Koroway, Suku Terasing Papua, Korban ‘Wisata Kemiskinan’
2017.11.03
Jayapura
Sekitar 37 tahun lalu, mereka ditemukan. Sejak itu pula suku terasing ini diekspos media sebagai komunitas yang hidup di atas pohon untuk mengundang para wisatawan datang menyaksikan.
Namun, problem pendidikan dan kesehatan yang dihadapi suku Koroway seakan hilang ditelan eksotisme yang dibangun media massa.
Banyak yang datang ke Koroway, tapi bukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan dan pendidikan. Mereka hanya berfoto dengan penduduk Koroway, menegaskan apa yang namanya “wisata kemiskinan”.
Kasus Puti
Puti Hatil (3) menderita bisul di pipi kiri hingga berlubang. Bapaknya, Daniel Hatil harus berjalan 10 jam dari kampungnya, Afimabul, ke Danowage untuk mengobati anaknya di klinik misionaris Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang dijalankan seorang warga Amerika Serikat (AS), Trevor Christian Johnson.
Sayangnya, klinik itu tak bisa mengobati Puti. Trevor lalu mengirim sang balita dan Daniel untuk berobat ke Rumah Sakit Dian Harapan di Jayapura.
"Kalau sakit masyarakat sudah parah, kami minta bantuan helikopter milik misionaris ke Wamena, Jayawijaya, untuk menjemput pasien,” kata Trevor kepada BeritaBenar, akhir Oktober lalu.
“Kami juga minta bantuan ke misionaris, untuk mengirim tenaga kesehatan ke Koroway dan membagikan obat."
Sakit yang diderita Puti, menurut Trevor, sering ditemukan pada masyarakat Koroway. Bisul yang tumbuh dalam tubuh seperti dialami Puti paling sering ia temukan, selain bisul biasa yang terlihat dari luar.
“Bagian tubuh yang kena bisul di dalam ini mengeras,” jelas Trevor.
Penyakit lain yang diderita warga Korowai adalah kekurangan gizi, kaki gajah, malaria, dan rematik.
Koordinator GIDI untuk wilayah Korowai, Koeles Kogoya, mengakui klinik yang dijalankan Trevor menjadi satu-satunya harapan masyarakat pedalaman Papua itu.
Ia sudah masuk Koroway sejak 17 tahun lalu. Selama itu pula, Kogoya melihat persoalan kesehatan dan pendidikan adalah masalah serius yang dihadapi suku Koroway.
“Kekurangan obat-obatan adalah masalah paling serius sehingga sakit yang dialami masyarakat sulit diatasi,” jelas Kogoya.
Pernikahan dini
Tradisi pernikahan dini juga merupakan masalah di Koroway. Perempuan Koroway sudah diwajibkan menikah saat usia mereka baru mencapai 9-12 tahun. Bahkan ada bocah 2 tahun yang sudah ditandai kalung gigi anjing oleh keluarga calon suami atas persetujuan orang tua bayi tersebut.
Perempuan yang sudah menikah pada usia masih sangat belia dilarang makan daging dan sayuran. Akibatnya mereka kekurangan gizi sehingga berdampak pula pada bayi yang dikandung saat hamil.
“Anak yang lahir tidak sehat dan kurang gizi. Perkawinan dini dan terpaksa mengurusi bayi menjadi penyebab banyak perempuan usia muda meninggal, berikut bayinya," kata Alo Sobolim, penginjil pos GIDI suku Kopkaka, yang juga melayani suku Koroway.
Perkawinan dini sudah menjadi tradisi di Koroway. Beberapa anak perempuan bahkan dibesarkan calon suaminya. Kadangkala, jika perempuan yang sudah dipinang diganggu, akan menyebabkan konflik antar-suku.
Anak-anak perempuan sangat dibatasi dalam pendidikan. Mereka dilarang bersekolah karena sudah menikah. Anak-anak yang sedang belajar di sekolah setiap saat bisa saja dijemput calon suaminya dan dipaksa pulang.
"Bisa dilihat, paling banyak yang ikut belajar anak laki-laki. Kalaupun ada perempuan, hanya satu atau dua orang saja," kata Jimmy Weyato, seorang guru perintis di Koroway.
Tanpa nama
Anak-anak di Koroway sebagian besar tidak memiliki nama. Malah, orang tua mereka tak pernah tahu kapan anak-anaknya lahir.
Anak-anak memang memiliki panggilan sebagai identifikasi, namun secara administrasi mereka tak punya nama karena tidak pernah ada pendataan untuk akta kelahiran.
"Anak-anak, remaja dan ada juga orang tua tidak punya nama. Kalau ada, itupun hanya sebagian kecil saja," ujar penginjil Gereja Reformasi Papua (GJRP) di Kampung Ayak, Saul Wisal.
Akibat tak punya nama, kebanyakan warga suku Koroway di Kampung Ayak, Kabupaten Asmat dan Kampung Burukmahkot serta Okmahkot di Kabupaten Yahukimo mengalami kesulitan dalam berbagai hal, terutama administrasi pendidikan dan kesehatan.
Menurut Saul, hingga saat ini, pencatatan kelahiran di Koroway lebih banyak dilakukan pihak gereja, sementara pemerintah masih belum optimal menjalankan tugas sebagai pencatat kependudukan.
Lima kabupaten
Suku Koroway menetap di lima kabupaten, yakni Boven Digoel, Asmat, Yahukimo, Mappi, dan Pegunungan Bintang.
Masing-masing kabupaten sulit untuk menetapkan batas wilayah yang berkaitan dengan ruang hidup suku Koroway. Akibatnya, penanganan masalah yang dihadapi mereka jadi telantar.
Berbagai persoalan yang dihadapi warga suku Koroway disadari Gubernur Papua, Lukas Enembe. Dia beralasan bahwa suku Koroway baru masuk dalam peta nasional beberapa tahun lalu.
“Saya sudah menekankan para bupati di lima kabupaten untuk memberikan perhatian serius bagi sektor pendidikan dan kesehatan orang-orang Koroway,” katanya saat dikonfirmasi.
Enembe juga berharap Dinas Kesehatan Papua lebih serius dan komprehensif menangani penyakit yang dihadapi masyarakat Koroway.