Dalam 4 Bulan, 300 Lebih Korban Bencana Tewas di Indonesia

Greenpeace menilai bencana terus meningkat karena rusaknya lingkungan di wilayah dengan kerawanan tinggi.
Tia Asmara
2019.04.30
Jakarta
190430_ID_Disaster_1000.jpg Tim SAR mengangkat satu jenazah dari reruntuhan akibat tanah longsor di Mamuju, Gowa, Sulawesi Selatan, 30 Januari 2019.
AFP

Sedikitnya 325 orang tewas dan 113 lainnya hilang akibat berbagai bencana yang terjadi dalam empat bulan terakhir di Indonesia.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa akibat 1.586 bencana yang terjadi itu juga mengakibatkan 1.439 orang luka-luka dan 996.143 warga mengungsi.

“Lebih dari 98 persen bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi, dan sisanya adalah bencana geologi,” katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa, 30 April 2019.

Dia menambahkan kerusakan fisik akibat bencana empat bulan ini meliputi 3.588 rumah rusak berat, 3.289 rumah rusak sedang, 15.376 rumah rusak ringan, 325 bangunan pendidikan rusak, 235 fasilitas peribadatan rusak dan 78 fasilitas kesehatan rusak.

Bencana yang paling banyak menimbulkan korban jiwa adalah banjir dan longsor ketika melanda Sentani, Papua, pada 16 Maret lalu, sehingga menewaskan 112 orang, 82 lainnya hilang dan 965 luka-luka.

Kemudian, disusul banjir dan longsor di Sulawesi Selatan pada Januari silam, dimana 82 orang meninggal dunia, tiga hilang dan 47 warga luka-luka.

Selanjutnya, bencana yang sama melanda Bengkulu akhir pekan lalu, menewaskan 29 orang, 13 hilang dan empat terluka.

“Secara statistik, dibandingkan tahun 2018 dalam periode yang sama kejadian bencana pada 2019 mengalami kenaikan 7,2 persen, dimana pada 2018 terjadi 1.480 bencana,” kata Sutopo.

Untuk korban jiwa, terjadi kenaikan 192 persen dimana tahun 2018 terdapat 150 orang meninggal dunia dan hilang, sedangkan pada 2019 korban meninggal dan hilang tercatat 438 orang, papar Sutopo.

Begitu pula korban luka-luka juga mengalami kenaikan 212 persen. Korban luka tahun 2018 sebanyak 461 orang sedangkan tahun 2019 sebanyak 1.439 orang.

Namun, warga yang mengungsi mengalami penurunan tahun ini karena dalam empat bulan pada 2018, mencapai 1.436.593 orang.

Berdasarkan sebaran kejadian per provinsi, maka bencana paling banyak terjadi di Jawa Tengah (472 kejadian), disusul Jawa Barat (367), Jawa Timur (245), Sulawesi Selatan (70) dan Aceh (51).

“Statistik ini bukan hanya memuat angka-angka, tapi memiliki makna bahwa ancaman bencana terus meningkat,” ujar Sutopo.

Meningkatnya bencana pada 2019, tambahnya, disebabkan adanya pemicu banjir dan longsor yaitu curah hujan yang deras.

Kombinasi antara alam dan antropogenik menjadi penyebab utama meningkatnya bencana, kata dia.

“Tingkat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana besar masih rendah. Mitigasi baik struktural dan nonstruktural masih belum dijadikan prioritas dalam pembangunan di daerah,” ujarnya.

“Upaya penanganan bencana masih menitikberatkan pada darurat bencana. Untuk itu, pencegahan dan kesiapsiagaan masih perlu ditingkatkan.”

Sutopo mengimbau agar bencana yang terus meningkat menjadi pembelajaran agar tak terulang di masa mendatang.

“Jikapun terjadi lagi, dampak bencana dapat diminimalkan,” imbuhnya.

Pengurangan risiko dan mitigasi bencana, harap Sutopo, harus terintegrasi dan menjadi investasi dalam pembangunan.

Terkait penanganan banjir dan longsor di Bengkulu, dia mengatakan upaya pencarian, penyelamatan dan evakuasi masih terus dilakukan tim SAR gabungan.

"Sebagian wilayah, banjir sudah surut dan meninggalkan sampah dan material yang banyak," katanya.

Beberapa kebutuhan mendesak antara lain pemenuhan makanan siap saji, air bersih, tenda pengungsian dan selimut bagi 12.000 warga yang mengungsi.

Deforestasi

Tim leader kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menilai bencana yang meningkat dari tahun ke tahun karena menurunnya kualitas lingkungan di wilayah yang tingkat rawan tinggi seperti Bengkulu, Kalimantan Selatan, Papua, dan Sulawesi.

"Daya dukung lingkungan tak seimbang menahan intensitas curah hujan tinggi, sehingga menimbulkan bencana ekologi yang dapat mengancam keselamatan warga, khususnya di daerah yang rentan terhadap bencana," katanya kepada BeritaBenar.

Dia menambahkan penyebab lain ialah tata ruang lingkungan yang buruk karena daerah tangkapan air rusak dijadikan area penggunaan lain.

"Banyak hulu sungai di Bengkulu dibuka sebagai daerah pertambangan. Selain itu, hulu sungai di Bogor tingkat deforestasi tinggi karena daerah hutan lindung banyak dijadikan villa," ujarnya.

Dia berharap pemerintah mampu meningkatkan penegakan hukum bagi perusak hutan dan lahan.

"Bencana yang terjadi 99 persen karena ulah manusia. Kebijakan pemerintah yang harus dilakukan adalah pembangunan berbasis daya dukung, dan segera rehabilitasi wilayah rusak secara terintegrasi," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.