4 Tahun Pasca Bom Gereja Samarinda, Anak-Anak itu Masih Berjuang dengan Luka

Trinity Hutahean (7) dan Alvaro Sinaga (8), tetap tegar menjalani hari-hari mereka.
Gunawan
2020.10.13
Balikpapan
Terrorvictim_trinity1_1000.jpg Trinity Hutahean (7), korban bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, Kalimantan Timur, sedang belajar di rumahnya di Samarinda, Minggu, 11 Oktober 2020.
BenarNews

“Langkah kakinya tertatih-tatih, namun dia tidak menyerah dan terus berjalan, walau kadang jatuh,” kata Sarina Gultom kepada BenarNews, tentang putrinya, Trinity Hutahean (7).

Anak perempuan itu masih terus berjuang, empat tahun setelah terkena serangan bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda di Kalimantan Timur, yang mengakibatkan luka bakar parah di sekujur tubuhnya.

“Pergi ke gereja termasuk hal menyenangkan buatnya,” kata Sarina.

Karena musibah itu, kedua kakinya tidak tumbuh normal, sementara kulit tangan mengeras seperti kayu dengan bekas luka bakar.

Trinity merupakan satu dari empat anak yang menjadi korban dalam ledakan hari Minggu, 13 November 2016 di gereja itu, yang menewaskan Intan Olivia Banjarnahor, yang waktu itu berusia 2 ½ tahun.

Korban luka lainnya adalah Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) dan Anita Kristobel (6).

Pelaku serangan, Juhanda, alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia, divonis hukuman seumur hidup pada tahun 2017.

Juhanda merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan telah berbaiat kepada kelompok Islamic State atau ISIS, menurut pengadilan.

Juhanda juga adalah residivis serangan bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong di Tangerang, Banten, pada 2011. Ia dijatuhi hukuman 3 ½ tahun penjara tahun 2012 dan bebas pada 2014.

Sarina Gultom menemani putrinya, Trinity Hutahean (7), mengerjakan tugas sekolahnya, di rumahnya di Samarinda, Minggu (11/10/2020).“Saya minta Trinity menutupi kekurangan fisik dengan kemampuan akademis,” ujar sang Ibu. [BenarNews]
Sarina Gultom menemani putrinya, Trinity Hutahean (7), mengerjakan tugas sekolahnya, di rumahnya di Samarinda, Minggu (11/10/2020).“Saya minta Trinity menutupi kekurangan fisik dengan kemampuan akademis,” ujar sang Ibu. [BenarNews]

Tanggung biaya pengobatan

Trinity mengalami luka bakar hingga 60 persen hampir di sekujur badan dan harus dirawat di ruang unit perawatan intensif (ICU) di rumah sakit setempat selama tiga bulan, kata Sarina.

Luka bakar menyebar di bagian badan, tangan, kaki, hingga sebagian muka.

Namun selama tiga bulan itu, kondisi Trinity tidak mengalami perkembangan berarti. Keduanya matanya semakin bengkak, sedangkan luka bakar di kaki tangan bahkan mengalami pembusukan.

Karena itu, keluarga berinisiatif secara mandiri menerbangkan Trinity ke Cina, di mana dia menjalani operasi cangkok kulit.

“Saya harus membawa anak saya memperoleh pengobatan medis lebih baik,” tegas Sarina.

“Dokter memasang balon di punggung Trinity untuk menumbuhkan jaringan kulit. Jaringan kulit ini lantas dicangkok di atas permukaan luka bakar,” tuturnya.

Sarina merasa kagum akan kecanggihan teknologi medis di Tiongkok.

Jemari tangan kiri Trinity yang kaku kini jadi lebih lentur dan tampilan jaringan kulit menjadi lebih baik.

Selama empat tahun terakhir Sarina dan Trinity pulang-pergi berobat ke Cina.

“Saya menghabiskan biaya Rp2 miliar untuk berobat ke Cina. Pengobatan masih butuh biaya besar hingga dia tumbuh dewasa,” imbuhnya.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang memiliki mandat antara lain memberikan kompensasi terhadap korban terorisme, tidak menanggung biaya pengobatan Trinity.

“Alasannya terbentur minimnya anggaran mereka,” ungkap Sarina.

Korban bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8), dan ibunya, Martina Piur Novita Tagala, di rumah mereka di Samarinda, Minggu, 11 Oktober 2020. [BenarNews]
Korban bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8), dan ibunya, Martina Piur Novita Tagala, di rumah mereka di Samarinda, Minggu, 11 Oktober 2020. [BenarNews]

Risaukan perkembangan mental

Sementara itu, Alvaro mengalami nasib serupa. Ibu korban, Martina Piur Novita Tagala (43) harus berjuang sendirian menyelamatkan masa depan putranya.

Alvaro mengalami luka bakar 30 persen di area kepala, tangan, dan paha kanan.

Proses penyembuhan Alvaro berjalan lambat selama berobat di rumah sakit AW Sjahranie Samarinda. Bahkan, luka bakar di jari kanannya sempat membusuk serta timbul nanah.

Tidak menunggu lama, Alvaro lantas dibawa berobat ke Kuala Lumpur, Malaysia.

“Proses pembersihan bekas luka tidak maksimal di sekitar jari tangan sehingga darah kotor menempel di tulang. Untung sempat tertangani sehingga tidak amputasi,” ujar Novita.

Selama enam bulan tahun 2017, tenaga medis di Kuala Lumpur mengupayakan percepatan pertumbuhan kulit area kepala. Luka bakar Alvaro memang sebagian besar ada di area kepala.

“Dokter memasang balon di dalam kulit kepala mempercepat pertumbuhan kulitnya,” tutur Novita yang menghabiskan total biaya pengobatan Rp1 miliar.

Meskipun begitu, baik Novita dan Sarina sama–sama tidak memperdulikan besarnya biaya pengobatan demi kesembuhan anak.

Keduanya justru risau perkembangan mental Alvaro dan Trinity kala dewasa nanti.

“Alvaro tumbuh menjadi anak yang rendah diri. Perundungan dialaminya saat di sekolah,” ungkap Novita.

Sebagai seorang ibu, hati Novita seperti teriris mendapati fakta itu.

“Sebagai ibu, tidak terkira sedihnya. Tapi saya harus kuat agar Alvaro juga bisa kuat,” tegasnya.

Sehubungan itu, Novita pun rajin membawa Alvaro berkonsultasi ke psikolog. Bocah satu ini masih memiliki masalah percaya diri dan trauma.

“Dia takut kalau melihat api dan suara keras. Perlahan ketakutannya bisa dihilangkan,” ujarnya.

Alvaro kini sudah mulai ceria kembali, apalagi saat memukul drum, alat musik yang saat ini ditekuninya.

Demikian juga Sarina yang tidak lelah memotivasi Trinity agar tidak meratapi kekurangan fisiknya.

“Saya minta Trinity menutupi kekurangan fisik dengan kemampuan akademis,” ujarnya.

Sadar masa depan Trinity sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya, Sarina mengaku tidak punya waktu bersedih dengan memusatkan perhatian bagi anaknya.

“Kalau perasaan saya sendiri sudah tidak penting, sekarang waktunya memberikan 100 persen untuk Trinity,” tegasnya.

Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) asyik bermain drum di rumahnya di Samarinda, Minggu, 11 Oktober 2020. [BenarNews]
Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) asyik bermain drum di rumahnya di Samarinda, Minggu, 11 Oktober 2020. [BenarNews]

Dana kompensasi terbatas

Bantuan untuk penyintas korban terorisme seluruhnya lewat proses pengadilan, ujar Direktur Perlindungan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), Brigadir Jenderal Herwan Chaidir.

“Hakim yang menentukan besaran bantuan pengobatan, tidak serta-merta seperti keinginan para korban,” kata Herwan kepada BenarNews.

Dalam putusannya, majelis hakim di Pengadilan Jakarta Timur yang menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Juhanda memerintahkan pemerintah membayar kompensasi sebesar Rp237 juta kepada korban.

Jumlah itu jauh lebih kecil dari permintaan jaksa yang memohon kompensasi senilai total Rp1,4 miliar untuk para korban dan keluarga korban bom Gereja Oikumene.

Hakim mengatakan jumlah kompensasi itu diputuskan setelah menilai bahwa perhitungan kerugian seharusnya melampirkan bukti seperti tanda terima biaya perawatan.

Sementara itu, LPSK mengaku sumber daya keuangannya tidak mampu mengakomodasi kepentingan korban pidana terorisme.

“Kami paham mayoritas korban terorisme harus memperoleh penanganan serius, sebagian malah harus ditangani seumur hidup,” tutur Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu.

Herwan memaklumi keterbatasan LPSK dalam menampung tuntutan korban. Negara pun dalam kondisi perekonomian sulit ditengah penanganan pandemi COVID-19.

“Negara dan LPSK sudah memberikan bantuan sesuai kemampuannya. Kami tentunya juga tidak bisa membantu selamanya pada korban. Ini selalu disampaikan pada korban,” tuturnya.

Total penyintas korban terorisme di Indonesia diperkirakan berjumlah 900 jiwa dan pengadilan sudah memutuskan 230 jiwa diantaranya memperoleh bantuan, kata Herwan.

“Penyintas sudah dilakukan verifikasi sebanyak 517 orang,” paparnya.

Sehubungan dengan Trinity dan Alvaro, Edwin mengatakan Pemprov Kaltim semestinya bisa lebih berperan dalam kasus bom Gereja Oikumene. “Payung hukumnya sudah ada di Undang Undang LPSK, tinggal komitmen mereka saja,” ujar Edwin.

“Kami harus bijak dalam perlindungan saksi dan korban. Selain menangani kasus lama juga mengakomodir kasus baru juga,” ungkapnya.

Edwin mencontohkan korban bom Kedutaan Australia tahun 2004 yang butuh pemasangan rutin implan rahang. Keterlambatan pemasangan implan berdampak pusing luar biasa bagi korban.

Di sisi lain, LPSK hanya memperoleh alokasi anggaran Rp50 miliar yang terpotong belanja rutin pegawai dan investigasi korban. Praktis, lembaga hanya mengalokasikan belanja rehabilitas saksi dan korban sebesar Rp12 miliar.

“LPSK memang memperoleh tambahan anggaran tambahan sebesar Rp 17 miliar. Namun jumlah ini jauh dari mencukupi,” keluhnya.

Apalagi sesuai amanat undang-undang, LPSK menangani saksi dan korban kasus terorisme, kekerasan anak dan perempuan serta tindak pidana pencucian uang.

Korban kasus tindak pidana pun sudah tidak boleh di-cover asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Korban-korban dari berbagai kasus pidana ini menjadi tanggungan LPSK,” papar Edwin.

Di tengah keterbatasan dana ini, LPSK akhirnya menggandeng lembaga negara untuk berperan serta; kementerian, BUMN, pegadaian syariah, lembaga sosial, dan pemerintah daerah.

Pada September 2020, Komisi III DPR menyetujui pagu dan tambahan anggaran yang diajukan LPSK untuk tahun 2021 dari pagu sebesar Rp79,4 miliar menjadi Rp129,1 miliar.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, mengatakan usulan penambahan anggaran tersebut sedang diproses.

“Sedang kita sesuaikan dengan regulasinya, masukan-masukan juga untuk di-follow-up lebih lanjut," ujarnya.

Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) tampak gembira duduk diapit kedua orangtuanya di rumah mereka di Samarinda, Minggu, 11 Oktober 2020. [BenarNews]
Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) tampak gembira duduk diapit kedua orangtuanya di rumah mereka di Samarinda, Minggu, 11 Oktober 2020. [BenarNews]

Rawan militan

Beberapa daerah di Kaltim dianggap menjadi jalur perlintasan sekaligus persembunyian militan pelaku teror, kata Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltim, Achmad Jubaidi.

Pelaku bom Bali I, Ali Imron, bersembunyi di Delta Mahakam Kutai Kartanegara sebelum ditangkap tahun 2003.

Selama tahun 2019, Detasemen 88 melakukan penggerebekan di tiga tempat di Kaltim dan mengamankan tiga orang anggota JAD terkait bom di Medan, Sumatra Utara.

Pelaku serangan teroris di daerah Sarinah Jakarta awal tahun 2016, Fajrun bin Slan, ditangkap di Sepinggan Balikpapan pada tahun yang sama.

"Meskipun kalah perang, simpatisan ISIS banyak, termasuk di Samarinda," pungkas Jubaidi kepada BenarNews.

Ronna Nirmala di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.