KontraS: 35 Orang Divonis Mati dalam Sembilan Bulan
2016.10.10
Jakarta

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menyebutkan bahwa dalam sembilan bulan terakhir telah terjadi sedikitnya 35 vonis hukuman mati, yang dijatuhkan pengadilan di Indonesia.
Dari jumlah itu, 25 di antaranya adalah mereka yang terkait kasus narkotika, kata Kepala Devisi Advokasi Hak Sipil dan Publik KontraS, Putri Kanesia, saat memperingati 14 tahun Hari Anti Hukuman Mati Sedunia di Jakarta, Sabtu, 8 Oktober 2016.
Sedangkan sisanya, tambah Putri, merupakan mereka yang terjerat kasus pembunuhan dan kejahatan seksual.
“Dalam kasus narkotika, tidak serta merta hukuman mati membuat peredaran narkoba berkurang. Bisnis narkoba ilegal dan tidak terukur. Jadi jangan sampai nanti orang yang tidak bersalah tapi dieksekusi,” ujarnya.
Menurutnya, hukuman mati yang masih dilaksanakan di Indonesia dengan alasan untuk memberi efek jera, terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan karena peredaran narkoba masih tetap marak terjadi.
Menurut hasil kajian Badan Nasional Narkotika (BNN) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba secara nasional tahun 2014 mencapai sekitar 4 juta jiwa.
Dalam enam bulan pertama tahun ini, BNN di seluruh Indonesia telah menangkap 100 tersangka dari 42 kasus narkotika, dengan barang bukti yang disita mencapai lebih dari satu ton sabu-sabu, 600 ribu butir ekstasi, dan 40 kilogram ganja.
Hasil kajian itu juga menunjukkan bahwa kerugian akibat narkoba mencapai Rp. 63,1 triliun yang terdiri dari Rp56,1 triliun kerugian biaya pribadi dan Rp6,9 triliun kerugian biaya sosial, pada 2014 atau naik dua kali lipat dibanding tahun 2008.
“Sangat mengkhawatirkan, apalagi kalau perintah UU tak dilaksanakan dan membiarkan penyalahgunaan narkoba. Bukan tidak mungkin kejahatan ikutan akan meningkat akibat penyalahgunaan narkotika,” ujar juru bicara BNN, Slamet Pribadi kepada BeritaBenar, 27 Juni lalu.
Tidak transparan
KontraS juga menilai Kejaksaan Agung tidak transparan dalam memberi informasi dalam pelaksanaan hukuman mati, terutama saat eksekusi terakhir dilakukan pada Juli lalu.
“Ada sejumlah pelanggaran seperti hak atas informasi minim dan terbatas, tidak ada surat yang diterima keluarga, akses keluarga bertemu terpidana dibatasi dan kondisi sel yang tidak layak,” ujar Putri.
Seperti diketahui bahwa Kejaksaan Agung mengeksekusi empat terpidana mati pada 29 Juli lalu dari yang direncanakan 14 orang. Sebanyak 10 terpidana mati tak jadi dieksekusi beberapa menit sebelum dihadapkan ke hadapan regu tembak.
Jaksa Agung, HM Prasetyo, yang dihubungi BeritaBenar beberapa kali untuk konfirmasi terkait pernyataan Kontras tidak mengangkat telepon.
Tetapi, dikutip dari kompas.com, dia menyatakan penerapan hukuman mati merupakan hal tidak mudah dilakukan, karena eksekusi dilakukan setelah melalui proses panjang dengan penuh pertimbangan dan melalui segala upaya hukum.
“Tidak ada kaitan dengan politik, memang tidak mudah bagi semua pihak, namun jangan kemudian berpikir untuk memenuhi kepentingan politik pihak tertentu. Semua berdasarkan hukum,” katanya.
“Sudah dilakukan saja masih banyak pelanggaran narkotika, bagaimana jika tidak tegas, ini yang harus dipahami bersama,” tambah Prasetyo.
Putri menyebutkan, pihaknya terus mendorong pemerintah untuk segera menghapus hukuman mati di Indonesia karena efek jera yang diharapkan sudah tidak selaras lagi dengan penegakan hukum yang adil dan berimbang.
"Perlu ada evaluasi pelaksanaan eksekusi mati,” tegasnya.
‘Kedaulatan negara’
Anggota Komisi III DPR RI yang membidangi masalah hukum, Nasir Djamil, ketika diminta tanggapannya mengenai pernyataan bahwa tidak adanya korelasi antara hukuman mati dan efek jera menyebutkan bahwa penilaian itu keliru.
"Hukuman mati ada dalam Undang-undang. Korelasinya pasti ada karena yang salah harus dihukum dan dalam tata peradilan Indonesia, hal tersebut merupakan kedaulatan negara dan hak independen suatu negara. Ini sikap negara negara Indonesia dan harus dihormati," katanya kepada BeritaBenar.
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, hukuman mati sah dilakukan asal sesuai dengan proses peradilan hukum yang berlaku di Indonesia dan sesuai integritas penegak hukum.
"Artinya seorang terpidana harus didampingi proses hukumnya dari mulai di kepolisian sampai kejaksaan agar saat menerima hukuman, semua pihak bisa menerima, semua profesional," ujarnya.
Dalam KUHP, tambahnya, hukuman mati tidak lagi dalam bentuk pidana pokok, tetapi pidana khusus yang bisa diancam dengan hukuman alternatif.
"Ini artinya Indonesia sudah mulai memikirkan kembali tentang hukuman mati. Karena sebagai hukuman alternatif, bisa saja hakim melihat hukuman seumur hidup atau 20 tahun," jelas Nasir.
Menurut data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini terdapat lebih dari 100 orang terpidana mati yang menunggu dieksekusi. Sebagian besar mereka terjerat kasus narkotika.
Sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, 18 orang telah dieksekusi mati, dalam tiga tahap berbeda. Pada 18 Januari 2015, bertempat di Boyolali enam narapidana dieksekusi regu tembak. Pada 29 April 2015, delapan terpidana mati dieksekusi di Nusakambangan. Di tempat yang sama, empat orang lagi dieksekusi mati pada 29 Juli 2016.