Komnas HAM Telusuri Akar Intoleransi di Tolikara
2015.07.21
Tim investigasi Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan segera melakukan investigasi untuk mengetahui akar masalah insiden pembakaran Masjid Baitul Muttaqin di Tolikara, Papua hari Jumat lalu, yang menyebabkan satu orang tewas.
Komisioner Komnas HAM yang juga menjadi ketua tim investigasi, Natalius Pigai, mengatakan para anggota tim tersebut berasal dari berbagai suku, agama dan budaya untuk menjaga independensi dan netralitas investigasi.
Natalius mengambahkan bahwa investigasi Komnas HAM akan berfokus kepada tiga hal.
“Pertama, kami akan mencari kebenaran tentang pelaku pembakaran masjid, kios dan rumah penduduk. Juga tentang adanya surat edaran perihal larangan perayaan Lebaran dan pengenaan jilbab di Tolikara,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikmbo membantah telah mengeluarkan surat edaran tentang larangan tersebut.
“Kedua, tim akan menelusuri akar intoleransi di Tolikara. Ketiga, tim akan mencari pelaku penembakan oleh aparat, yang mengakibatkan puluhan warga cedera dan seorang lainnya meninggal dunia,” katanya mengkonfirmasi kepada BeritaBenar hari Selasa.
Rawan konflik menjelang pilkada
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendi Yusuf mengatakan bahwa siapapun pelaku kejadian beruntun pembakaran rumah ibadat di Tolikara, Yogyakarta dan Purwerejo mempunyai target untuk mengadu domba umat Islam dan Kristen.
“Bisa jadi kasus pembakaran masjid adalah sebagai tameng untuk kepentingan tertentu. Karena itu investigasi juga harus menelusuri situasi politik di daerah bukan hanya melihat kasus tentang pembakaran masjid saja,” terang Effendi.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Bambang Purwoko, dosen Program Magister Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM).
“Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] semakin dekat, situasi di beberapa daerah rawan konflik seperti Poso, Jawa Barat dan Papua akan semakin rawan,” kata Bambang kepada BeritaBenar hari Selasa, 21 Juli.
“Pihak-pihak tertentu akan menggunakan elemen sensitif konflik untuk kepentingan mereka,” lanjutnya.
Pilkada secara serempak di seluruh Indonesia akan berlangsung bulan Desember mendatang.
Bambang juga mengatakan bahwa kejadian di Tolikara hanyalah satu dari banyak kejadian beruntun tentang intoleransi di Indonesia.
Dia mengingatkan, masih banyak kasus intoleransi yang belum terselesaikan. Bambang menyebut kasus penyerangan terhadap warga Syiah di Sampang, penyegelan Gereja HKBP Filadelfia di Bekas serta pembangunan Masjid Nur Musafir di Kupang sebagai contoh.
“Ini tugas berat pemerintah,” tegas Bambang.
Dia menyebutkan bahwa daerah yang rawan konflik biasanya terjadi di wilayah yang mempunyai karakter politik identitas buruk, daerah yang ingin merdeka, serta daerah dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi.
“Karena itu pemerintah harus bisa menyelesaikan ini sebelum pilkada mendatang. Kalau tidak konflik serupa akan terus berlanjut di daerah dan akan menjadi ancaman besar bagi Indonesia,” tambahnya.
Papua menjadi prioritas presiden
Sementara itu Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno menegaskan, Papua merupakan daerah prioritas pemerintah.
“Papua sangat penting bagi pemerintah. Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin untuk memprioritaskan pembangunan di Papua,” kata Tedjo Edhy kepada BeritaBenar.
Sebagai contoh, Tedjo mengatakan bahwa selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang belum genap satu tahun, presiden telah beberapa kali mengunjungi Papua.
“Presiden bahkan telah membebaskan lima tahanan politik serta membuka kebebasan pers di Papua,” ujarnya.
Tedjo mengakui bahwa Papua memang masih rawan konflik.
“Kami ingin Papua stabil dan karena itu pemerintah akan terus mencari tersangka pelaku kasus Tolikara, sejauh ini 15 saksi masih dalam pemeriksaan,” tegas Tedjo.
Pada insiden di Hari Raya Idul Fitri itu, Masjid Baitul Muttaqin, 38 rumah dan 63 kios dibakar ketika umat Islam sedang menjalankan salat Id.