KontraS: Penyiksaan Aparat Terhadap Masyarakat Masih Berulang

Menurut aktivis, penyiksaan sering digunakan sebagai cara untuk meminta pengakuan saat proses penyidikan.
Arie Firdaus
2018.06.26
Jakarta
180626_ID_KontraS_1000.jpg Koordinator Kontras, Yati Andriani, saat memberikan keterangan pers dalam rangka Hari Antipenyiksaan Sedunia di Jakarta, 26 Juni 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut kekerasan fisik berupa penyiksaan oleh aparat negara terhadap masyarakat masih menjadi praktik jamak di Indonesia.

Padahal, sejak 20 tahun lalu Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture (CAT) dan menerbitkan peraturan tambahan soal perlindungan hak asasi, seperti Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Tapi ternyata angkanya (penyiksaan) masih tergolong konstan," ujar Koordinator Kontras, Yati Andriani, dalam keterangan pers dalam rangka Hari Antipenyiksaan Sedunia di Jakarta, Selasa, 26 Juni 2018.

Dalam kurun setahun terakhir, Juni 2017 hingga Mei 2018, Kontras mencatat setidaknya terdapat 130 kasus penyiksaan yang dilakukan aparat polisi, TNI, dan sipir penjara.

Polisi menjadi pelaku terbanyak, yaitu 80 kasus. Disusul TNI sebanyak 28 kasus dan sipir penjara sebesar 22 kasus.

Jumlah itu lebih sedikit dari periode sama tahun-tahun sebelumnya, yakni periode Juni 2016-Mei 2017 yang sebanyak 163 kasus.

"Meski jumlahnya menurun, tapi praktik penyiksaan terlihat masih punya kecenderungan berulang dan terus-menerus," tambah Yati, "jumlah korbannya pun tidak berbeda jauh."

Berulangnya tindak penyiksaan tersebut, menurut Kepala Divisi Hukum dan HAM KontraS, Arif Nur Fikri, muncul lantaran masih adanya anggapan dari aparat bahwa tindak kekerasan dan penyiksaan adalah perihal wajar dan lumrah, terutama saat melakukan penyelidikan dan penyidikan suatu kasus.

"Penyiksaan masih kerap digunakan sebagai cara untuk meminta pengakuan," ujar Arif dalam kesempatan sama.

Pola seperti ini, tambahnya, terlihat dalam kasus tewasnya La Gode, seorang warga Kecamatan Lede, Pulau Talibu, Maluku Utara, pada Oktober 2017.

Pria 31 tahun tersebut didapati tewas dengan luka di sekujur tubuh setelah ditahan di sebuah pos TNI.

Ia ditahan karena dituduh mencuri lima kilogram singkong parut yang merupakan bahan utama panganan masyarakat setempat.

"Adapula anggapan bahwa karena mereka, tersangka atau terdakwa itu melakukan kejahatan. Maka (penyiksaan) dianggap wajar," ujar Arif.

Pengadilan Militer Ambon pada 6 Juni lalu telah menjatuhkan vonis bersalah terhadap 11 anggota TNI dan menghukum mereka antara lima bulan hingga setahun penjara karena menganiaya La Gode.

Dihukum ringan

Menurut Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Putri Kanesia, penyiksaan guna mencari pengakuan seperti kasus La Gode, sejatinya bukan satu-satunya yang terjadi di Tanah Air sepanjang setahun terakhir.

Ia mencatat terdapat 77 kasus serupa yang terjadi di beragam daerah.

"Dengan korban meninggal 27 orang (termasuk La Gode)," kata Putri, tanpa merinci lebih lanjut data korban meninggal tahun-tahun sebelumnya.

Kendati merenggut korban, berdasarkan catatan Kontras, para aparat pelaku penyiksaan selama ini justru tidak pernah mendapatkan hukuman setimpal.

Putri mencontohkan nasib para anggota TNI yang terlibat dalam kasus tewasnya La Gode divonis ringan. Padahal ancaman hukuman yang berujung kematian adalah 20 tahun penjara.

"Tapi semua pelaku divonis satu tahun penjara. Padahal (korban) meninggal dunia," kata Putri.

Rendahnya hukuman untuk para pelaku, tambahnya, karena proses hukum berlangsung di pengadilan militer.

"Yang kita tahu selama ini sulit dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya," tambah Putri.

Tidak ada komentar dari Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah, atas data rilisan KontraS ini. Telepon dan pesan singkat yang dikirim tak beroleh balasan.

Adapun Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Muhammad Iqbal, enggan berkomentar lebih lanjut dengan alasan ingin mendalami lebih lanjut data penelitian KontraS.

"Saya belum tahu," ujarnya singkat.

Ratusan warga menyaksikan pelaksanaan eksekusi cambuk di halaman sebuah masjid di Banda Aceh, 20 April 2018. (Nurdin Hasan/BeritaBenar)
Ratusan warga menyaksikan pelaksanaan eksekusi cambuk di halaman sebuah masjid di Banda Aceh, 20 April 2018. (Nurdin Hasan/BeritaBenar)

Hukuman cambuk

KontraS juga mengkritisi hukuman cambuk di Aceh, yang disebut dalam praktiknya telah menjadi upaya kontrol kepatuhan masyarakat terhadap rezim yang membungkus kekuasaan atas nama syariat.

Hukuman cambuk dijatuhkan terhadap pelaku zina, menuduh orang lain berbuat zina tanpa terbukti, pemerkosaan, pelecehan seksual, meminum minuman keras, bermain judi, prilaku lesbian, homoseksual, khalwat, dan bermesraan antara pria dan perempuan tanpa ikatan perkawinan.

"Mantan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), meski sebelumnya mengindikasikan bahwa perjuangan masa lalu mereka tidak berkaitan dengan upaya perjuangan syariat, pada akhirnya juga menggunakan narasi itu," ujar Yati Andriani.

"Seperti Gubernur Irwandi (Yusuf) yang dalam sebuah aksi menegaskan dukungannya terhadap hukuman cambuk."

Kepentingan politik itulah, menurut Yati, yang kemudian membuat jumlah hukuman cambuk terus naik dan dilakukan di Aceh.

Sepanjang kurun Juni 2017 hingga Mei 2018, KontraS menemukan setidaknya terdapat 59 kali hukuman cambuk di Aceh.

Dari rangkaian 59 kasus itu, 315 orang tercatat mengalami luka-luka, dengan rincian 263 orang laki-laki dan 52 perempuan.

Angka ini lebih banyak dari periode serupa tahun sebelumnya, yang berjumlah 50 kasus hukuman cambuk.

Meski jumlah meningkat, Pemerintah Aceh menuai kritik terkait pelaksanaan hukuman itu setelah menerbitkan Peraturan Gubernur pada April lalu yang memindahkan lokasi eksekusi cambuk ke dalam lembaga pemasyarakatan.

Peraturan itu digugat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ke Mahkamah Agung (MA) pada Kamis lalu, untuk dibatalkan karena dianggap mengangkangi qanun (peraturan daerah) tentang pelaksanaan eksekusi cambuk yang seharusnya digelar di depan umum.

Mengenai kelanjutan gugatan tersebut, juru bicara MA Suhadi ketika dikonfirmasi tidak memerinci lebih lanjut.

"Saya cek dulu," ujarnya singkat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.