Denyut Damai di Negeri Pelauw
2017.09.21
Pelauw, Maluku
Konflik di Negeri Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, 2012 lalu, masih menyisakan pilu. Konflik yang dipicu oleh masalah adat itu, tidak hanya memakan korban jiwa dan bangunan, namun juga tidak digelarnya lagi berbagai tradisi yang pernah menjadi kebanggaan desa dengan penduduk penganut Islam tersebut.
Kini, narasi damai mulai dibangun, karena hakikatnya dua kelompok warga yang bertikai terikat tali persaudaraan yang hanya bisa dipisah oleh kematian.
Negeri Pelauw terletak di pantai utara Pulau Haruku, sekaligus menjadi ibukota Kecamatan Haruku. Pelauw mengikuti garis pantai, menghadap utara berhadapan dengan Pulau Seram.
Ketika BeritaBenar mengunjungi desa itu, pekan lalu, suasana sudah kondisif. Namun, dampak konflik masih terasa. Rumah terbakar, menyisakan dinding berdiri dan puluhan tersisa pondasi yang sudah ditumbuhi rerumputan akibat kerusuhan, 10 Februari 2012.
Sejarah konflik
Konflik Pelauw akibat perbedaan ideologi. Masyarakat terbelah dua kelompok, yakni modernis dan mereka yang mempertahankan adat istiadat.
Kelompok modernis atau dinamakan “orang Muka” lebih bersifat praktis dan ikut perkembangan baru. Sedangkan, kelompok kedua mengedepankan nilai tradisi saat melakukan kegiatan, dan dinamakan "orang Belakang".
Dua kelompok berbeda dalam penentuan 1 Muharam atau Tahun Baru Islam. Orang Belakang menggunakan sistem hisab (perhitungan). Hari raya kelompok ini biasanya 3-4 hari setelah hari raya umum. Orang Muka mengikuti penetapan dari pemerintah.
Perbedaan ini dimulai saat penetapan 1 Muharam 1404 Hijriah atau tahun 1983 Masehi. Orang Muka yang pro raja kala itu Abdul Basri Latuconsina berkeras ikut penetapan pada umumnya, sementara orang Belakang tetap mempertahankan hisab versi adat.
“Penentuan 1 Muharam, kami punya cara sendiri yang melebur dalam adat. Kami pakai hisab. Kalau penetapannya salah, maka salah,” tutur Jalal Salampessy, ketua forum komunikasi masyarakat pengungsi Pelauw, 9 September 2017.
Tahun 2004, perbedaan itu memantik bentrokan antara kedua kubu. Puluhan rumah rusak, tapi bisa diselesaikan tokoh-tokoh Pelauw. Namun itu hanya meredam permasalahan di permukaan.
Pada 2011, perbedaan mengemuka lagi. Bentrok fisik terjadi, puluhan rumah dibongkar, korban berjatuhan dan warga mengungsi. Penyebabnya, perbedaan pemakaian atap rumah adat Soa Salampessy.
Orang Muka meminta atap rumah adat diganti seng, tapi keinginan itu ditolak orang Belakang yang berpendapat atap lebih baik terbuat dari rumbia.
Februari 2012, konflik meletus lagi. Ini ialah konflik terbesar dari sebelumnya yang menewaskan enam orang, 402 rumah rusak dan 1.171 jiwa dari 281 kepala keluarga mengungsi ke desa-desa tetangga hingga Kota Ambon.
Konflik tak hanya menghancurkan rumah, tapi juga meruntuhkan praktik adat. Salah satunya, Cakalele (Ma’tenu) yang digelar empat tahun sekali. Tradisi uji coba kekebalan tubuh terhadap segala jenis senjata tajam sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, untuk menggambarkan heroiknya perjuangan masyarakat Pelauw melawan penjajah.
Peserta Ma’atenu terdiri dari beberapa Soa, atau aliran keturunan, yang berasal dari tiga soa induk. Tetapi, soa-soa kini terpisah. Sebagian mengungsi, lainnya menetap di Pelauw. Sejak itu, tradisi Ma’atenu tak lagi digelar.
Ida Latupono bersama anaknya duduk di depan rumah petak di Air Besar, Kota Ambon, Maluku, 15 September 2017. (Tajudin Buano/BeritaBenar)
Nasib tak menentu
Sudah lebih dari lima tahun konflik berlalu, namun nasib korban dari dua kelompok bertikai masih tak menentu. Sebagian korban menumpang di rumah warga, ada pula yang tersebar di desa-desa tetangga dan Ambon.
“Sebagian pengungsi masih tinggal di pasar, sekolah dan rumah keluarga. Di Ambon juga ada. Korban kedua pihak,” jelas Sekretaris Desa Pelauw yang juga orang Muka, Jafar Latuconsina, kepada BeritaBenar.
Desa Rohomoni di Maluku Tengah adalah lokasi yang menampung pengungsi terbanyak. Beberapa bulan setelah konflik, ada 1.126 warga Pelauw yang mengungsi di situ.
Pengungsi di Rohomoni ini tinggal di rumah yang terbuat dari gaba-gaba (pelepah kering pohon sagu) dengan atap rumbia. Mereka tidak punya mata pencaharian dan sumber ekonomi. Harta berupa kelapa, pala, dan cengkeh mereka ada di Pelauw.
Kondisi ini membuat sebagian besar warga eksodus ke beberapa wilayah di Ambon, seperti Air Besar, Kate, dan Waiheru. Sedangkan, pengungsi yang tersisa di Pelauw sekitar 200 lebih jiwa.
“Saya punya kakak-kakak di Pelauw. Ini konflik keluarga. Sampai kami sudah mau jadi nenek, belum pulang ke Pelauw,” tutur Ida Latupono – yang tinggal di Air Besar, Kota Ambon, kepada BeritaBenar, 15 September 2017.
Pengungsi lain, Roy Lokaky, terpaksa jadi buruh pelabuhan untuk menghidupi keluarga kecilnya.
“Mau bagaimana lagi. Ini sudah menjadi risiko,” katanya.
Pemerintah sejauh ini baru memberikan bantuan ganti rugi bagi warga yang rumahnya terbakar senilai Rp23 juta dari total bantuan yang harus diterima sebesar Rp59 juta.
Dua bocah bermain di depan rumah yang dibangun dari pelepah sagu dan daun rumbia di Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah. 14 September 2017. (Tajudin Buano/BeritaBenar)
Upaya perdamaian
Meski keluarga, anak, saudara, dan orang tua hidup berpisah, relasi sosial antara mereka sudah mencair. Jika ada pengungsi di Rohomoni yang meninggal dunia, keluarga di Pelauw yang orang Muka tetap melayat.
Roy menuturkan, orangtuanya tak mampu menahan tangis suatu saat meneleponnya. Saudara-saudara kandung Roy juga merasakan hal yang sama.
Setiap tahun, Roy didatangi saudara-saudaranya di Rohomoni, terutama saat malam Nuzul Qur’an pada 17 Ramadan.
“Saat Nuzulul Qur’an bulan puasa lalu, kakak saya, anak dan istrinya bertemu saya. Kami semua menangis,” tutur Roy kepada BeritaBenar.
Roy adalah satu-satunya anggota keluarga itu yang masih berpegang pada nilai-nilai adat dan leluhur dalam penetapan hari-hari besar Islam. Kini, ia dan istri tinggal di Air Besar Kelurahan Amantelu.
Meski begitu, Roy punya keinginan kuat untuk tinggal bersama keluarganya dan warga Pelauw.
Rasa ingin berdamai dilatari ikatan persaudaraan antar warga, yang dinamakan Maningkamu.
“Maningkamu bisa menembus batas-batas konflik dan dendam. Jadi biar kita dendam, tapi jika sampai pada Maningkamu, kita semua satu dan hanya bisa diputus oleh kematian,” jelas Jalal, seorang tokoh kelompok orang Muka.
Upaya damai dilakukan pemuda Pelauw dari dua kelompok. Sejak beberapa waktu lalu, mereka menggelar diskusi terbatas, untuk membahas rekonsiliasi demi terwujudnya perdamaian abadi di Pelauw.
“Kami diskusi dari hati ke hati. Kami coba melepas simbol “orang Belakang” dan “orang Muka”. Kami bicara dalam satu kata, simbol Maningkamu,” ungkap anggota Angkatan Muda Hatuhaha Waelapa, Made Salampessy.