Jokowi Didesak Berhentikan Pejabat yang Disebut Terlibat Kasus e-KTP

Juru bicara KPK berharap semua pihak mengikuti proses hukum yang tengah berjalan di pengadilan Tipikor Jakarta, tanpa perlu mengancam.
Arie Firdaus
2017.03.14
Jakarta
170314_ID_EKTP_1000.jpg Seorang warga memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) di Jakarta, 14 Maret 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Presiden Joko “Jokowi” Widodo didesak untuk memberhentikan sementara para pejabat pemerintahan yang namanya disebut menerima uang dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).

"Yang di bawah koordinasi Presiden, sudah selayaknya (diberhentikan)," kata pengamat hukum dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar, kepada BeritaBenar, Selasa, 14 Maret 2017.

Pejabat pemerintahan yang namanya disebut dalam dakwaan kasus menghebohkan itu adalah Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), dan Olly Dondokambey (Gubernur Sulawesi Utara).

Menurut Fickar, keputusan memberhentikan sementara itu wajib ditempuh supaya roda pemerintahan Jokowi tak terganggu dan tercoreng.

Pasalnya, tutur Fickar, mereka yang disebut kemungkinan bakal sering dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau pengadilan.

"Jadi (pemberhentian) memang harus dilakukan," tegasnya.

Pandangan tak jauh berbeda diutarakan aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Prihatin Mega Korupsi e-KTP, Haris Azhar.

Jika Fickar mengkhawatirkan roda pemerintahan bakal terganggu dan tercoreng, Haris menyoroti kemungkinan bakal ada manuver politik dari mereka yang disebut menerima uang suap, sehingga dapat mengganggu pengusutan kasus hingga tuntas.

Dia mencontohkan telah munculnya ancaman dari mantan Ketua DPR Marzuki Alie yang mengatakan akan melaporkan para saksi yang memberi keterangan di persidangan e-KTP dengan dugaan pencemaran nama baik ke kepolisian.

Padahal kalau merujuk pada aturan hukum, saksi di persidangan tak bisa diperkarakan, semisal atas dugaan pencemaran nama baik.

Atau, pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang meminta agar Ketua KPK Agus Rahardjo mengundurkan diri lantaran dianggap mengetahui proyek e-KTP saat masih menjabat Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP).

"Lihat saja, bantahan-bantahan mulai bermunculan, kan?" tutur Haris, yang merupakan mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

"Jadi kalau mau membongkar (skandal korupsi e-KTP), Presiden Jokowi harus menonaktifkan pejabat yang nama-namanya disebut."

Belum ada tanggapan dari Jokowi terkait desakan agar ia menonaktifkan ketiga pejabat pemerintahan tersebut. Juru bicara presiden, Johan Budi, saat dikonfirmasi BeritaBenar tidak merespons panggilan.

Korupsi pengadaan terbesar

Nama Yasonna, Ganjar, dan Olly disebut dalam berkas dakwaaan terdakwa Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil; serta Sugiharto, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, di persidangan, Kamis pekan lalu.

Keduanya dijerat Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan denda maksimal Rp 1miliar.

Yasonna dan Ganjar terseret saat keduanya masih menjabat anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mereka dilaporkan menerima uang masing-masing sebesar USD 84 ribu atau sekitar Rp 1 miliar dan USD 520 ribu atau sekitar Rp 6,7 miliar.

Sedangkan, Olly yang saat itu menjabat Wakil Ketua Badan Anggaran DPR disebut menerima uang sebesar USD 1,2 juta atau sekitar 15,6 miliar.

Secara total, KPK menyatakan kerugian negara akibat proyek ini mencapai Rp 2,3 triliun, dari total biaya pengadaan KTP elektronik senilai Rp 5,9 triliun.

Skandal ini tercatat sebagai kasus korupsi pengadaan pemerintah terbesar yang pernah diungkap KPK. Sebelumnya, kasus korupsi besar yang diungkap KPK adalah proyek Pusat Olahraga Hambalang, dengan kerugian negara mencapai Rp 706 miliar, dari total proyek senilai Rp 1,2 triliun.

Tak ada respons dari Yasonna dan Ganjar saat dikonfirmasi BeritaBenar soal desakan penonaktifan mereka karena disebut terlibat kasus e-KTP. Namun di laman Tempo.co, keduanya membantah menerima uang dari proyek ini.

Bantahan sama juga dilontarkan Olly. "Saya sudah menjelaskan semua saat diminta menjadi saksi di KPK," katanya ketika dikonfimasi BeritaBenar. "Saya tidak mengenal terdakwa.”

Selain ketiga pejabat pemerintahan ini, nama tokoh lain yang turut disebut menerima uang, adalah Ketua DPR Setya Novanto dan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Belasan nama anggota DPR RI periode 2009 - 2014 juga disebut menerima aliran dana proyek e-KTP.

Setya, bersama rekanan proyek yang bernama Andi Narogong alias Andi Agustinus, disebut menerima jatah senilai Rp 574 miliar. Dalam kasus ini, Setya yang ketika itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golongan Karya disebut berperan sebagai koordinator di DPR untuk memuluskan anggaran proyek.

Sedangkan, Gamawan beserta pejabat-pejabat Kemendagri disebut dalam dakwaan menerima uang senilai total Rp 300 miliar.

Baik Setya maupun Gamawan serta beberapa anggota DPR lain juga telah membantah menerima uang dari proyek ini.

Hak angket

Anggota Komisi II DPR dari PDI-P, Arteria Dahlan berharap KPK mampu mengusut kasus korupsi e-KTP hingga tuntas, termasuk jika kemudian menyeret politikus PDI-P seperti Yasonna dan Ganjar.

"Dihukum seberat-beratnya jika terbukti," katanya kepada BeritaBenar.

DPR berencana menggulirkan hak angket untuk mendalami kasus ini, dimotori Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Menurutnya, langkah itu diperlukan untuk memberitahu masyarakat bahwa tak ada insiden membagikan-bagikan uang di DPR.

Soal rencana gulirkan hak angket, Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Kading menilainya sebagai ihwal yang tak perlu.

“Itu intervensi hukum,” ujarnya.

Juru bicara KPK Febri Diansyah berharap semua pihak mengikuti proses hukum yang tengah berlangsung di pengadilan Tipikor Jakarta, tanpa perlu mengeluarkan ancaman seperti dilakukan Marzuki Alie dan Fahri Hamzah.

“Sama-sama kita menghormati proses hukum,” ujar Febri kepada BeritaBenar.

Sidang lanjutan dugaan korupsi e-KTP akan digelar, Kamis, 16 Maret, dengan agenda mendengarkan keterangan para saksi. Total jaksa mengajukan 133 saksi di persidangan.

Sejak mulai mengusut kasus ini pada 22 April 2014, setidaknya KPK telah memeriksa 280 saksi, termasuk beberapa anggota DPR periode 2009-2014.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.