Koalisi Masyarakat Sipil Serukan Golput Bukan Pidana

Arie Firdaus
2019.01.23
Jakarta
golput-1000.jpg Tiga aktivis Koalisi Masyarakat Sipil saat jumpa pers di Jakarta, 23 Januari 2019.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Sejumlah lembaga swadaya kemasyarakatan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyerukan bahwa tidak memberikan suara dalam pemilihan umum atau disebut golput (golongan putih) bukan tindak pidana.

Mereka menyuarakan itu setelah menilai buruknya sistem politik di Indonesia, seperti mematok ambang batas pencalonan presiden yang tergolong tinggi hingga 20 persen dan melarang calon presiden independen, serta ketiadaan komitmen kedua calon presiden terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan pemberantasan korupsi.

"Sebagai pemilik suara, kami harus bilang bahwa ini tidak baik," kata seorang anggota koalisi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Afif Abdul Qoyim dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu, 23 Januari 2019.

"Ini bagian protes kami terhadap mekanisme penentuan capres dan cawapres oleh partai politik yang masih mempertimbangkan politik praktis dan mengesampingkan nilai-nilai seperti integritas atau rekam jejak yang bersih, antikorupsi, dan berpihak pada HAM."

Selain LBH Masyarakat, koalisi ini juga beranggotakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Lokataru, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).

Serupa pula pendapat Al Ghifari Aqsa dari PBHI yang menilai partai politik telah gagal menghasilkan calon presiden dan anggota legislatif yang baik karena harus mencukupi modal politik besar.

Partai dan kandidar presiden, menurutnya, sama-sama terjebak dalam politik identitas yang menggunakan simbol agama agar meraih kemenangan dalam pemilihan umum.

"Kita didorong untuk mencari lesser evil," kata Al Ghifari.

"Maka yang kami suarakan ini adalah murni karena kami ingin demokrasi yang substansial."

Imbauan golput

Seruan Koalisi Masyarakat Sipil ini berselang tak lama usai pernyataan pendukung calon presiden petahana Joko "Jokowi" Widodo yang mengkhawatirkan peningkatan jumlah golput akibat munculnya akun parodi politik kandidat presiden fiktif Nurhadi-Aldo.

Kubu Jokowi meyakini akun tersebut tengah mengampanyekan gerakan golput pada Pemilu 2019.

"Sayang banget bangsa ini kalau ada golput seperti itu," kata juru bicara tim kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga pada Minggu.

Beberapa bulan sebelumnya, imbauan golput juga menyeruak lewat media sosial oleh pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta yang dipenjara akibat kasus penistaan agama Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, setelah Jokowi memutuskan memilih Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden.

Ma'ruf dianggap pendukung Ahok sebagai pihak yang turut berandil dalam menggiring mantan pasangan Jokowi pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 tersebut ke balik terungku, lewat fatwa yang menyebutkan bahwa Ahok telah menistakan agama dan Al-Quran. Ma'ruf bahkan sempat bersaksi di persidangan Ahok.

Hingga membuat Ahok, yang menurut rencana akan bebas murni pada Kamis, menulis surat untuk pendukungnya dari dalam penjara yang meminta mereka agar tidak golput dalam Pemilu 2019.

Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah golput memang terus melambung sejak tumbangnya Soeharto pada 1998.

Saat pemilihan legislatif 2014, jumlah pemilih yang tak menggunakan haknya mencapai 24,89 persen. Jumlah lebih tinggi didapat saat pemilihan presiden periode sama yang mencapai 29,01 persen.

Tak jauh berbeda kala pemilihan legislatif 2009, tatkala jumlah golput mencapai 29,10 persen saat pemilihan legislatif. Dalam pemilihan presiden, golput tercatat sebanyak 28,30 persen.

Adapun dalam pemilihan terakhir di era Soeharto yakni pada 1997, angka golput hanya sebesar 6,4 persen.

Tak bisa dipidana

Menukil Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, seseorang tidak dilarang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau menjadi golput.

Namun seseorang dapat dipidana dan dipenjara selama tiga tahun jika menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi.

Saat ditanya mengenai kemungkinan anggota koalisi masyarakat sipil dijerat pidana karena dianggap menggerakkan orang lain untuk tidak memilih, Al Ghifari memberi jawaban.

"Tanpa ada janji materi, sekadar menggerakkan tidak bisa (pidana)," ujarnya.

"Yang dapat dipidana itu yang menggerakkan pada hari pemilihan dengan materi atau menghalangi orang lain untuk menggunakan hak pilihnya. Apa yang kami lakukan tidak membuat orang lain kehilangan haknya untuk membuat pilihan. Mereka masih bisa memutuskan untuk memilih atau tidak."

Koordinator Kontras, Yati Andriani berharap partai politik dapat mengambil pelajaran dari terus meningkatnya jumlah golput pada Pemilu.

"Gunakan momen ini sebagai ruang membangun kesadaran," kata Yati. "Bahwa golput adalah ekspresi politik kritis untuk maju. Tak perlu alergi."

Mengenai seruan golput yang disuarakan sejumlah pihak, Komisioner KPU Viryan Azis berharap masyarakat tidak terpengaruh dan tetap menggunakan hak pilihnya pada 17 April mendatang.

"Ini demi demokrasi dan bangsa kita," ujar Viryan, seraya menambahkan seseorang memang baru bisa dipidana jika menghalangi orang lain menggunakan hak pilih dengan iming-iming materi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.