Kapolri: Kelompok Separatis Dibalik Kerusuhan Papua, Aktivis: Kerusuhan Dipicu Rasisme

Akses internet telah kembali dibuka di Papua.
Rina Chadijah
2019.09.05
Jakarta
190905_ID_Papua_unrest_1000.JPG Seorang warga melihat melalui jendela kaca yang pecah akibat kerusuhan di Jayapura, Papua, 31 Agustus 2019.
Antara via Reuters

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menuding kelompok separatis dibalik kerusuhan di Papua dan Papua Barat yang telah berlangsung dalam hampir tiga minggu terakhir, klaim yang dibantah oleh kelompok hak asasi manusia (HAM), sementara pemblokiran internet telah dicabut di sebagian wilayah timur Indonesia itu.

"Apa yang terjadi di Papua didesain oleh kelompok tersebut untuk tujuan tertentu, yang ingin membuat kisruh,” kata Tito merujuk pada kelompok separatis United Liberation Movement for West Papua (Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat/ ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dalam jumpa pers di Jayapura, Kamis, 5 September 2019.

"ULMWP dan KNPB bertanggung jawab terhadap berbagai aksi yang terjadi dan nama-namanya sudah ada, sehingga penegakan hukum akan dilakukan," ujarnya.

Menurut Tito, kelompok yang menginginkan Papua merdeka itu terlibat merancang rentetan kerusuhan dan Benny Wenda, tokoh ULMWP, adalah salah seorang yang terlibat.

"Benny Wenda dan kelompoknya bermain dalam rusuh di Papua. Mereka sengaja mengejar konflik ini dalam rangka rapat komisi HAM di Jenewa. Nantinya, kelompok perusuh ini akan bersuara di Papua rusuh terjadi,” ujarnya.

Dia menambahkan berbagai aksi di Papua bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat internasional menjelang rapat Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa yang akan digelar di Jenewa, Swiss, pada 9 September mendatang.

Selain itu, tambahnya, mereka mempersiapkan kerusuhan di Papua dengan menyebarkan berita bohong tentang kondisi Papua, supaya isu Papua yang tidak diagendakan dalam Sidang Umum PBB yang digelar pada 23-24 September bisa dimasukkan.

Namun, Benny yang hidup dalam pengasingan di Inggris dalam keterangannya membantah semua tudingan tersebut.

"Alih-alih menanggapi seruan kami untuk merdeka, pemerintah Indonesia lebih memilih melakukan propaganda untuk mengalihkan perhatian,” kata Benny dalam statemen yang dikirim ke BeritaBenar.

“Daripada menegakkan hak kami untuk menentukan nasib sendiri, (Menko Polhukam) Wiranto sedang membentuk kelompok-kelompok milisi, mencoba untuk menjadikan para pendatang di Papua untuk melawan kami - seperti yang ia lakukan di Timor Timur,” kata  Benny.

Wiranto adalah komandan angkatan bersenjata Indonesia ketika Timor Timur (Timor Leste) memilih untuk melepaskan diri dari Indonesia dalam pemungutan suara yang disponsori oleh PBB yang didahului dan diikuti oleh kekerasan yang diduga dilakukan oleh milisi pro-Indonesia yang didukung tentara.

Menko Polhukam Wiranto (tengah) bernyanyi bersama ratusan warga Papua dan warga Jakarta di ibu kota dalam acara musik dan tarian Yospan Papua di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu, 1 September 2019. (AFP)
Menko Polhukam Wiranto (tengah) bernyanyi bersama ratusan warga Papua dan warga Jakarta di ibu kota dalam acara musik dan tarian Yospan Papua di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu, 1 September 2019. (AFP)

Harus dibuktikan

Juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Suarbudaya Rahadian menilai pernyataan Kapolri itu terlalu gegabah karena seolah mengenyampingkan konteks unjuk rasa warga Papua, yang dipicu oleh tindakan rasisme dan kesewenang-wenangan aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, pertengahan bulan lalu.

“Aksi itu digelar karena ada kesadaran bersama bangsa Papua yang kerap direndahkan, dilecehkan yang itu tidak perlu mastermind dan tak perlu digerakkan,” katanya kepada BeritaBenar.

Suarbudaya meminta Polri untuk menunjukkan bukti yang jelas atas tudingan tersebut.

“Kalau seperti itu semua orang bisa bikin klaim, dan itu tidak tepat di tengah situasi yang penuh gejolak sekarang ini,” ujarnya.

Dia juga mengkritik perlakuan terhadap juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta yang ditahan di ruang isolasi tanpa jendela di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

“Saya sudah menjenguk sendiri kemarin. Dia diisolasi dan dipisahkan dengan yang lain dan itu sangat tidak manusiawi. Petugas juga memperdengarkan lagu-lagu kebangsaan Indonesia untuk meneror Surya,” ujarnya.

Surya ditangkap pada akhir pekan lalu di Jakarta. Bersama lima aktivis Papua lainnya, dia ditetapkan sebagai tersangka pengibaran bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Suarbudaya mengaku organisasinya dan sejumlah lembaga sipil lain akan berjuang untuk membebaskan mereka yang ditangkap karena terlibat unjuk rasa.

“Mereka dituduh melakukan makar. Itu sangat berbahaya. Padahal mereka menyuarakan ketidakadilan yang dialami orang Papua,” katanya.

Suarbudaya juga siap memberikan bantuan hukum untuk Veronica Koman, seorang advokat yang aktif dalam isu Papua yang telah dijadikan tersangka oleh kepolisian Jawa Timur pada hari Rabu, 4 September 2019, atas tuduhan provokasi melalui cuitannya di twitter sehubungan dengan insiden mahasiswa Papua di Surabaya dan kerusuhan di Papua setelah itu.

Sementara itu, Polda Papua menambah lima orang tersangka baru dalam kasus kerusuhan di Jayapura, 29 Agustus 2019 lalu, karena membawa senjata tajam.

"Siapapun yang melakukan tindakan kriminal tetap kita akan tindak," ujar Kepala Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Kamal

Sebelumnya, Polri telah menetapkan 68 tersangka kerusuhan, yaitu 48 orang di Papua dan 20 lainnya di Papua Barat.

Buka blokir internet

Sementara itu, pemerintah sejak Rabu malam mulai menormalkan kembali jaringan internet di Papua dan Papua Barat, setelah diblokir sejak 21 Agustus lalu.

Menko Polhukam Wiranto menyatakan pencabutan pemblokiran internet dilakukan karena kondisi di dua provinsi itu telah kondusif.

“Tadi saya sudah mendapatkan laporan dari Kapolri, BIN, dan aparat keamanan di sana, bahwa keadaan sudah cukup kondusif. Maka pembatasan internet seperti janji saya kemarin ini dicabut,” katanya dalam jumpa pers di kantornya.

Wiranto menambahkan pemerintah tidak segan-segan memblokir kembali internet jika kerusuhan kembali terjadi.

“Apabila keadaan memburuk, mudah-mudahan tidak, maka pembatasan internet akan kami lakukan kembali,” ujarnya.

Sebelumnya Komisi HAM PBB sempat mengkritik pemerintah dalam pemblokiran internet itu.

"Penutupan internet secara menyeluruh di Papua berkemungkinan bertentangan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan membatasi komunikasi justru akan memperuncing ketegangan," kata Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi HAM PBB.

Tapi Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu membantah anggapan bahwa penormalan kembali internet di Papua akibat adanya tekanan dari Komisi HAM PBB.

“Tidak seperti itu, kita melakukan pemblokiran atas permintaan Kemenko Polhukam dan juga kita buka kembali karena permintaan Kemenko Polhukam yang mempertimbangkan kondisi keamanan di sana yang mulai kondusif,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.

Ahmad Syamsudin di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.