Konflik Marawi Timbulkan Risiko Baru di Asia Tenggara

Ancaman terorisme bisa meningkat di wilayah ini jauh setelah konflik di Marawi berakhir.
John Bechtel
2017.07.21
Washington
170721-PH-IPAC-620.jpg Militan-militan yang dicurigai terkait dengan ISIS dibawa dalam sebuah mobil polisi setelah tertangkap di suatu desa di Kota Marawi, Filipina selatan, 3 Juni, 2017.
AFP

Diperbarui pada Sabtu, 22 Juli 2017, 01:46 WIB.

Negara-negara di Asia Tenggara menghadapi ancaman terorisme yang lebih besar setelah militer Filipina akhirnya dapat merebut kembali kota Marawi di Mindanao dari aliansi militan-militan yang mempunyai hubungan dengan kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Hal ini dikatakan oleh lembaga kajian Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC) yang berbasis di Jakarta dalam laporannya yang diterbitkan Jumat, 21 Juli 2017.

Laporan IPAC menyebutkan bahwa kemampuan para militan tersebut untuk dapat menguasai sebagian wilayah Marawi dan menghalau serangan gencar dari pemerintah selama dua bulan terakhir akan membawa dampak regional “jauh sesudah militer Filipina berhasil merebut kembali kota tersebut.”

“Resikonya tidak berhenti ketika militer menyatakan menang,” ujar direktur IPAC Sidney Jones dalam laporannya, “Indonesia dan Malaysia akan menghadapi ancaman baru dalam bentuk kembalinya mereka yang ikut bertempur di Mindanao, dan Filipina akan menjadi lokasi dimana sejumlah sel-sel yang terurai lebih kecil dengan kapasitas untuk kekerasan dan indoktrinasi."

Efek yang timbul pasca Marawi dapat membawa risiko serangan kekerasan yang lebih tinggi di kota-kota di Filipina dan juga di Indonesia dan Malaysia. Ada juga kemungkinan kerjasama yang lebih besar di kalangan ekstrimis Asia Tenggara dan munculnya pemimpin-pemimpin baru di sel-sel pro-ISIS di Indonesia dan Malaysia di antara veteran perang yang kembali dari Marawi, kata laporan IPAC tersebut.

Operasi yang didukung ISIS di kota di bagian selatan Filipina tersebut “mendapat bantuan dana langsung” dari pusat ISIS di Timur Tengah dan menunjukkan adanya garis komando yang berasal dari Suriah ke Filipina dan di luar Filipina,” menurut laporan sebanyak 25 halaman yang berjudul “Marawi, ‘Wilayah Asia Timur’ dan Indonesia.”

Laporan itu membandingkan foto-foto yang terpampang di media sosial setelah konflik di Marawi dimulai pada 23 Mei, yang menunjukkan para kombatan perang tersenyum sambil memegang senjata mereka dan foto-foto yang diambil pada saat kemenangan di Mosul, Irak di 2014.

“Foto-foto itu menimbulkan rasa kebersamaan atas kemenangan yang diraih dan memperkuat keinginan pada pendukung ISIS di wilayah ini untuk bergabung dalam pertempuran tersebut,” tulis IPAC dalam salah satu kesimpulan di laporannya, dengan merujuk ISIS dengan akronim IS (Islamic State).

Peran-peran utama untuk kombatan asing

IPAC juga menganalisis peran orang asing yang terkait ISIS dalam persiapan pertempuran di Marawi. Laporan itu secara spesifik mengidentifikasi seorang profesor asal Malaysia, Mahmud bin Ahmad, sebagai salah satu warga asing yang mempunyai peran penting dalam membantu para militan di Marawi.

Perannya tidak hanya sekedar membantu kedatangan warga-warga negara asing ke Mindanao, tapi dia juga bertanggungjawab atas uang sejumlah ribuan dollar yang disalurkan melalui ISIS untuk membeli sejumlah senjata.

Laporan itu secara detil menyebutkan bahwa pada Januari 2017, Mahmud mengatur pengiriman uang sejumlah US $10.000 (Rp133,2 juta) dalam sebuah akun Telegram. Uang tersebut dikirim melalui Western Union ke penerima-penerima terpercaya yang ada di Filipina. Pada Februari dan Maret, Mahmud juga mengatur transfer uang yang sama sejumlah $25.000 (Rp333 juta) dan $20.000 (Rp266,5 juta) dari sumber-sumber di Suriah ke beberapa penerima di Filipina.

Mahmud berada di Marawi selama konflik namun menurut pejabat kontra-terorisme Malaysia, dia mungkin sudah kabur ke Indonesia atau semenanjung Malaysia dari Marawi setelah ada laporan bulan lalu bahwa ada kemungkinan dia telah tewas dalam pertempuran di sana.

“Kami meyakini Mahmud tidak berada di Marawi karena perannya lebih sebagai perencana dan administrator,” ujar seorang pejabat intelijen di negara bagian Sabah kepada BeritaBenar, Jumat.

“Pada awal-awal pertempuran, dia memang ada di Marawi. Tapi sekarang, dia dan Isnilon sudah kabur dan Mahmud diyakini bersama ISIS di Basilan,” ujar pejabat tersebut yang tidak bersedia disebutkan namanya, sambil merujuk pada Isnilon Hapilon, seorang pimpinan kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina selatan yang juga dikenal sebagai pimpina ISIS cabang Filipina.

Kombatan asal Indonesia

IPAC memperkirakan ada 20 warga negara Indonesia yang telah bergabung dengan kombatan asing lain di Marawi dan sejumlah masalah yang mungkin timbul karenanya.

Masalah-masalah tersebut antara lain “kembalinya beberapa orang yang berpotensi untuk mengorganisir, menyatukan, dan memimpin sel-sel pro-ISIS yang ada”; adanya semangat bersama di antara kelompok militan di Filipina, Malaysia, dan Indonesia untuk mengadakan operasi bersama di Indonesia dan orang-orang Indonesia yang kemungkinan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan di negara-negara tetangga.

Laporan itu juga menyebutkan potensi risiko bahwa militan-militan akan mendirikan “lokasi pelatihan regional yang baru di Mindanao yang dapat menarik rekrutmen-rekrutmen baru dari Indonesia dan Malaysia dan bahkan lebih jauh lagi.”

Polisi di Indonesia terus mewaspadai kembalinya sejumlah militan dari pertempuran di Marawi, ujar juru bicara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam responnya terhadap laporan IPAC.

“Kami kerja sama dengan pihak imigrasi untuk memeriksa bila ada yang datang masuk dari Marawi dan kita akan memantau mereka dan akan ada penilaian. Tapi secara hukum kami tidak bisa lakukan apa-apa,” ujar juru bicara Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto kepada BeritaBenar, Jumat.

Polisi juga sudah memperkuat kehadirannya di Sulawesi Utara dan wilayah kepulauan di perairan utara Indonesia yang berbatasan dengan kawasan selatan Filipina, untuk mencegah militan dari Marawi masuk ke wilayah Indonesia melalui laut, ujar Setyo.

Ikatan disfungsional

IPAC menyebutkan beberapa kesimpulan dalam laporannya bahwa Indonesia, Malaysia, dan Filipina – tiga negara di garis depan dalam perang melawan ISIS ini – perlu untuk menyadari bahwa mereka mempunyai masalah yang sama dan fokus untuk kerjasama yang lebih besar, sambil memperbaiki disfungsionalitas dalam kerja sama keamanan bilateral dan multilateral mereka.

“Hal ini termasuk adanya ketidakpercayaan yang mendalam antara Filipina dan Malaysia yang menghambat terjadinya saling berbagi informasi; kekhawatiran polisi Indonesia dan Malaysia akan konflik loyalitas sejawat mereka di Mindanao, terutama terkait ikatan keluarga dan klan; dan perpecahan institusional dimana Indonesia dan Malaysia menempatkan polisi dan Filipina menempatkan militer, sebagai pucuk pimpinan dalam kontra-terorisme,” ujar laporan tersebut.

Ismira Lutfia Tisnadibrata di Jakarta dan Colin Forsythe di Kota Kinabalu, Malaysia, ikut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.