Air mata ayah dan ditangkapnya anak lelaki tumpuan harapan, korban Rempang Eco-City
2023.11.17
Pasir Panjang, Kepulauan Riau
Ramli Ali menyeka matanya saat dia duduk di ruang sidang, menunggu hakim dalam sidang praperadilan memutuskan apakah putranya dan pengunjuk rasa lainnya akan diadili karena menentang proyek pembangunan yang akan menggusur warga dari pulau leluhur mereka.
Pemerintah berencana merelokasi 7.500 penduduk Pulau Rempang, tempat tinggal Ramli dan keluarganya selama beberapa generasi, untuk membuka jalan bagi perusahaan pabrik kaca dan panel surya asal China yang bernilai triliunan rupiah.
Proyek yang diberi nama Rempang Eco-City ini merupakan bagian dari strategi nasional pemerintah untuk menarik investasi asing dan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Namun bagi Ramli (53) dan banyak masyarakat adat Melayu lainnya di Pulau Rempang, hal ini merupakan ancaman terhadap mata pencaharian, budaya dan identitas mereka.
“Saya lahir di sini. Orang tua dan kakek nenek saya juga lahir di sini,” kata Ramli sambil duduk di rumah panggung kayunya di Pasir Panjang, salah satu dari 16 desa tua yang akan dibongkar untuk proyek tersebut.
“Jika saya harus pindah, ke mana saya akan pindah dan saya tidak yakin apakah saya bisa mengatur hidup saya di masa depan. Saya tidak berpendidikan tinggi,” katanya.
“Sebagai seorang nelayan, saya sangat membutuhkan dia di sini untuk membantu saya menangkap ikan,” kata Ramli yang mengharapkan putranya dibebaskan dari tahanan.
Pengacara sang anak dan para tersangka lainnya mengajukan gugatan praperadilan terhadap polisi, menantang keabsahan penangkapan dan penahanan mereka.
Namun, Pengadilan Negeri Batam menolak gugatan tersebut pada 6 November, memutuskan bahwa polisi telah mengikuti prosedur yang benar dan memiliki alasan yang cukup.
Polisi mengatakan putra Ramli dan pengunjuk rasa lainnya memblokir jalan dan melemparkan batu ke arah pasukan keamanan selama demonstrasi pada bulan September.
“Kami mempunyai cukup bukti ketika kami menetapkan mereka sebagai tersangka,” Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, Kapolres Batam, Rempang dan Kepulauan Galang, mengatakan kepada BenarNews.
Konflik yang kompleks
Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menjadikan infrastruktur dan investasi sebagai prioritas utama pemerintahannya.
Pemerintah telah meluncurkan beberapa mega proyek di seluruh negeri, seperti kawasan pariwisata Mandalika yang mencakup lintasan balap motor internasional di Lombok, kereta api berkecepatan tinggi Jakarta-Bandung yang didanai Tiongkok, dan ibu kota baru di Kalimantan.
Pemerintah Indonesia mengatakan proyek-proyek ini akan meningkatkan konektivitas dan mobilitas, serta meningkatkan daya saing dan daya tariknya di pasar global.
Namun proyek-proyek ini juga menghadapi perlawanan dan kritik dari berbagai kelompok dan komunitas, yang menyuarakan keprihatinan mengenai dampak sosial dan lingkungannya.
Beberapa dari proyek-proyek ini telah mengakibatkan sengketa tanah, penggusuran paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia, yang berdampak pada ribuan orang, terutama masyarakat miskin, kelompok marginal, dan masyarakat adat.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – organisasi yang mengadvokasi hak atas tanah – mengatakan setidaknya ada 73 kasus sengketa tanah yang melibatkan proyek-proyek yang dianggap strategis oleh pemerintah sejak tahun 2020.
“Kita telah menyaksikan aparat keamanan sering melakukan tindakan brutal dan berlebihan untuk mengusir paksa penduduk dari tanah mereka,” kata dia kepada BenarNews.
Benih konflik di Rempang berawal pada 2004, ketika pemerintah memberikan izin kepada pengembang swasta, PT Makmur Elok Graha (MEG), untuk membangun kawasan wisata terpadu eksklusif di pulau tersebut.
Proyek tersebut tidak terwujud dan kemudian, pada 2023, digantikan oleh proyek Rempang Eco-City, yang melibatkan kemitraan antara MEG dan Xinyi Glass, produsen kaca dan panel surya asal China.
Proyek ini bertujuan untuk membangun kawasan industri seluas 2.000 hektar dan kawasan perumahan dan komersial seluas 15.600 hektar di pulau tersebut, yang mencakup total luas 17.600 hektar.
Saat kunjungan Jokowi ke China pada Juli, Xinyi membuat komitmen untuk menginvestasikan US$11,6 miliar atau sekitar Rp178 triliun, untuk membangun pabrik kaca dan panel surya di Indonesia, yang akan menjadi produser kaca dan panel surya terbesar kedua di dunia, setelah China.
Saat itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan jika pabrik tersebut benar-benar terealisasi maka akan menciptakan 35.000 lapangan kerja. Dan keseluruhan proyek kota ramah lingkungan tersebut diperkirakan akan menghasilkan investasi sebesar Rp381 triliun pada tahun 2080.
Namun proyek ini juga menghadapi penolakan keras dari masyarakat adat, yang mengklaim mempunyai hak adat atas tanah dan laut.
“Proses pengambilan keputusan terkait relokasi harus inklusif dan transparan,” Taba Iskandar, anggota DPRD Kepulauan Riau, yang mendukung masyarakat adat, mengatakan kepada BenarNews.
Dedi Arman, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan pemerintah harus menghormati klaim leluhur masyarakat adat di pulau tersebut.
“Pulau ini telah menjadi rumah bagi komunitas-komunitas ini selama beberapa generasi, dan warisan budaya serta hubungan mereka dengan tanah tersebut sangat terjalin di dalamnya,” kata dia kepada BenarNews.
Relokasi tidak hanya akan menggusur masyarakat adat tetapi juga membahayakan tatanan hidup masyarakat setempat dan tradisi budaya yang telah menopang mereka selama berabad-abad, katanya.
Kerusakan ekosistem
Boy Jerry Evan Sembiring, direktur eksekutif Walhi di Provinsi Riau, mengatakan bahwa penambangan pasir kuarsa yang menjadi bahan baku pembuatan kaca akan berdampak buruk pada ekosistem laut dan industri perikanan.
“Aktivitas destruktif ini tidak hanya mengganggu keseimbangan ekosistem laut tetapi juga mengganggu habitat alami ikan dan spesies laut lainnya,” kata Boy kepada BenarNews.
Pencemaran, sedimentasi, dan perusakan habitat yang diakibatkannya dapat mengakibatkan penurunan populasi ikan secara signifikan, yang pada akhirnya membahayakan penghidupan para nelayan Rempang yang telah ada sejak tahun 1870, kata dia.
Pemerintah: kami tawarkan paket kompensasi
Namun pemerintah menilai proyek tersebut bermanfaat bagi pembangunan Batam dan Kepulauan Riau yang letaknya strategis dekat Singapura dan Malaysia.
Pemerintah juga mengatakan bahwa pihaknya telah mempertimbangkan kesejahteraan dan hak-hak masyarakat adat, dan telah menawarkan paket kompensasi dan relokasi.
Mereka mengatakan bahwa mereka akan menyediakan tanah seluas 500 meter persegi dan rumah seluas 45 meter persegi senilai Rp120 juta rupiah untuk setiap keluarga yang direlokasi, serta tunjangan bulanan dan kesempatan kerja.
“Saya berharap kita bisa mulai membangun kawasan perumahan pada Januari tahun depan,” kata Wali Kota Batam Muhammad Rudi, yang juga Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), wakil pemerintah pusat yang membawahi proyek tersebut.
Rudi mengaku akan terus berdiskusi dengan masyarakat Rempang tentang apa yang terbaik bagi mereka untuk mendukung program pemerintah.
Tidak semua masyarakat adat menentang proyek tersebut. Beberapa di antara mereka, seperti Leli Alel, 53 tahun, memutuskan meninggalkan rumah dan menerima tawaran pemerintah. Dia mengatakan ingin mencoba peruntungannya dan mencari kehidupan yang lebih baik di kota.
“Saya bisa bekerja sebagai kuli bangunan dan tetap menangkap ikan. Saya rasa ini adalah kesempatan yang baik untuk saya dan keluarga,” ujarnya sambil duduk di tempat penampungan sementara di Kota Batam, tempat dia pindah tiga bulan lalu bersama istri dan putranya.
Menurut data BP Batam, sebanyak 363 kepala keluarga setuju dengan rencana relokasi, 74 keluarga di antaranya sekarang sudah dipindahkan ke pemukiman sementara.
Namun bagi Ramli dan banyak warga lainnya, meninggalkan pulau leluhur mereka bukanlah pilihan. Mereka akan terus menolak proyek tersebut dan memperjuangkan hak-hak mereka, meskipun hal itu berarti mempertaruhkan nyawa dan kebebasan mereka.
“Saya tidak menentang pembangunan. Saya hanya ingin mereka peduli terhadap hak-hak kami dan memperlakukan kami sebagai warga negara,” kata Ramli.