Harapan Korban Bom Bali Setelah 14 Tahun Berlalu
2016.10.10
Denpasar

Oktober menjadi bulan pengingat tragedi bom Bali. Juga bagi para korban dan keluarga korban serangan bom teroris di Pulau Dewata pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 itu, yang dikenal masing-masing sebagai Tragedi Bom Bali I dan Bom Bali II.
Suyanto termasuk seorang korban yang tak bisa melupakan kejadian Bom Bali I, 14 tahun silam. Kala itu, bapak dua anak ini bekerja sebagai bartender Sari Club, lokasi yang disasar para pelaku serangan mematikan di Jalan Legian, Kuta.
Teror Bom Bali I yang dilakukan oleh kelompok Jemaah Islamiyah yang merupakan jaringan al-Qaeda di Asia Tenggara itu, menewaskan 202 orang. Dari 38 staf Sari Club, pub terpopuler di Kuta ketika itu, hanya 12 orang selamat. Salah satunya, Suyanto yang terlindung tembok.
Dia tetap mengalami luka-luka. Setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Sanglah, Bali, Suyanto diboyong berobat ke sebuah rumah sakit di Perth, Australia, selama enam minggu.
Meski kondisinya sudah pulih, “tapi trauma saya belum hilang,” kata Suyanto yang kini bekerja sebagai tukang las, kepada BeritaBenar, Minggu, 2 Oktober 2016.
Korban Bom Bali I lain adalah I Wayan Sudiana. Dia kehilangan Widayati, istrinya yang bekerja sebagai kasir Sari Club. Begitu pula Ni Luh Erniati yang kehilangan suaminya, Gede Badrawan.
Perasaan sesama korban menyatukan mereka bertiga, lalu membentuk Isana (Istri Suami Anak) Dewata.
Secara formal, organisasi itu baru berbadan hukum yayasan sejak 27 September 2013. Tapi, komunitas ini sudah ada beberapa bulan setelah ledakan terjadi.
Memperjuangkan hak
Yayasan yang punya visi menebarkan perdamaian dan menyuarakan cinta kasih itu sejauh ini telah memiliki 53 anggota, tersebar di Bali, Jakarta, Kalimantan, dan Jawa.
Selain korban langsung, mereka adalah anak, istri, suami, atau orang tua korban.
Menurut Sudiana, komunitas ini menjadi media untuk menguatkan solidaritas dan kekeluargaan antara korban bom Bali.
“Kami juga memperjuangkan hak-hak kami sebagai korban melalui organisasi ini,” ujar pemandu wisata tersebut.
Erniati, Koordinator Isana Dewata mengatakan, sebagian korban bom Bali belum sepenuhnya mendapatkan hak.
Padahal, Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) menyebutkan, ada hak korban terorisme antara lain kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
“Yang dituntut korban adalah ganti rugi. Jadi dihitung berapa kerugian yang mereka alami, lalu diganti oleh pemerintah. Selain itu menuntut santunan, untuk pendidikan anak-anak korban,” ujar Erniati.
Tapi, mereka tak menuntut besaran ganti rugi atau santunan secara spesifik karena yang penting adalah dukungan dari pemerintah bagi para korban.
“Semua korban terorisme harus mendapat hak-haknya. Tidak hanya sebagian atau korban tertentu,” kata dia.
Sudiana memberikan contoh karena istrinya menjadi korban bom Bali pada 2002, dia mendapatkan bantuan pemakaman.
Dia juga diberikan bantuan deposito Rp 15 juta buat biaya pendidikan anak-anaknya.
Sudah selesai
Pejabat Dinas Sosial Bali, Ida Bagus Pancima, menyatakan bantuan untuk korban bom Bali sudah selesai sejak dulu.
Pihaknya juga sudah membantu dan memfasilitasi korban bom Bali membuat yayasan dari hanya perkumpulan, kini sudah berbadan hukum.
“Untuk tetap mendapat bantuan, mereka harus melalui birokrasi seperti organisasi lain. Misalnya harus ada rekomendasi dari banjar, kepala desa, dan seterusnya. Itu harus diverifikasi lagi layak atau tidak,” jelasnya.
Menurut Pancima, Dinas Sosial Bali memberikan bantuan bagi warga miskin dan terlantar. Karena itu, harus dilihat apakah para korban bom Bali masuk kategori itu atau tidak.
“Untuk bantuan modal juga harus dicek lagi apakah mereka miskin dan telantar atau tidak. Saya lihat secara umum mereka sudah mandiri,” ujarnya.
Arsip hilang
Erniati mengaku telah mengajukan permintaan hak korban ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Untuk mendapat bantuan pemerintah, korban harus menyertakan surat keterangan dari kepolisian yang menyatakan mereka memang korban serangan terorisme.
Mereka harus menyertakan rekam medis dari rumah sakit untuk mendapatkan surat keterangan polisi. Masalahnya, beberapa korban tidak lagi memiliki surat keterangan medis.
Markus Affandi, salah satunya. Pekerja lepas pada bagian tata suara ini dirawat jalan di Rumah Sakit Angkatan Darat karena lukanya tidak terlalu parah.
Ia tak menyimpan rekam medisnya selama perawatan. Baginya, rekam medis bukan hal penting saat itu karena dia lebih mengutamakan kesembuhannya.
Setelah bergabung dengan Isana Dewata, Markus baru tahu kalau korban bom Bali, punya hak kompensasi dan restitusi.
“Sebenarnya saya juga malas menuntut karena tidak ingin mengungkit masa lalu,” ujarnya.
Isana Dewata sudah berkirim surat ke beberapa rumah sakit meminta rekam medis korban, seperti Markus.
“Tapi mereka sudah tidak menyimpan arsipnya. Mungkin karena sudah lama,” kata Sudiana.
Kelemahan aturan
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, membenarkan harus ada keterangan polisi yang menyatakan seseorang korban terorisme untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Untuk dapat mengakses layanan, korban harus mengajukan permohonan apa saja yang dibutuhkan. Kalau sakit akan ada assessment. Misalnya dia secara psikologi terganggu akan ada pendampingan dari psikolog,” katanya.
Disinggung bagaimana bentuk kompensasi, Haris menyatakan kalau dari peristiwa itu korban mendapat kerugian, dia harus menyertakan bukti-bukti yang diputuskan oleh pengadilan.
“Jika diputuskan dia rugi, maka korban itu berhak,” ujarnya kepada BeritaBenar saat dikonfirmasi Kamis, 6 Oktober 2016.
Haris mengakui putusan pengadilan tersebut adalah salah satu kelemahan dalam UU Antiterorisme.
“Kami menyarankan agar ganti rugi tidak hanya ditentukan oleh hakim. Perlu dibuat skema semacam asuransi. Lama pendampingan sesuai kebutuhan,” jelasnya.
Para korban bom Bali merasa, mereka kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
“Dulu kami dijanjikan modal usaha. Sampai sekarang tidak ada,” pungkas Suyanto.