urusan yang esensial sehubungan dengan kepentingan umum, sejumlah moda transportasi umum kembali dioperasikan, walaupun larangan mudik tetap tidak dicabut.
"Dengan kebingungan dan inkonsistensi itu, klaster baru hampir pasti akan tumbuh," terang IPAC.
Kasus harian terbesar
Juru Bicara Pemerintah untuk Penangana COVID-19 Achmad Yurianto tak berkomentar terkait penelitian IPAC. Hanya saja, ia berharap masyarakat dapat terus mengikuti protokol kesehatan dan tidak mudik demi mencegah penularan virus.
"Karena kita tidak tahu siapa yang sakit. Sebisa mungkin tetap di rumah dan tidak bepergian, bahkan meski di dalam kota," ujar Yurianto.
"Manusia adalah pembawa virus, sehingga penyebarannya (virus) tergantung dari sebaran aktivitas manusianya."
Sampai hari ini, total kasus positif COVID-19 di Indonesia tercatat sebanyak 19.189 kasus -bertambah 693 dari hari sebelumnya, yang merupakan peningkatan terbesar harian sejauh ini, kata Yurianto.
Jumlah korban jiwa bertambah 21 menjadi 1.242, sementara keseluruhan spesimen yang dites adalah sebanyak 154.139, ujarnya.
Pasien Dalam Pengawasan (PDP) berjumlah 11.705 dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 44.703.
Dalam kesempatan terpisah, Pemerintah DKI Jakarta pada Rabu malam mengumumkan perpanjangan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang dimulai sejak 10 April, hingga 4 Juni mendatang.
“Ini akan menjadi PSBB penghabisan jika kita disiplin. Jangan sampai kita memperpanjang lagi,” ujar Gubernur Jakarta Anies Baswedan.
Anies menilai, penerapan PSBB terhitung efektif dalam penurunan kasus harian COVID-19 di Jakarta. Ia merujuk angka reproduksi COVID-19 Jakarta yang sudah berada di angka 1,11 per 17 Maret 2020. Ia menargetkan angka itu dapat terus turun, hingga di bawah satu.
Angka reproduksi (dilabeli Rt) merupakan tingkat penularan dari suatu infeksi. Jika Rt=4, artinya seseorang berotensi menularkan kepada empat orang. Adapun Rt<1, potensi penularan sudah hampir tidak ada.
“Tanpa berada di rumah, melakukan isolasi mandiri, itu (Rt<1) tidak akan tercapai,” ujar Anies.