Komnas HAM selidiki kasus konflik lahan yang tewaskan satu warga
2023.10.09
Jakarta
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Senin (9/10) mengatakan pihaknya akan menyelidiki bentrokan yang menewaskan seorang warga antara polisi dan penduduk desa yang memprotes perusahaan sawit di Kalimantan Tengah akibat gagal mengalokasikan tanah kepada masyarakat setempat seperti yang dijanjikan dalam kesepakatan bersama.
Dalam bentrok yang terjadi pada hari Sabtu itu, seorang warga Desa Bangkal tewas dan dua lainnya terluka diduga terkena peluru meskipun polisi membantah menggunakan peluru tajam. Sementara itu 20 pendemo ditahan, demikian menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebuah LSM perlindungan tanah masyarakat.
Protes seperti itu kerap terjadi di mana warga lokal menuduh perusahaan sawit mengingkari janji mereka, demikian kata aktivis.
“Kami akan melakukan penyelidikan atas insiden kekerasan yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah,” ujar Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro kepada BenarNews, Senin.
Selain itu Komnas HAM juga akan meminta Kapolda Kalimantan Tengah untuk mengambil tindakan hukum terhadap oknum anggota polisi atau pihak-pihak lain yang melakukan kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia dan luka berat.
Warga di Desa Bangkal mengatakan PT. Hamparan Masawit Bangun Persada I (HMBP I) telah gagal memenuhi janji mengalokasikan tanah kepada masyarakat sebagai bagian dari kesepakatan bersama, demikian menurut KPA. PT. HMBP I adalah bagian dari Best Group Agro International, milik keluarga konglomerat sawit Rendra and Winarno Tjajadi.
“Kami mendesak pihak berwenang untuk membebaskan warga desa yang ditahan, menarik aparat keamanan dari wilayah konflik, menyelidiki pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan dan aparat keamanan, mencabut izin penggunaan lahan perusahaan dan melaksanakan reformasi agraria bagi warga desa,” demikian tuntutan Dewi Kartika, sekretaris jenderal KPA dalam sebuah pernyataan.
KPA mengatakan perusahaan tersebut, dan perusahaan saudaranya PT. HMBP II memiliki sejarah konflik agraria dengan warga desa di Seruyan dan kabupaten tetangga Kotawaringin Timur.
Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah menyatakan sedang menyelidiki kejadian tersebut.
“Kita sedang melakukan investigasi tim dari Propam (Profesi dan Pengamanan), tim Itwasum (Inspektorat Pengawasan Umum) sedang melakukan investigasi. Nanti tunggu hasilnya nanti kita sampaikan,” ucap Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah Kombes Erlan Munaji kepada wartawan, Senin seperti dikutip WartaBanjar.
Dia menegaskan petugas di lapangan hanya dilengkapi gas air mata, peluru hampa dan peluru karet. “Mereka tidak menggunakan senjata api tajam,” ujar Erlan, menambahkan bahwa jika terbukti ada penggunaan senjata tajam maka pihaknya akan menindak tegas pelaku.
Kerap terjadi
Konflik pertanahan kerap terjadi di Tanah Air, dimana jutaan orang bergantung pada pertanian untuk penghidupan mereka. Minyak sawit merupakan salah satu ekspor utama Indonesia dan sumber pendapatan bagi banyak masyarakat pedesaan. Namun hal ini juga merupakan penyebab deforestasi dan degradasi lingkungan disamping konflik lahan.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah berjanji untuk menyelesaikan sengketa lahan dan melindungi lahan gambut sebagai bagian dari upayanya memerangi perubahan iklim.
Namun Jokowi juga telah mengesahkan undang-undang “omnibus” kontroversial yang bertujuan untuk menyederhanakan peraturan dan menarik investasi. Kritikus mengatakan undang-undang tersebut tidak mengindahkan hak-hak buruh dan perlindungan lingkungan.
KPA menyebutkan 69 orang tewas dalam konflik pertanahan sejak Jokowi berkuasa pada 2014.
Abetnego Tarigan, wakil kepala Kantor Staf Presiden, tidak menanggapi panggilan telepon atau pesan teks dari BenarNews.
Warga desa di Kalimantan Tengah berusaha untuk menegakkan perjanjian tahun 2013 dengan perusahaan yang akan memberikan setiap rumah tangga dua hektar lahan, kata para aktivis. Mereka juga menuntut pengelolaan 443 dari 1.175 hektar lahan yang dikuasai perusahaan.
Namunwarg amengatakan bahwa perusahaan tidak pernah menghormati perjanjian tersebut.
Ketegangan meningkat bulan lalu ketika penduduk desa berunjuk rasa di dekat perkebunan perusahaan dan memblokir jalan, sehingga polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan mereka, kata Dewi dari KPA.
Pekan lalu, perusahaan menolak tuntutan warga desa dalam pertemuan yang dihadiri perwakilan pemerintah dan masyarakat setempat, kata Dewi.
Perselisihan mengenai hak atas tanah antara perusahaan perkebunan dan masyarakat lokal merupakan penyebab paling umum dari perselisihan agraria di Indonesia, yang mencakup 37 persen dari 1.023 konflik yang tercatat tahun lalu, kata KPA.
Insiden di Seruyan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, menurut Dimas Bagus Arya Saputra, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebuah kelompok perlindungan HAM.
"Polisi semestinya dapat melakukan pencegahan penggunaan senjata mematikan," kata Dimas kepada BenarNews, seraya merujuk Peraturan Kapolri nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
"Tidak ada efek jera yang kemudian dapat mengubah pendekatan kepolisian," ujar Dimas yang menginginkan adanya reformasi dalam tubuh Polri, sembari menyebut insiden di Seruyan tak dapat dipisahkan dari keberadaan Omnibus Law yang disebutnya menjadi pintu masuk konflik agraria dan lingkungan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengecam penggunaan kekerasan yang terjadi antara aparat negara dengan warga sipil terkait konflik agraria.
“Adili dan hukum aparat-aparat yang terlibat dalam pengerahan kekuatan berlebihan terhadap warga di Seruyan hingga memakan korban jiwa dan luka-luka. Terutama aparat yang memberi perintah “bidik di bagian kepalanya” yang jelas diarahkan kepada penduduk sipil.
“Kami juga mendorong semua pihak yang terlibat dalam konflik-konflik agraria, seperti yang terjadi di Seruyan, untuk mempertimbangkan kembali pendekatan mereka dan mencari solusi yang berkeadilan dan tidak merugikan masyarakat setempat. Selain di Seruyan, juga muncul konflik-konflik serupa di Pulau Rempang Batam, Nagari Air Bangis, Wadas, dan lain-lain.”
Hal yang sama digemakan oleh Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur menilai peristiwa ini menunjukkan peran polisi sebagai pengaman oligarki dan bukan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat karena pembubaran dilakukan dengan menggunakan gas air mata dan peluru tajam.
“YLBHI menilai aparat Polisi tidak mau belajar dari kesalahan terkait praktik brutalitas dan represif dalam merespons aksi massa dengan penggunaan kekuatan berlebihan.”
“Segera lakukan penangkapan dan proses penegakan hukum dan etik terhadap pihak aparat kepolisian yang terlibat dan membebaskan 20 warga lokal yang ditangkap paksa,” kata dia.