Isis Memanfaatkan "Kekosongan Intelektual" Pada Orang Muda: Ulama Yordania
2015.03.26
Diperbaharui pada jam 6:30 pm ET pada tanggal 23-03-2015
Radikalisme dan pemikiran militan memungkin ideologi gerakan Negara Islam (baca ISIS) untuk berkembang dan para pembicara yang hadir dalam konferensi internasional tentang terorisme dan ISIS di Jakarta setuju bahwa kontra narasi adalah cara utama untuk menangkisnya, diikuti oleh pendekatan keamanan.
Ulama dari Jordania, Syekh Ali ibnu Hasan al-Halabi, mengatakan bahwa gerakan ISIS memanfaatkan kekosongan intelektual di kalangan pemuda dan ketidakpahaman mereka akan nilai-nilai agama.
“Tugas besar kita – bukan tugas Indonesia semata – adalah mengisi kekosongan ini dengan pemikiran-pemikiran positif. Ini adalah kewajiban semua; keluarga, sekolah dan pemerintah,” ujar Syekh Ali dalam konferensi internasional tentang terorisme dan ISIS di Jakarta tanggal 23 Maret dan berlangsung setengah hari.
Dia menekankan kembali bahwa kaum muda yang pemikirannya terbunuh dan terisi oleh pandangan ekstrimis atas nama agama akan sangat membahayakan.
“Membunuh akal adalah lebih buruk dari membunuh fisik. Pikiran yang diracuni dapat menimbulkan bahaya lebih besar yang bisa diwariskan ke generasi muda,” ujar Ali.
Dalam pidato pembukaannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa “surga dijual secara murah” karena pemimpin-pemimpin teroris membujuk orang untuk bergabung dengan mereka dan membunuh orang yang tidak sejalan dengan paham ISIS dengan iming-iming akan masuk surga.
“Islam mengajarkan kita bahwa menebang pohon adalah haram.. Pikiran [ekstremis] itu harus dirubah dengan pikiran dan ideologi yang benar,” ujar Kalla.
Organisasi masyarakat Muslim moderat terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, menolak seruan berdirinya khilafah Islam. Abdul Mu’thi, sekretaris jendral pengurus pusat Muhammadiyah, mengatakan ide tersebut tidak sesuai lagi dengan sejarah peradaban Islam.
Abdul menambahkan bahwa pendirian khilafah juga bertentangan dengan Muhammadiyah dan ide-ide kebangsaan.
“Ide ini harus dilawan dengan pendekatan keamanan sosial dan tidak hanya dengan pendekatan keamanan militer,” ujar Abdul.
Salah satu alasan mengapa banyak anak muda dari berbagai negara di dunia menjadi radikal dan bergabung dengan ISIS serta percaya bahwa mereka adalah menyebarkan propagandanya dengan menggunakan media sosial secara masif.
“Satu faktor utama – mungkin faktor yang paling penting – kesuksesan Negara Islam dalam menarik dan merekrut pengikut dari seluruh dunia adalah menggunakan media sosial, terutama Twitter, dengan inovatif,” ujar Angel M. Rabasa, pakar politik senior RAND Corporation yang berbasis di Amerika.
Menyadari potensi penyebaran ajaran radikal secara daring, pemerintah Indonesia telah menyetujui pendirian badan siber nasional yang bertugas untuk mendeteksi dan mencegah potensi ancaman daring akan keamana nasional, termasuk rekruitmen tentara ISIS dari Indonesia melalui internet.
Ide pendirian lembaga tersebut menjadi perbincangan di komunitas teknologi informasi Indonesia akhir-akhir ini, sejalan dengan semakin rentannya infrastruktur dan berbagai lembaga di Indonesia dalam menghadapi serangan siber.
Ketika ide tersebut dimunculkan kembali, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan menyambutnya dengan baik karena keberadaan lembaga itu akan memerlukan kerjasama yang terkoordinasi antar berbagai lembaga pemerintah yang terkait.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopulhukam) Tedjo Edhy Purdijanto mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui ide tersebut.
“Lembaga ini akan memberikan masukan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) untuk segera tahu bagaimana caranya bisa menghapus situs yang berhubungan dengan ISIS,” ujar Tedjo Edhy kepada media di sela-sela konferensi tersebut.
Pakar terorisme dari Universitas Teknologi Nanyang di Singapura, Rohan Gunaratna, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus mempunyai kemauan politik yang kuat untuk menurunkan situs-situs tersebut.
“Di Asia Tenggara, ada 300 situs tentang ekstrimisme dan terorisme, 200 diantaranya berada di Indonesia,” ujar Rohan.
Walaupun ISIS terlihat sukses dalam menyebarkan propagandanya dan narasi-narasi ekstrimisnya, Rabasa dari RAND Corporation mengatakan bahwa untuk memberangkatkan tentara relawan ISIS dari negara asalnya ke wilayah yang diakui sebagai ISIS di Suriah tetap memerlukan adanya jaringan individu dan fasilitator.
“Ini menjadi misi penting dari badan intelijen dan keamanan untuk memecah jaringan-jaringan tersebut,” ujar Angel.
Namun pendekatan keamanan yang menggunakan untuk menghalangi terorisme tetap menuai kritik karena dianggap tidak berhasil dan mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai menyadari kritikan tersebut.
“Kita sudah melakukan pendekatan lunak selama puluhan tahun, namun gagal terus. Bila tidak berhasil, kita harus menangkapnya. Saat menggunakan pendekatan lunak, kita memakai ayat [Al Qur’an] dan hadist yang sama, tapi penafsirannya berbeda. Jadi, jangan mendikotomi pendekatan lunak atau keras, keduanya harus berjalan bersama,” ujar Ansyaad.