Komitmen Perubahan Iklim Indonesia: Berbeda di Lapangan
2015.12.11
Jakarta

Indonesia hanya satu dari lebih 130 negara yang ambil bagian dalam keriuhan arena Konferensi Perubahan Iklim Dunia di Paris yang berlangsung dua pekan terakhir.
Namun peran Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan hayati, hutan, dan maritim terbesar di dunia, bisa jadi sangat menentukan masa depan perubahan iklim dunia.
Itulah mengapa pidato Presiden Joko Widodo di arena Leaders Event 30 November lalu ditunggu banyak kalangan, kata seorang pegiat asal Indonesia yang hadir di Paris, Teguh Surya.
"Sayangnya yang muncul adalah paparan yang lebih normatif ketimbang solutif. Banyak komitmen diterjemahkan dalam janji-janji bukan aksi," kata juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia ini ketika dihubungi BeritaBenar.
Termasuk dalam poin kunci janji pemerintah Indonesia tersebut adalah komitmen mengurangi emisi karbon sebanyak 29 persen untuk menghentikan kenaikan suhu bumi agar tak melebihi 2 derajat Celsius pada tahun 2030.
Presiden Jokowi dalam paparannya menyatakan penurunan emisi terutama dilakukan dengan implementasi kebijakan bidang energi dan kehutanan.
"Penurunan emisi dilakukan dengan mengambil langkah di bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, melalui penerapan one map policy, menetapkan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi yang lestari,” demikian bunyi pidato presiden.
Sementara di bidang energi, penurunan dilakukan dengan pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif.
Termasuk langkah kunci yang dijanjikan adalah meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional tahun 2025. Pemerintah juga mengatakan pengolahan sampah menjadi sumber energi akan menjadi salah satu kebijakan pokok.
Tak didukung kenyataan
Di Indonesia, komitmen-komitmen ini tak ditanggapi dengan antusias.
"Upaya ada, tetapi implikasinya miskin sekali," kata Harry Surjadi, wartawan lingkungan senior di Jakarta kepada BeritaBenar.
Sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Harry ada kemajuan yang diterjemahkan dalam pembentukan badan-badan yang fokus pada isu perubahan iklim.
Diantaranya adalah Dewan Nasional Perubahan Iklim, Yayasan Dana Abadi untuk Perubahan Iklim (Indonesia Climate Change Trust Fund - ICCTF), dan terakhir, Dirjen Perubahan Iklim dibawah kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Namun pemenuhan komitmen untuk mereduksi emisi karbon tetap sulit karena kebijakan lapangan yang bertolak belakang dari sikap lembaga-lembaga itu.
"Rencananya (penurunan emisi) kan dari alih fungsi lahan, tapi pemerintah tetap mengeluarkan izin konsesi. Kebakaran hutan menjadi pertanyaan - bukannya malah naik emisi?" gugat Harry.
Dalam hitungan sejumlah lembaga global termasuk World Resources Institute, pada 26 hari terparahnya kebakaran hutan lalu menyebabkan Indonesia mengeluarkan emisi karbon yang lebih besar dari seluruh AS yang ekonominya 20 kali lebih besar.
Untuk sektor kehutanan ini, pemerintah Indonesia menjanjikan pembentukan Badan Restorasi Ekosistem Gambut serta pengetatan aturan dalam pengelolaan lahan dan pemanfaatan hutan untuk produksi lestari.
Lagi-lagi, Harry menilai kebijakan ini tak cukup didukung oleh kenyataan di lapangan.
"Sampai sekarang saja banyaknya kepentingan menyebabkan tak ada peta tunggal kehutanan yang berlaku nasional di Indonesia. Masing-masing instansi punya peta sendiri yang berbeda-beda, mewadahi kepentingan berlainan pula. Bagaimana kebijakannya bisa mengikat semua pihak?"
Kebijakan energi juga masih jauh dari fokus energi hijau.
Kebutuhan energi Indonesia menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tumbuh tujuh persen per tahun, jauh diatas rata-rata dunia yang hanya 2,3 persen.
Pengolahan sampah menjadi energi masih banyak diaplikasikan dalam proyek percobaan, meski sebagaian kecil administrasi dearah - seperti kota Surabaya - mulai mengoperasikan alat pengubah sampah menjadi energi.
Kebutuhan energi nasional ini hingga kini dijawab dengan proyek ambisius pembangkit listrik 35.000 mega watt yang bersumber terutama dari batubara, yang sangat boros emisi karbon.
Posisi tak jelas
Kantor Berita Antara mengutip juru runding utama Indonesia untuk COP21, Rachmat Witoelar, yang menyebut target suhu bumi sebagai salah satu poin perdebatan panas dalam Forum di Paris.
"Sebenarnya mengarah pada angka dua derajat Celcius tapi berupaya keras untuk menurunkan lagi di bawahnya, ini jalan tengah, karena sulit menetapkan 1,5 derajat Celcius," kata Rachmat.
Namun posisi Indonesia menurut Teguh Surya juga tak jelas di ruang negosiasi.
Dihubungi dari Paris, ia mengatakan Indonesia memuat target pengurangan suhu bumi antara 1,5 hingga 2 derajat celsius.
"Bahkan Cina saja berani ambil posisi 1,5 derajat. Apakah kita ini negara industri, negara berkembang yang rawan terhadap dampak perubahan iklim, atau apa?" tanya Teguh.
Target 2 celsius menurutnya mengesankan Indonesia segan mengambil langkah drastis terkait pemenuhan komitmen perubahan iklimnya sendiri.
Hal ini menurutnya patut disayangkan setelah pusat perhatian dunia tertuju pada Indonesia akibat bencana kabut asap hingga bulan lalu.
"Mulai muncul sekarang perusahaan yang berkomitmen nol-deforestasi. Pemerintah mestinya mengambil ini sebagai kesempatan untuk merangkul mereka dan menciptakan regulasi mendukung. Bukan mengalah pada argumen ekonomi terus-menerus," tambahnya.