Indonesia Dapatkan Komitmen Investasi 133 Triliun Rupiah dari 4 Negara
2021.02.08
Jakarta
Pemerintah telah mendapatkan komitmen investasi asing senilai total A.S.$9,5 miliar dolar atau setara Rp133 triliun yang bakal ditempatkan di lembaga pengelola dana Indonesia Investment Authority (INA), demikian kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (8/2).
Airlangga menjelaskan Amerika Serikat melalui International Development Finance Corporation (DFC) berkomitmen menyuntik dana hingga $2 miliar dan Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar $4 miliar melalui INA, yang juga disebut Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia.
Komitmen secara informal juga disampaikan Belanda melalui APG-Netherlands sebesar $1,5 miliar dan Kanada melalui Caisse de dépôt et placement du Québec (CDPQ) dengan nilai $2 miliar, ujar Airlangga.
“Sejumlah investor telah mengirimkan letter of interest (LOI) dan komitmen, seperti A.S., JBIC, CPDQ Kanada, dan APG-Netherlands dengan akumulasi lebih dari $9,5 miliar,” kata Airlangga, dalam webinar Indonesia Economic Outlook 2021.
Selain dengan keempat negara tersebut, pemerintah juga tengah mengintensifkan pembicaraan dengan Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), Government of Singapore Investment Corporation (GIC) Private Limited dan Macquarie Group Limited dari Australia, kata Airlangga.
Kementerian Keuangan menyebut INA sebagai kendaraan finansial negara yang mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke beragam aset, utamanya pembangunan strategis, yang sudah tidak mampu lagi didanai oleh Badan Usaha Milik Negara.
Meski INA belum resmi beroperasi, Airlangga mengaku pihaknya telah menjalin banyak komunikasi dengan banyak investor.
“Perbaikan iklim investasi meningkatkan kepercayaan para investor yang berminat masuk melalui INA,” kata Airlangga.
Pemerintah menargetkan INA beroperasi pada kuartal pertama tahun ini, dengan dana yang bisa terjaring mencapai sebesar $20 miliar atau sekitar Rp280 triliun selama satu hingga dua tahun ke depan. Untuk menarik dana sebesar itu, SWF bakal menawarkan sejumlah aset dan proyek investasi dengan nilai berkisar U.S.$5 miliar sampai U.S.$6 miliar (Rp70-84 triliun).
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan saat ini aset dan proyek yang akan ditawarkan masih berada dalam tahap uji tuntas (due dilligence), penataan dan valuasi level aset. “Sebagian akan selesai tahun ini,” kata Arya, tanpa menyebut detail aset-aset yang dimaksud.
Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 terkontraksi hingga 2,19 persen, atau yang terburuk sejak 1998, akibat penurunan kinerja investasi yang signifikan sebagai imbas dari pemberlakuan pembatasan mobilitas selama pandemi COVID-19.
Pemerintah akan memastikan implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja demi menciptakan iklim investasi yang lebih baik bagi investor, demikian kata Airlangga, merujuk pada peraturan kontroversial yang juga dikenal dengan “Omnibus Law”. UU tersebut banyak menerima penolakan di kalangan aktivis buruh dan masyarakat karena dinilai mengorbankan hak-hak buruh dan lingkungan demi menarik investor.
Airlangga mengatakan saat ini pemerintah tengah mempercepat penyusunan 49 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan 5 Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja. “Semua regulasi itu diharapkan bisa menjadi pedoman implementasi UU Cipta Kerja bagi semua stakeholder,” kata Airlangga.
INA dibentuk melalui UU Cipta Kerja dan PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang lembaga pengelola investasi dengan dewan pengawas yang terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Erick Thohir dan tiga figur profesional.
Pemerintah masih belum mengumumkan siapa saja yang bakal menjadi direksi dari INA. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan jajaran direksi tersebut bakal diumumkan pada pekan ini.
"Saya harap minggu ini atau minggu depan kita bisa mengumumkan siapa BoD (Board of Directors/dewan direksi) yang akan urus kewenangan investasi di Indonesia," kata Luhut, pekan lalu.
Cina
Arya Sinulingga mengatakan pemerintah terus menjalin komunikasi dengan semua pihak yang tertarik berinvestasi dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia melalui INA, termasuk dari Cina.
“Semua negara potensial kita ajak bicara, SWF tidak membeda-bedakan negara. Jika ada yang memang bisa bekerja sama, maka semua terbuka,” kata Arya.
Investasi Cina di Indonesia tercatat meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sebut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada 2020, realisasi investasi Cina berada di posisi kedua dengan nilai $4,8 miliar setelah Singapura yang sebesar $9,8 miliar.
Pada peringatan 70 tahun hubungan bilateral Indonesia-Cina, tahun lalu, kedua pemimpin negara juga menyepakati peningkatan kerja sama di bidang investasi, perdagangan, hingga kesehatan.
Beijing menyatakan optimistisme bahwa kerja sama Indonesia dan Cina akan semakin bersinergi didukung dengan kehadiran megaproyek One Belt One Road (OBOR), termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, dan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Pada tahun lalu, Cina juga sempat menawarkan investasi untuk mendukung megaproyek pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur. Namun, pemerintah memutuskan untuk menunda proyek itu karena pandemi COVID-19.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), Muhammad Zulfikar Rakhmat, mengatakan Indonesia perlu mengantisipasi ketidakstabilan ekonomi dalam negeri dan meningkatnya utang melalui komitmen pendanaan proyek dari Cina.
Pasalnya, perjanjian antarkedua negara yang mendorong penggunaan mata uang Cina berpotensi mendatangkan risiko yang besar bagi Indonesia.
“Salah satu alasan mengapa kesepakatan tersebut dapat berakibat negatif pada kestabilan ekonomi Indonesia adalah karena Cina sering mendevaluasi mata uangnya,” tulis Zulfikar di The Conversation, November 2020.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebelumnya menegaskan bahwa INA dibentuk bukan untuk menumpuk utang.
“Logika SWF Indonesia adalah kita ingin mengundang foreign direct investment atau foreign fund saya sebutnya. Dana luar negeri yang masuk ke Indonesia bukan sebagai utang, namun sebagai equity,” katanya dalam sesi webinar, pekan lalu.
Bank Indonesia mencatat posisi utang luar negeri Indonesia per akhir November 2020 mencapai $416,6 miliar (setara Rp5.853 triliun) atau naik 3,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan rasio 39,1 persen dari produk domestik bruto.
Utang tersebut terdiri dari utang luar negeri sektor pemerintah dan bank sentral sebesar $206,5 miliar dan utang luar negeri sektor swasta, termasuk BUMN, sebesar $210,1 miliar, tulis situs resmi bank sentral.